Friday, December 17, 2010

Pandu Bicara tentang Manusia dan Iblis

1
Oleh Musyafak Timur Banua

#
Sudah lama saya—kami pegiat di Open Mind Community—tak membincangkan puisi. Tak membicarakan cerpen. Tak menyoalkan sastra. Juga tak bertukar-tangkap kelakar ala grak-grek. Saya diam dengan pikiran masing-masing. Memeramnya di batin sendiri-sendiri. “Libur” agak panjang sejak awal Ramadan sampai Lebaran menghilang, membuat kerinduan menuntut tebusan.

Usai perencanaan kecil seminggu sebelumnya, tergelarlah satu pertemuan. Minggu (10/10/2010), sore terus saja berangkat. Dan kami pun sama-sama datang terlambat—sudah jadi kebiasaan! Di hadapan saya sudah tersedia salinan naskah puisi penyair muda pesohor di Semarang, Galih Pandu Adi (GPA). Meski Sketsa Wanita Bersayap Iblis (SWBI) itu sebenarnya sudah kami baca di facebook.

Tapi naskah itu kembali saya baca. Saya telusur per kata, per kalimat, per bait. Puisi panjang itu, rampung dengan kemerut di dahi saya. Berat rasanya, pikirku yang memang tolol.


“Membaca puisi ini saya sampai pingsan dan siuman berulang-ulang,” kata Latree Manohara, menukil puisi dari penyair Kurniawan Yunianto. Sontak saja komentar cerpenis gokil itu membuat orang terbahak—mari ulang bersulang tawa: waka waka waka!

Tak berlebihan jika SWBI dikatakan berat tercerna otak. Apa yang hendak digelar GPA dalam puisi itu?

Agung Hima memulai. Membaca puisi ini dari awal sampai akhir, kata Agung, saya belum menemukan maknanya. Entah apa sebenarnya yang hendak di sampaikan penyair.

##
Sebelum menyelami makna yang sebenarnya dikehendaki puisi. Pertama-tama yang menggelitik adalah persoalan bentuk. Kami berayun di antara puisi dan prosa. Dan SWBI, oleh sebagian kami menilainya prosa. Mungkin saja, yang beranggapan demikian karena terjebak pada tampakan puisi yang panjang dan terkecoh oleh susunan macam paragraf, yang sebenarnya bukan hal baru dalam perpuisian Indonesia.

Kita sudah cenderung menerima puisi sebagai gubahan bahasa yang dibentuk secara padat kata, hingga membangkitkan tanggapan khusus pembacanya atas suatu pengalaman melalui penataan bunyi, irama, dan makna. Puisi selalu mencoba mengatasi “kebosanan” bahasa dengan ketepatan dan kecukupan kata, selain seleksi kata yang “asing/ tidak rutin”. Sementara, di dalam prosa kita tidak menemukan konvensi itu. Bahasa dimungkinkan melebar dan merenggang.

“Sulit bagiku menamakannya puisi. Ini masih sangat renggang, sehingga masih bisa disusupi banyak kemungkinan (bahasa) lain,” kata Vivi Andriani.

Sebuah dilema, barangkali, mendebatkan bentuk puisi dengan batasan dan konvensi tak tertawar, di tengah pengejaran bentuk puisi yang makin agresif, ekspresif, dan cenderung bebas. Banyak orang keluar dari kungkungan konvensi demi mencapai “kemerdekaan”. Kelak (mungkinkah sekarang sudah dimulai), barangkali, puisi kehilangan tubuhnya. Ia hanya akan bergerak terus-menerus dalam kerangka fungsi. Fungsi pengejaran ekspresi, penjelajahan, estetika, ataupun makna dalam kepengalamanan manusia.

Namun, di sebelah lain, banyak pula yang bertahan dalam garis-maris batas yang rinci. Sebuah tantangan kreatif tersendiri untuk bisa eksis di tengah banyak aturan.

GPA mengelak SWBI dikatakan prosa. Menurutnya, kalimatnya masih terlalu pendek untuk disebut prosa. Dan, GPA tidak hendak menyoalkan apakah karyanya dikatakan puisi atau prosa. Sebuah “percobaan” mengenai bentuk puisi yang sudah diakrabinya sekitar satu tahunan.

Tampaknya, penyair musti berserah pembaca, hendak dianggap apa karyanya. Begitukah?

###
SWBI adalah bangunan kata yang berkejaran dan mengkonstruksi dirinya menjadi 17 bait. Di Simbol berserakan, bahkan banjir, di dalamnya. Dengan pelbagai keindahannya, pembaca niscaya akan merasa kebingungan mau mendahulukan menjumput penanda-penanda yang mana. Seperti diakui Agung, semua bahasa terasa kuat di sana. Jadi sangat sulit merunut maknanya dari arah mana.

Baiklah saya turunkan SWBI karya GPA utuh:

Sketsa Wanita Bersayap Iblis

Ada yang berdenging sampai bising. Sampai kabut teramat sepi, dan perabot-perabot rumah seperti memaki.

"Selamat usang seperti kami!"

Lalu lampu-lampu melebarkan bayang tubuhmu. Merayapi dinding sampai gelisahmu benar-benar tak tentu. Ini yang purba sejak luka tak lagi dari nganga, yang kerap datang saat pancaroba. Merayap di garis pecah tapak kaki. Lalu hujan juga dadamu itu.

Rumah ini tempat memampatkan segala yang terkucur dari di telapak tangan. Asin dan membasahi gaun merah yang membalut tubuhmu. Dan malam berdetak semakin kencang melemparkan sabit yang teramat nyata. Gerak arloji yang melambat dan jantungmu seperti tertahan semakin pelan.

Kau seperti lelah terduduk di depan kaca. Membersihkan wajah yang belang, sisa-sisa bedak sesore yang surup tadi. Lipstik yang belepotan dan bibirmu jelas berkerut, pucat pasi. Tapi, bayang-bayangmu tak memperlihatkan apa-apa. Tak menunjuk dirimu atau tubuh yang mengendur otot-ototnya.

"Kita milik siapa sebenarnya? Jika waktu memang tak pernah punya pintu. Tak melempar atau menarik tubuhmu. Pada ranah yang tak sepenuhnya nyata."

Kau hanya terduduk dan melepas resah di sudut meja.

“Aku tak pernah memulai apapun. Maka tak ada yang harus kuakhiri.”

Seperti sajak ini? tanyaku subuh itu.

"Barangkali, dan aku lelah menjadi pendosa hanya karena bertanya tentang “kenapa?” dan “bagaimana?”

“Sesekali aku ingin membenci Tuhan. Tapi aku terlampau takut.”

Gelap yang larut dan air matamu yang turut mengendap bersama-sama dengan ampas kopi. Sayap malam yang tanggal saat kepul rokokmu terlempar seperti mengabarkan hidup memang sial. Tapi apalah itu, jika kau masih tak ingin memejamkan matamu barang sekali.

Atap-atap yang merunduk dan saat kau sadari bahwa apapun yang terjadi saat ini kau mulai hampir tak perduli. Kamu mulai mencair, lumer dan menjadi genangan di rumahmu sendiri. Bahkan sebelum Langit memberi pagi dengan kepul asap di tungku dapurmu. Kau sudah benar-benar luruh.

“Aku selalu mencintai subuh, tapi tidak pagi. Karena bunyi-bunyian dari ranting dan burung-burung kerap membuatku alpa.”

Maka kubiarkan saja kau terjaga. Mengawasi langit-langit kamarmu dengan curiga. Saat laba-laba merayap cepat dengan jaring-jaring gaib yang mulai menutupi ranjang dan menjalin tubuhmu menjadi semacam debu. Kau masih berpura-pura waspada.

Saat itu aku akan kembali menyusup. Melewati lubang mulut, hidung, telinga atau bahkan pori-pori kulitmu. Saat itu aku akan memaksamu terpejam. Melupakan setiap peristiwa. Menerbangkanmu ke langit sebagai wanita berbibir senja, hangat dan menggetarkan, melempar api dan kutuk di sudut-sudut kota.

Lalu saat kau kembali tersadar, kau harus memulai lagi hidup lebih awal dengan segala kemalangan baru, rindu yang sial dan segala tanda tanya. Sedang kau semakin kehabisan waktu.

Semarang, 22/04/2010

Saya tidak bisa mungkir, serakan kata yang dijemalinkan itu indah. Juga bagi kawan-kawan lain mengakuinya. Barangkali, itulah jari ajaib GPA yang bisa meramu kata sedemikian. Janoary, menganggapnya sebagai mozaik. Ya, mozaik yang bersusun dari pelbagai warna berlainan yang ditempelkan dengan lihai.

“Seolah masing-masing tidak memiliki koneksi yang kuat. Per bait, malah bisa berdiri dan mengejar maknanya sendiri,” kata Janoary M Wibowo.

Mulailah menyeruak pelbagai keraguan, kecurigaan sekaligus. Agung curiga, GPA terlalu nyaman berbicara tentang sesuatu, sementara ia tidak tahu betul apa yang sedang dibicarakannya. Ini berbahaya, jelas Agung, jika penyair hanya membuai pembaca dengan kata-kata. Entahkah ia sedang bermain-main atau tidak.

Gema Yudha masih tampak diam—sesekali meminta saya berbicara duluan. Tapi sebenarnya tampak ia sudah gatal ingin bicara. Sebab, menurutnya, sudah membaca puisinya tapi belum mendapatkan gamblang maknanya. Kata-kata di dalam SWBI memang banjir. Tapi estetikanya sangat kuat.

“Seolah puisi ini mengatakan, sudahlah kamu (pembaca) tak usah memikirkan maknanya. Nikmati saja keindahannya,” kata Gema. Tapi ini membuktikan Pandu penyair kuat. Penciptaan puisi panjang butuh energi banyak. Itu tidak mudah.

Dari sebalik keraguan itu, Guri Ridola mencoba menembus melalui judulnya. Kata “Sketsa” di sana, menurutnya adalah kesadaran GPA memberi gambaran terbatas terhadap sesuatu yang hendak disampaikannya. Sebab, sketsa adalah gambaran sederhana tentang sesuatu. Kurniawan Yunianto menimpali, sketsa memanglah gambar yang tidak selesai. Artinya, sketsa hanyalah bagian penggambaran yang masih samar-samar.

Mungkinkah GPA telah menyusun enigma. Sehingga kerumitannya yang rinci seolah tak tertembus. Makna seperti disembunyikan serapat-rapatnya di antara parit-parit kata. Tapi, Vivi curiga bahwa GPA tengah menguji pembacanya: bisakah atau sejauh mana pembaca menemu makna puisinya.

“Tidak seorang penyair pun berhak menguji pembaca. Pembaca akan menemukan makna dengan sendiri-sendiri,” Vivi menyentil.

####
Pandangan apapun, tentang SWBI, bukan bermaksud membatasi maknanya. Tafsir tentunya diberi hak untuk memilih ragamnya sendiri, sesuai kemampuan-kepengalaman pembaca. Dan, GPA, dalam puisinya telah berupaya meletakkan clue. Ada penanda yang diarahkan di sana. Dan GPA telah memulai sajaknya dengan pelbagai konsepsi yang barangkali tidak ringan.

Mulanya GPA mengajak pembaca sadar waktu. “Ada” dan “waktu” mencoba didialogkan di sana. “Kita milik siapa sebenarnya? Jika waktu memang tak pernah punya pintu. Tak melempar atau menarik tubuhmu. Pada ranah yang tak sepenuhnya nyata,” tulis GPA.

GPA memaparkan konsepsi manusia yang jiwanya senantiasa maju-mundur tanpa penyelesaian apapun. Manusia yang sadar khilaf, manusia yang memaafkan diri sendiri, pula manusia yang gamang mengeja benar-salah. Dan rutin begitu-begitu saja. Hingga seperti diam saja di ruang hening: ruang “ketiga” yang kita tidak bisa kebenaran maupun kesalahan tidak bisa mengadilinya.

Dan, di sana, konsepsi tentang iblis didudukkan. Entah iblis yang bagaimana. Tertampak di sana, adalah iblis yang sangat akrab dan telah ber-“kita” dengan manusia. Bisa dilacak pada salah satu kalimat, “Kita milik siapa sebenarnya?”

“Kita” siapa yang dirujuk pertanyaan itu? “Kita” antara penyair dengan pembacakah? Mungkinkah perempuan yang berdialog dengan jiwanya sendiri? Ataukah perempuan yang berdialog dengan iblis—dan sebaliknya?

Iblis di sana adalah, yang menurut penjelasan GPA, sebagai subjek yang menyesatkan. Iblis yang menyeret perempuan ke dalam dunia gelap secara terus dan berulang. Tapi, iblis pulalah yang menjaga dan menyadarkan perempuan itu. Aha, iblis penggoda sekaligus penyadar. Dan manusia, subjek yang tak henti tergoda sekaligus tersadar.

Jadilah pembaca, mau tidak mau, ditarik pada konsepsi antara “sadar” dan “lena”. Keduanya telah menjadi pertukaran yang semata rutin. Berulang-ulang tanpa penyelesaian. Simak bait ke-15/16.

Dan pada akhirnya, “Aku tak pernah memulai apapun. Maka tak ada yang harus kuakhiri,” tulis GPA.

Barangkali, begitu! “Sadar” dan “lena”—seperti itu pulalah sajak ini—menjadi loop infinite. Sesuatu yang tidak akan pernah selesai. Ia bisa berputar dan diulang, tapi posisinya tetap tak beranjak. Tak pernah mencapai akhir.

#####
Saya membayangkan tiba-tiba Kurniawan Yunianto datang. Membacakan sajak ini seperti kemarin. Meski selepasnya saya akan pingsan dan siumang berulang-ulang. Mari bersulang tawa, hahahaha… Piss & Luv

Musyafak Timur Banua, pengelola Open Mind Community Semarang

Catatan ini adalah notulensi diskusi puisi Sketsa Wanita Bersayap Iblis karya Galih Pandu Adi di TBRS, Minggu 10/10/10. Maaf, notulensi ini jauh dari sempurna. Selain dibuat dengan tergesa-gesa, penulis banyak lupa dan alpa, juga telah tereduksi oleh pikiran-pikiran penulis sendiri. Siapa saja berhak melakukan pengeditan dan menerbitkannya sebagai note yang bisa dibagi bersama. Maturnuwun.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

1 comment:

  1. Untuk memahami puisi GPA paling afdol todong saja dia di warung kopi, entar jg lumer sendiri hehehe. Wanita awal akhir iblis logam api dada waktu batu, permainan kata GPA selalu berputar di sana. Salam. .

    ReplyDelete