Friday, December 10, 2010

Calon Pengantin

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Tribun Jabar, 21 Nov 2010)

Ketika luka-luka di tubuh hanya bertukar belang, dan nyawa-nyawa yang hilang dimaklumi sebagai peruntungan siklus kehidupan, maka sakit itu bernama ingatan. Nyeri dan ngilu berkepanjangan. Selebihnya, kita terlanjur menerima tengkar dan perang sebagai kebiasaan.

Ingatan itu serupa bakteri. Terus membelah dan mengganda. Menjadi racun yang semakin limpah dan limbah. Berangsur-angsur membiak menjelma kecurigaan, ketidakpercayaan, kebencian dan dendam. Sekuat apapun terperam, jika bola api menyulut amarah, maka tibalah masanya darah harus tumpah. Tubuh-tubuh terbakar, menyala api, mengaum bak serigala lapar. Lalu ditunaikan perang seolah demi kedaulatan dan kekuasaan.

***

Persiapan pernikahan hampir rampung. Baju pengantin sudah kudapat. Undangan telah tercetak, tinggal menyebarkan. Pemilik panggung, tratak, padipadi dan sound system sudah menyepakati harga. Kebutuhan untuk jamuan prasmanan sudah kupesan. Sudah pula kusewa mobil untuk iring-iringan besan dan pengantin. Tinggal beberapa keperluan kecil yang kurasa tidak terlalu menghabiskan otot maupun otak.

Agak lega rasanya. Namun, tambah dekat hari pernikahan, perasaanku makin berdebar-debar. Bukan rupa kecemasan atau ketakutan. Barangkali ketidaksabaranku saja untuk cepat-cepat duduk di kursi pelaminan. Selepas tubuhku hening sesaat, tiba-tiba aku terlempar di pelaminan. Di sisiku adalah gadis bermata sipit. Lesung pipit di pipinya bak pauh dilayang. Ialah Jumi, gadis yang kutunang sebelas bulan silam. Kami menjadi pasangan raja-ratu yang jelita. Menjadi pusat tatapan semua mata. Tetamu menyampaikan ucapan selamat dan doa. Amboi bahagianya!

Kemunculan Kandar secara mendadak dan sekilas memungkasi lamunanku. Sekejap kemudian ia kembali muncul secara mengejutkan pula. Ia memegang gobang panjang.

“Hendak apa kau pegang gobang segala?”

“Perang bakal dimulai!”

Darahku melesir mendengar jawaban Kandar. Perang apa, pikirku bertanya-tanya. Tapi lelaki duda itu pergi begitu saja

tanpa memberiku penjelasan. Aku setengah berlari menyusulnya. Kudapati ia telah berkerumun bersama belasan orang di pertigaan jalan, di sebelah surau. Kebanyakan mereka orang muda dan paro baya. Di tangan mereka tergenggam macam-macam senjata tajam, juga benda keras nan tumpul. Celurit, gobang, parang, tombak, panah, juga pipa besi. Perkakas-perkakas itu dimasukkan ke dalam tas. Sebagiannya disembunyikan di sebalik baju.

“Sudahlah! Patutnya dirundingkan baik-baik saja,” kata Tasim, lelaki baya yang kepalanya sudah begitu rapat dan padat oleh uban putih.

“Tidak bisa! Ini persoalan martabat. Kita tidak bisa terima orang desa kita dipukuli orang Bonjati hingga bonyok begini!” sergah Kandar. Diangkatnya wajah seorang muda yang berdiri di sampingnya hingga mendongak. Mukanya bengkak-bengkak dan biru lebam. Ada luka yang masih basah di pelipis kanannya.

“Semua orang memang mudah menjadi api. Tapi buat apa jika akhirnya arang juga?”

“Kau sudah lupa, Wak! Dulu kau bilang diam adalah kekalahan. Dan kemenangan adalah kehormatan,” kata seorang yang lain.

Tasim surut. Ingatan telah menjelaskan padanya tentang ihwal masa silam yang ternyata menjadi ingatan warisan. Ingatan yang telah lama diperamkuburkan di sisi memori paling tepi, nyatanya kini membiak di kepala orang lain. Sisi hati Tasim merasa bersalah telah mewariskan ingatan buruk. Tapi sisi hati lainnya merasa lunglai, tidak kuasa apa-apa. Andai masa lalu bisa diperangi, pikirnya. Kembali terbit penyesalan akan masa mudanya yang gumagah dan selalu berada di baris depan saat terjadi tawuran.

Kutarik lengan Kandar hingga menyisi dari kerumunan. Tak guna melimpaskan amarah, kataku. Kita harus belajar memaafkan khilaf. Sekaligus melepas kesalahan-kesalahan masa lalu. Tapi Kandar malah meregang. Matanya merah menyala seolah hendak melalapku.

Beberapa orang tua yang datang lantas memeram-meram perasaan orang-orang muda yang telah terpancing murka. Wajah-wajah yang sejak mula tegang berangsur-angsur meredam. Per satu orang mulai menceraikan diri dari kerumanan. Desa lengang perlahan. Selengang wajah Kandar yang tidak sedikitpun murah raut kepadaku.

***

Malam yang celaka! Semula, dinihari di Gapring begitu lelap. Tapi senyap itu mendadak terbangunkan oleh kabar buruk. Telah meletus tawuran antarpemuda Gopring dan Bonjati.

Sarat perasaan gugup, orang-orang tua memastikan apakah anak-anaknya berada di rumah atau tidak. Dan kebanyakan mereka tidak menemukan anaknya di kamar tidurnya. Mereka lantas lari ke perbatasan desa, ke sebuah jembatan yang mengangkangi Kali Lanang. Rupanya seteru berdarah itu telah usai. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan iring-iringan anak muda, sedikit di antara mereka adalah paro baya. Merekalah orang-orang yang berjalan merunduk seolah punggungnya tertikam pedang. Tatapan matanya sayu mengarah ke tanah, seolah menghitung langkahnya sendiri. Tapi mata itu seperti memendam bara.

Di balik remangan kabut tipis, tertampak lima buah tandu yang didukung orang-orang muda di pangkal barisan. Iring-iringan di bagian belakang itu terasa amat mencekam. Orang-orang tua tak kuasa menduga-duga siapa yang berada di atas tandu-tandu itu. Sebagian mereka lega ketika mendapati anaknya berjalan genap dengan tubuhnya, meski dalam keadaan luka dan darah masih menyeruak dari sebalik bajunya. Sebagian mereka benar-benar gemeratap dadanya ketika memastikan bahwa yang berada di atas tandu adalah anaknya.

Desa Gapring menjadi hiruk dan pikuk oleh lalu-lalang. Tapi kebisuan justru makin membatu dan tak terpecahkan. Orang-orang tak saling bicara. Masing-masing merasa mengerti diamnya orang lain. Tak seorang mudapun bercerita tentang tawuran yang baru saja pecah di perbatasan. Mereka seperti tercekam amarah yang masih tersekam di dadanya. Sebagian mereka membersihkan tubuh dari darah yang sudah mengering menjelma gumpalan hitam ataupun yang masih merembes.

Dinihari makin menyusut. Perasaan-perasaan menjadi senyap. Di lima rumah di Desa Gapring telah dipersiapkan perkabungan. Kelelawar terakhir terbang menyelinap di rimbunan daun kelapa. Orang-orang mulai sadar waktu. Perjalanan menuju subuh terasa lambat. Barangkali isak dan tangis memperberat laju poros waktu. Tapi langit musti tetap bangkit. Tak lama kemudian fajar yang masih merah berangkat dari timur laut. Orang-orang merasakan sebuah pemberhentian. Perasaan itu menjadi ganjil ketika dirasakannya pula sebuah keberangkatan baru. Ketika itu, waktu seolah berada di antara hitungan ganjil dan genap. Tubuh seolah pendulum yang berayun-ayun begitu cepat.

Mendung mengawang di atas desa Gapring. Penggali kubur mulai mengeduk lima lobang secara berderetan untuk upacara pemakaman hari ini. Tasim kembali merimba dalam ingatannya. Tukang gali yang disaksikannya seolah tengah mengeruk memorinya hingga ceruk. Tentang kesedihan yang sama, yang datang berulang ketika ia masih muda. Tentang perkabungan yang secara bersamaan diliput rasa dendam. Tasim menginsyafi sepenuhnya, masa lalu yang kalap itu tidak telah benar-benar terkubur.

Sebenarnya, sekitar dua dasawarsa belakangan tak pernah lagi terjadi tawuran antara orang Gapring dan Bonjati. Pergaulan sudah cair. Rasa benci perlahan terlupakan. Hingga terjadi banyak pernikahan antarketurunan dari kedua desa itu.

Tapi kini Tasim kembali tak berdaya. Barangkali benar, pikirnya, Gapring dan Bonjati takkan lepas dari mitos usang. Perang antara Gapring dan Bonjati adalah kutukan. Tengkar tak berkesudahan dianggap suratan yang dituliskan para leluhurnya. Kisah-kisah purba yang tertanam di pikiran mereka adalah cerita-cerita tentang danyang (moyang atau leluhur pendiri desa) Gapring dan Bonjati adalah orang seteru. Selalu terjadi pertengkaran hingga keduanya saling berjanji bahwa anak-keturunannya tidak akan pernah menjalin kerukunan.

***

Aku tersudut dalam baur pikiran yang amat samar. Kenyataan menyodoriku pelbagai keterangan yang justru membuatku suram. Cerita buruk datang di malam keempat menjelang hari pernikahanku. Jumi berkabar adiknya sedang sekarat. Lelaki enambelas tahun itu meregang-regang ketika diberangkatkan menuju rumah sakit. Namun luka bacok di punggung hingga leher bagian belakang membuatnya tidak bisa mengelak dari maut.

Esok harinya ia dikuburkan bersamaan tujuh orang muda lainnya. Aku tidak bisa mengikuti penguburan calon iparku sebab Jumi maupun orangtuaku melarang. Menjejakkan kaki di Bonjati sama saja mengirim mala. Amarah yang masih tersekam di masing-masing dada akan kembali pecah jika menyaksi orang dari lain desa.

Begitu upacara pemakaman di Gapring usai, orang-orang kehilangan hening. Perkabungan tergeser oleh kabar-kabar panas dari Bonjati. Orang sebelah desa itu hendak menunutut balas. Mereka akan menebas sedikitnya tiga awak orang Gapring untuk mengimpaskan selisih korban nyawa.

Tapi apatah yang hendak dimenangkan? Perang berikutnya hanya akan memenangkan luka dan kehilangan.

Bagaimana dengan pernikahanku? Sebenarnya pertanyaan itu yang sejak dinihari menyusup dan menyesaki akalku. Barangkali, akulah orang Gapring yang merasa paling terancam oleh tawuran semalam—apalagi jika sampai berulang. Upacara pernikahan tiga hari nanti yang sudah kupersiapkan bisa-bisa terulur jika perseteruan dua desa ini terus berlanjut.

Di tengah suasana mendung, akhirnya petir menyambar juga. Sebuah kabar berpesiar bahwa calon adik iparku mati oleh ayunan gobang kakakku. Aku tidak percaya Kandar yang bertubuh besar, sekaligus nyalinya, memilih lawan anak semuda itu.

“Benarkah kabar itu?”

Kandar membatu. Waktu membuatnya beku cukup lama. Aku tak henti mendesaknya.

“Kenapa kau tega menumpas lawan yang terlalu kecil?”

“Saat tawuran tak seorangpun bisa memilih-milih lawan. Hanya waktu dan gerakan yang memilihkan kita berhadapan dengan siapa!”

“Mustinya kau menghindarinya setelah melihat bahwa dia adalah calon iparku!”

“Aku tak melihatnya sejak awal! Tiba-tiba dari arah belakang ia menusukkan belatinya ke pinggangku,” Kandar menggulung kaosnya hingga naik sedatar perutnya, tampak di pinggangnya satu luka tusuk yang seperti mau membusuk, “Tikaman yang tiba-tiba mengejutkanku itu membuatku mengayunkan gobang sekenanya ke arah belakang. Saat kubalikkan badan ia telah tersungkur.”

Sampai pula tangis Jumi ke telingaku. Buruknya jaringan membuat sesak-isaknya menjadi derau. Kedengaran kian garau. Jumi tak lekas mengatakan apapun. Aku membujuk-bujuknya agar cepat bilang sesuatu. Malah napasnya makin sengguk dan sengal. Pada akhirnya ia memberitahukan padaku tentang kabar celaka. Orangtuanya begitu marah ketika tahu anaknya terbunuh oleh Kandar.

“Ayah membatalkan pernikahan kita.”

Jumi masih saja mengisak. Dadaku seperti mau memuai.

September-Oktober 2010
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment