Wednesday, February 13, 2013

Perempuan Bali dalam Cerita Oka Rusmini

0
Orang jamak mengenal Bali sebagai “pulau surga”. Keindahan panoraman alamnya disokong dengan budaya masyarakat yang eksotis. Pulau Dewata yang laris di kancah pariwisata internasional ini lantas hidup dalam angan-angan romantis orang-orang. Di seberang lain, Bali juga punya sisi tragis. Tata kasta, nilai dan adat yang menentukan tertib sosial, tetapi sebaliknya menciptakan peminggiran perempuan.

Sisi “miring” nasib perempuan Bali itu terpapar dalam Akar Pule, buku kumpulan cerpen anggitan Oka Rusmini yang terbaru. Dari segi tema, sepuluh cerpen di dalamnya mengisyaratkan bahwa sang pengarang belum beranjak dari ide-idenya yang “lawas”. Cerita-ceritanya masih berkisar di seputar tragedi perempuan yang berlapis. Tragedi yang disampaikan bukan hanya sebagai kepasrahan, tetapi semangat melawan.

Tema-tema itu sudah banyak diangkat Rusmini dalam karya-karya prosa sebelumnya. Misalkan novel Tarian Bumi (2000), Kenanga (2003) dan Tempurung (2010), atau kumpulan cerpen Sagra (2001). Pembaca yang mengangankan tema-tema baru dari pengarang yang fasih membincang budaya Bali ini tentunya kecewa. Tetapi, barangkali konsistensi tema seputar dunia perempuan justru semakin meneguhkan posisi kepengarangan Rusmini.

Buku ini dimukadimahi cerita “Tiga Perempuan”. Mengisahkan riwayat dua perempuan bersaudara yang terlarat karena suami-suaminya main serong. Penderitaan kakak beradik bermula sejak kecil, ketika ayahnya meninggalkan rumah karena kepincut perempuan selain ibunya. Ibunya pun lantas undur diri dari rumah, yakni menikah lagi. Kedua bersaudara itu diasuh keluarga sang ayah. Penderitaan berlanjut ketika mereka berumah tangga: hidup bersama lelaki yang tak cukup dengan memiliki satu perempuan. Suami menempuh selingkuh untuk mengejar nikmat, sementara istri serta anak-anak menanggung susah. Derita itu, anehnya, seolah “nasib turunan” yang diwariskan dari ibunya. Ini disangkutkan dengan mitos yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami nasib serupa (hlm 41). Tetapi, ketimbang eksplorasi mitologis itu, “Tiga Perempuan” lebih sibuk mendakwa lelaki sebagai biang derita. “Tiga Perempuan” lebih menyerupai novelet daripada cerpen. Cerita sepanjang 44 halaman itu boros narasi dan deksripsi, bahkan kerap terjadi pengulangan narasi.

Kultur perkawinan pun diperkarakan melalui cerpen “Sepotong Tubuh”. Cerita tentang “perawan suci”, yakni perawan baya yang tidak mau menikah, menjadi antitesis bagi fakta perkawinan yang justru kerap membuat perempuan tidak bahagia. Cerita ini dibingkai dalam perspektif tubuh. Kritik bagi pemikiran dan keadaban manusia yang memaknai tubuh perempuan sebagai objek belaka. Protes karena selama ini perempuan nyaris tidak memiliki tubuhnya sendiri, kecuali tubuh sosial, tubuh yang dimiliki laki-laki. Perlawanan terhadap stereotip sosial yang selalu merugikan perempuan, secara simbolis diterakan dalam akhir cerita: “perawan suci” melompat dan menari ke trotoar dengan telanjang (hlm 63). Menarik karena “Sepotong Tubuh” ini lebih menjanjikan kekuatan imaji dibandingkan cerpen-cerpen lainnya.

Dua cerpen lain menggugat konstruksi sosial-politik yang ujung-ujungnya membuat hidup perempuan jadi sial. Cerpen “Grubug” berkisah tentang seorang perempuan bernama Grubug (Bahasa Bali: bencana), bertahan hidup sebagai penari, pasca orangtuanya dibunuh karena dituduh terlibat PKI. “Aku terus tumbuh. Zaman pun terus menggerusku. Aku sibuk dengan hidupku. Aku juga tak ingin kawin, karena kuyakini darahku adalah darah kotor, darah penuh kutukan. Mungkin bapakku benar, aku diberi nama Grubug, artinya bencana” (hlm 109). Dalam nukilan itu, posisi Grubug tampak sebagai wakil para perempuan yang secara sosial tersisih dan dianggap tidak berarti.

Sementara cerpen “Bunga”, judul ini diambil dari nama tokohnya, menceritakan gadis kecil yang dikucilkan oleh masyarakat karena ia disangka anak seorang pelacur sebab asal-usulnya tidak jelas di sekitar tempat pelacuran. Nahas sekali gadis kecil mati karena diperkosa dan dianiaya para lelaki kurang adab.

Style cerita di dalam Akar Pule cukup unik dengan eksplorasi ketatabogaan—dunia yang dekat dengan perempuan—yang turut mengkonstruksi estetikanya. Muncul pelbagai ungkapan seperti menanak pikiran, menggoreng hati, membuat sop jantung, semangkuk salad perempuan, sepotong lelaki, menyantap lelaki, dll. Nuansa alam agraris juga tampak menonjol di beberapa tempat. Misalkan ungkapan-ungkapan metaforis mencangkuli tubuhku, menggerus kulitku, tubuhku belalang hijau, otakku ditumbuhiberatus jenis akar, dsb.

Daya ungkap sang pengarang dalam mengeksplorasi ambiguitas kehidupan perempuan yang dikecimpungkan dengan local genius Bali sudah tidak diragukan lagi. Hal itu tampak dari Akar Pule yang subur dengan idiom-idiom dan mitos-mitos masyarakat lokal.

--Musyafak, pengelola Open Mind Community Semarang




identitas buku
Judul                  : Akar Pule
Pengarang        : Oka Rusmini
Penerbit            : Grasindo
Cetakan             : I, April 2012
Tebal                  : vi + 145 halaman
ISBN                   : 978-979-081-747-0
 
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment