Sunday, January 10, 2010

Menjual Mendong Wonosobo

0
Oleh Musyafak Timur Banua
(Suara Merdeka .........)

Jika anda membeli tikar berbahan rumput "mendong", besar kemungkinan itu adalah produk asli Wonosobo. Orang-orang menyebutnya tikar mendong. Mulanya kerajinan ini berkembang di Kecamatan Sapuran, seperti desa Tempurejo dan Tempursari. Meluas hingga Kecamatan Kalikajar, seperti desa Tegalombo, Purwojiwo, Lamuk, Kalikuning, dsb.

Mendong adalah jenis rumput berumpun tinggi. Ia termasuk suku Cyperaceae atau teki-tekian, kerabat terdekat padi-padian (poaceae), yang bila dikeringkan batangnya dijadikan bahan anyaman. Misalnya tikar, keranjang, maupun kerajinan lain.

Seperti lumrahnya usaha kecil, perjalanan kerajinan mendong mengalami fluktuasi yang cukup memprihatinkan. Persaingan dengan produk pabrikan, utamanya tikar plastik yang secara artifisial coraknya variatif dan menarik, membuat mendong hanya menjadi second class (kelas kedua) di pasaran. Akibatnya, usaha kreatif masyarakat Wonosobo ini kembang kempis.


Ada beberapa masalah yang dihadapi perajin. Pertama, kerajinan mendong cukup kerepotan menembus pasar luas. Sebenarnya tikar mendong Wonosobo pernah berjaya hingga diminati pasar luar kota seperti Sragen, Solo, Yogyakarta, dan Semarang. Namun, karena produktifitas mendong menurun dan kreatifitasnya stagnan, pesona mendong memudar.

Menurunnya hasil kerajinan mendong disebabkan berhentinya sebagian perajin. Alasan ekonomi menjadi dalih utama. Menurutnya, mendong sudah tidak bisa dijadikan pekerjaan utama. Praktis, kini mereka menganyam mendong untuk usaha sampingan dan mengisi waktu luang.

Ini tidak bisa disangkal. Mengingat harga tikar mendong cukup murah (sesuai dengan ukuran). Biasanya, tikar mendong ukuran 1,2 x 3,5 meter dihargai Rp 20.000. Itu harus dipotong biaya pembelian bahan rumput mendong sekitar Rp 10.000. Padahal, perajin yang hanya memanfaatkan waktu luang di sore hari mampu menyelesaikan tikar ukuran itu rata-rata dalam tiga hari.

Kedua, kurangnya modal yang mutlak dibutuhkan. Selama bertahun-tahun usaha kecil ini bertahan dalam keterbatasan kapital penunjang produksi. Nihilnya pihak pendukung membuatnya sulit berkembang.

Sebenarnya produksi kerajinan mendong bisa ditingkatkan dengan menggunakan alat penganyam bukan mesin. Alat itu serupa alat tenun bukan mesin atau manual. Namun harga alat yang berkisar 1-2 juta membuat perajin enggan membelinya. Mereka tetap bertahan dengan keterampilan tangan. Sebab jika dikalkulasi, keuntungan usaha sampingan itu tidak setimpal jika menggunakan alat anyam seharga di atas satu juta. Hanya perajin yang menjadikan mendong sebagai pencaharian utama yang mau menggunakan alat penganyam.

Ketiga, pemasaran hasil kerajinan mendong masih terbatas. Tampaknya, ini berkaitan dengan minimnya promosi.

Aman
Sebagai pihak pendorong usaha kreatif rakyat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo sepatutnya menjalankan langkah strategis untuk mempromosikan produk kerajinan lokal. Berkenaan dengan mendong, wacana lingkungan merupakan isu strategis yang dapat dijadikan sebagai tema promosi.

Masyarakat sadar lingkungan bisa dimulai dengan menggunakan perabot berbahan alami. Risiko kerusakan lingkungan bisa diredam dengan tidak menambah bahan-bahan artifisial yang tak bisa diurai alam.

Dibanding tikar plastik, tikar mendong tentu lebih aman. Sebagai bahan alam maupun ketika menjadi sampah, mendong tidak menimbulkan bahaya. Sebab mendong dapat terurai secara alami.

Kini, penggunaan plastik makin hari kian melimpah. Sampah terbanyak adalah golongan plastik. Risiko bahaya lingkungan akan timbul karena plastik tak bisa diurai secara alami. Jalan satu-satunya adalah daur ulang menjadi barang baru. Di sisi ruang, daur ulang plastik yang tidak terjamin kebersihannya memunculkan reaksi kesehatan negatif bagi manusia.

Penggunaan perabotan berbahan plastik harus diminimalkan. Maka memilih tikar mendong sebagai aktualisasi insan sadar lingkungan adalah tepat. Sedianya, gerakan back to nature (kembali ke alam) tentu sepakat hal ini. Sekaligus, memilih mendong adalah laku mencintai produk lokal.

Kreatif
Perkembangan kerajinan mendong sebagai Usaha Ekonomi Produktif (UEP) mutlak harus didorong. Baik dari segi modal maupun sumber daya perajin. Sudah sepatutnya Pemkab Wonosobo menjadikan UEP sebagai prioritas utama pembangunan ekonomi masyarakat. Ini selaras dengan semangat pembangunan Jateng "bali ndeso mbangun deso". Bahwa, memberdayakan produksi lokal adalah jalan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil.

Maka alokasi sebagian dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Desa Tegalombo, Kecamatan Kalikajar, untuk mendorong kerajinan mendong patut diapresiasi dan dicontoh. Ini adalah langkah riil mendukung perajin mendong untuk berkembang.

Sumber daya perajin selayaknya diberdayakan. Mereka harus selalu disuntik ide untuk mencipta produk yang menarik dan bervariasi. Bahwa mendong tak hanya dapat dijadikan tikar. Mendong dapat dibentuk menjadi tas, dompet, topi, hiasan dinding, dan aksesoris lain. Secara ekonomis barang-barang itu lebih menguntungkan perajin daripada sekadar tikar mendong yang harganya "jongkok".

Musyafak Timur Banua, mahasiswa KKN IAIN Walisongo di Desa Lamuk, Kalikajar, Wonosobo
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment