Friday, December 10, 2010

Menunggu Lebaran

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
Cempaka Edisi 25 XXI 18-24 September 2010



Lalu jemari tangannya meletus satu per satu bak petasan yang dimainkan anak-anak di seberang jalan. Kemudian jemari kakinya. Setelah rantas semua jari-jarinya, ia rasa detak jantungnya seperti menghitung mundur, menyambut ledakan tubuhnya yang bakal meremukkan seluruhnya. Lalu, ialah bocah perempuan yang paling tahu arti menunggu. Ia pula yang bisa menyaksikan sempitnya muka waktu, serupa ujung jarum yang amat runcing itu.

Tiga hari lagi lebaran. Tetapi waktu belum juga menepati janjinya kepada Vita. Hingga bocah berusia sepuluh tahun itu beranggapan bahwa waktu hanyalah milik orang dewasa yang penuh kebohongan-kebohongan belaka. Kebohongan yang sekian lama menahan ibunya untuk terus berada di negeri jauh dan tidak pernah pulang. Masih terngiang di telinganya, kata-kata ayahnya beberapa bulan silam bahwa ibunya bakal pulang menjelang puasa. Vita bahagia sekali mendengar kabar itu, meski sebenarnya sudah beberapa kali kabar berkhianat padanya. Jika kini ia masih berbahagia atas suatu kabar tentang rencana kepulangan ibunya, hal itu bukanlah sepenuhnya kepercayaan. Melainkah harapan-harapannya sendiri yang dibiarkan tumbuh dan berbunga semekar-mekarnya.

Amat bulat keinginannya untuk berlebaran bersama ibunya. Ia ingin lebaran tahun ini tersedia banyak jajanan buatan ibunya di rumah. Ia ingin rumahnya dikunjungi teman-temannya sebagaimana mereka saling berkunjung. Keinginan yang berkecamuk di dalam dirinya sejak tahun-tahun silam, tapi hanya menjelma kerinduan panjang yang amat risau dan galau. Tidak mudah bagi Vita menerima kenyataan bahwa dirinya belum pernah merasakan lebaran bersama ibunya. Ya, ia lebih suka menganggap belum pernah, meski suatu kali neneknya menceritakan bahwa ketika ia berusia lima bulan telah menjalani lebaran dengan ibunya. Ah! Saat itu seorang bayi belum bisa merasakan apa-apa, pikirnya.

Vita sendiri sudah amat mengerti dirinya berdasarkan cerita orang-orang dewasa di kampungnya. Atau, sekali-sekali neneknya sendiri menceritakan—dengan nada mengeluh—bagaimana ibunya meninggalkannya saat usianya belum genap sebelas bulan.

“Saat itu kamu belum bisa berjalan. Kamu didudukkan di bak mandi khusus bayi, tersenyum-senyum seolah tidak merasa butuh seorang ibu, sehingga kamu tidak menangis sedikitpun saat ibumu pergi,” cerita neneknya.

Setelah kepergian ibunya, Vita kecil menjadi kerepotan nenek dan ayahnya. Janda baya bernama Parmi itulah yang tiap hari membuatkan susu, menyuapinya makan, menimang-nimangnya, juga menidurkannya. Jika ingat kisah neneknya, Vita merasa sedikit malu sebab masa bayinya ngompol tiap malam. Bahkan, kebiasaannya ngompol terus bertahan hingga usianya menginjak tujuh tahun.

Namun Vita tidak pernah tahu alasan sesungguhnya ibunya pergi. Ia menggantungkan kepercayaan pada cerita orang jamak, bahwa ibunya jadi TKI di Saudi Arabia demi mencari uang. Memang tidak ada alasan lain yang diterimanya lebih masuk akal daripada itu.

Padahal, Tohar, ayah Vita, memiliki rahasia khusus. Kepergian istrinya adalah pemaksaan diri. Bukannya Tohar tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Sebab saat itu penghasilan mengelola warung sudah cukup untuk makan sehari-hari. Tapi ibunya malah ngotot pergi ke Saudi Arabia. Bekerja di rumah dengan hanya mengelola warung tidak akan lekas hidup enak, kata istrinya. Mulanya ayahnya tidak mengijinkan, tapi ibunya mengancam meminta talak jika tidak dipersilakan. Toh, kata ibunya, kepergiannya ke negeri Arab itu sama halnya mengurangi beban suami. Tapi tidak bagi Tohar, kepergian istrinya membuat dirinya merasa lemah lebih daripada derita seorang lelaki lemah syahwat. Sebagai lelaki, ia merasa terhina dianggap tidak mampu membuat anak-istri hidup enak. Pada akhirnya Vitalah yang—menurut orang-orang—amat berat menjalani hidup di masa kecil tanpa asuhan ibu, meski Vita tidak merasa kurang akan kasih sayang neneknya.

Di teras rumah, Vita membiarkan dirinya dimainkan pikiran-pikirannya sendiri. Terasa dalam dirinya sebuah kepupusan. Tak bisa dielaknya perasaannya sendiri mengatakan ibunya tidak akan pulang. Lalu dipandanginnya sekujur tubuhnya—ah adalah sebenarnya bajunya yang diamatinya. Mendadak Vita ingin melucuti baju yang dipakainya. Ia ingin membakar bajunya bersama boneka-boneka yang dikirmkan ibunya tiga bulan silam. Hadiah-hadiah kiriman berlabel Arab itu dirasanya tipuan. Sebab ibunya yang lebih diinginkannya berada di sisinya saat lebaran pun tidak datang.

Anak-anak yang tadi bermain petasan di seberang jalan sudah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing. Vita menatap mereka tanpa selera. Tawa dan kelakar mereka dirasanya seolah menghina perasaannya.

***

Hanya dua orang di ruang makan. Tohar dan Parmi tentu merasa kurang sebab Vita tidak hadir di tengah mereka. Padahal biasanya Vita paling awal bersiap di meja makan menjelang buka puasa. Sedang kini Vita masih melamun di teras rumah. Menyaksikan kelelawar terbang berpusing-pusing di udara yang tak henti mencandainya, atau barangkali justru mencemooh kesepiannya.

“Har, coba panggil anakmu, ajak ia berbuka!” pinta Parmi.

“Sudah dua dua kali aku menyerunya. Tapi dia tak juga mau,” jawab Tohar.

Perempuan tua itu mengerutkan dahi. “Kalau ia begitu, biasanya sedang mutung—marah.”

Tohar tidak menanggapi. Lelaki paro baya itu berpusat pada makanan yang disantapnya.

“Semalam Vita menanyakan kapan ibunya sampai rumah,” kata Parmi.

Tohar terdiam. Sebenarnya lelaki itu setengah tercekat. Dengan suara garau Tohar menjawab, “Ya, aku tahu belakangan ini Vita memikirkan ibunya. Tapi ibunya tidak akan pulang.”

“Tapi anakmu sangat ingin lebaran ini ibunya di rumah,” desak Parmi setelah menggelengkan kepala.

“Aku juga ingin dia di rumah. Tapi tak tau musti bagaimana, lagi-lagi ibunya berbohong. Katanya malah pengin nambah setahun lagi.”

Parmi terkejut. Matanya setengah membelalak. “Apa? Satu tahun lagi? Tidak waras! Apakah ia tidak memikirkan anaknya?”

Tohar mereda. Dayanya serasa terlucuti. Ia memandang dalam ke mata Parmi.

“Aku juga tidak mudah menjalani hidup macam ini. Meski memang Vita tak kalah merasa susahnya.”

Lalu Parmi menyela dengan cepat, “Memang begitu maksudku, andai istrimu pulang tentu kalian lebih tenteram.”

“Tapi aku sudah lelah membujuknya. Sudah kuputuskan padanya, pulang atau tidak itu urusannya. Kalau dia masih menganggapku suami dan Vita anaknya, tentulah ia pulang. Jikapun tidak, ya memang nasib!”

“Jangan begitu, Har! Vita tidak akan mudah menerima itu!”

“Aku tidak bisa lagi mengemis-ngemis padanya. Sementara ia terus sulaya—tidak menepati janji. Sudah berkali-kali ia bilang bakal secepatnya pulang. Nyatanya?”

Suasana jadi tegang. Anak dan ibu itu perlahan-lahan kaku. Seraya terus saja menghabiskan makanan, kendati tiba-tiba perut terasa kenyang. Seolah semua makanan mendadak berasa sangat asin.

***

Di hari terakhir puasa, Vita merasa risau sejak pagi. Malah ia ingin sekali membatalkan puasanya. Ia berpikir puasanya tak berguna. Upayanya menjalankan puasa tiap hari dengan harapan bisa memberi kejutan kepada ibunya bahwa ia sudah kuat berpuasa sebulan penuh sepertinya tidak akan mendapatkan penghargaan apapun.

Sementara anak-anak sepantarannya tengah berbungah menyambut lebaran esok hari, justru ia menampakkan wajah murung. Hatinya bergolak ingin teriak. Tapi ia tidak tahu kepada siapa. Entahkah pada ibunya yang jauh di sana. Entahkah pada neneknya yang selalu tidak tahu jika ditanya soal ibunya. Entahkah pada ayahnya yang tak lagi membicarakan soal ibunya.

Pagi itu ayahnya mendekatinya. Tohar hendak mengajaknya pergi ke pasar sekadar membeli setelan baju untuknya. Namun Vita menolak tanpa memberi alasan. Tohar sangat tahu anak perempuannya tengah benar-benar marah. Hingga ia cukup merasa bersalah. Lagi-lagi kediriannya sebagai seorang ayah terpuruk karena tidak bisa menghadirkan keinginan anaknya menjadi nyata.

***

Jalanan ramai oleh hiruk-pikuk orang-orang. Mereka membawa bakul dan rantang berisi makanan atau jajanan untuk diberikan kepada sanak, famili, atau kerabat. Suasana lebaran mulai terasa. Petasan-petasan kecil sudah dibunyikan anak-anak sejak asyar. Sebagian mereka sudah mengenakan baju baru.

Vita berdiam saja di kamar. Tohar baru saja menutup telepon dengan muka berang. Lalu airmukanya itu berubah menjadi amat tawar sebelum menghampiri Vita. Tohar mengelus punggungnya, mengusap-usap rambutnya.

“Ibumu pasti pulang. Tapi tidak lebaran ini. Barangkali lebaran tahun depan,” kata Tohar.

Vita ingat betul, kata-kata serupa itu juga yang diucapkan ayahnya lebaran tahun lalu. Dalam hati Vita mengumpat, bahwa ucapan ayahnya semata kata-kata bohongan murahan.

“Jika begitu lebarannya diundur tahun depan saja!” kata Vita dengan nada menyentil.

Sungguh Tohar ingin melontarkan senyum pada Vita. Tapi mulutnya terkunci. Hatinya teramat gamang. Ia tidak lagi berharap tahun depan putrinya berlebaran dengan ibunya. Sementara kalimat talak yang dijatuhkannya kepada istrinya lewat telepon masih saja mengiang di telinganya sendiri.

Sayup-sayup terdengar suara bedug. Ada yang bergema. Ada yang bersorak. Ada yang berdengung. Tapi seorang bocah perempuan makin linglung. Limbung…

Agustus, 2010
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment