Oleh Musyafak Timur Banua
( Sinar Harapan 23 Februari 2011)
Kemiskinan yang menjerat rakyat Indonesia terasa semakin berlarat-larat. Barangkali rakyat kecil sudah terlalu bosan pada kemelaratan
Sekian lama menerima kenyataan hidup dalam tekanan ekonomi lama-lama rasa muak itu meruyak, tak bisa dielakkan. Barangkali pula, sebenarnya sudah sekian lama rakyat di negeri ini ingin sekali tobat melarat.
Ya, tobat melarat! Harapan untuk lepas dari situasi kemiskinan ekonomi yang tumbuh subur dan semakin menjalar hingga bersulur-sulur di ruang-ruang sosial. Apa mau dikata, kemiskinan telah menjadi momok yang membuat rakyat kecil merasa kapok.
Tobat melarat menjadi semacam lompatan menuju kehidupan yang sejahtera. Menjadi landasan pikir dan laku untuk bebas dari kekangan hidup bernama kemelaratan itu.
Namun, siapa yang bisa mengabulkan tobat melarat itu? Berharap pada pemerintah rasanya muskil, bahkan mendekati mustahil. Faktanya, justru para pemegang kekuasaan itulah yang kini merongrong negara dari dalam. Ibarat rumah kayu, negara ini dirongrong oleh pengemban amanat yang menjelma rayap-rayap. Kerakusan itu tidak akan selesai kecuali rumah itu ambruk.
Namun, siapa yang bisa mengabulkan tobat melarat itu? Berharap pada pemerintah rasanya muskil, bahkan mendekati mustahil. Faktanya, justru para pemegang kekuasaan itulah yang kini merongrong negara dari dalam. Ibarat rumah kayu, negara ini dirongrong oleh pengemban amanat yang menjelma rayap-rayap. Kerakusan itu tidak akan selesai kecuali rumah itu ambruk.
Korupsi sudah berlarut-larut mengkhianati kontrak-kontrak kehidupan berbangsa yang dirumuskan oleh founding fathers. Pancasila dan UUD 1945 sekadar dijadikan legitimasi untuk menjalankan retorika politik yang kamuflatif. Pada akhirnya politik, juga hukum, hanya menjadi modal bagi para pemegang kekuasaan untuk mengeruk keuntungan dari negara. Padahal negara ini berdiri di atas nisan ratusan ribu pahlawan yang telah berkorban darah dan nyawa demi kemerdekaan.
Kebangkrutan NegaraAhmad Tohari dengan apik melukiskan keinginan manusia untuk tobat melarat di dalam novelnya, Orang-orang Proyek (2002). Dikisahkan, Insinyur Dalkijo begitu benci pada kemiskinan. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga petani miskin. Kemiskinan yang tidak mengenakkan membuatnya dendam pada kemiskinan. Karenanya ia bersepakat untuk melakukan tobat melarat.
Kebangkrutan NegaraAhmad Tohari dengan apik melukiskan keinginan manusia untuk tobat melarat di dalam novelnya, Orang-orang Proyek (2002). Dikisahkan, Insinyur Dalkijo begitu benci pada kemiskinan. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga petani miskin. Kemiskinan yang tidak mengenakkan membuatnya dendam pada kemiskinan. Karenanya ia bersepakat untuk melakukan tobat melarat.
Celakanya, tobat melarat itu dilakukannya dengan cara-cara kotor. Sebagai pemborong yang kerap melaksanakan proyek-proyek pembangunan pemerintah, Insinyur Dalkijo menyadap sebagian dana anggaran proyek untuk kepentingan pribadi dan kelompok politiknya. Taruhannya, kualitas bangunan proyek jauh dari baku mutu dan cepat rusak.
Begitulah tobat melarat justru menjadikan manusia gelap mata. Dendam terhadap kemiskinan membuat manusia menganggap kejujuran tidak berharga sama sekali. Pepatah “jaman edan, yen ora edan ora keduman” seperti dipesankan oleh pujangga Ronggowarsito justru seolah menjadi pembenaran kehidupan terkini, bukan pengingatan.
Manusia lumrah berlaku tidak jujur dan seolah-olah berlaku khianat itu tidak patut dipersoalkan karena telah dilakukan kebanyakan orang. Pada akhirnya, kecurangan menjadi jalan yang diabsahkan untuk terbebas dari kemelaratan.
Kita tidak bisa lagi menaksir barapa banyak jumlah Dalkijo-Dalkijo lain di negeri ini. Saban hari media massa memberitakan pejabat-pejabat yang tersangkut korupsi. Satu-dua di bui, lainnya muncul lagi. Begitu seterusnya sehingga kita sendiri nyinyir melihatnya. Namun, alih-alih nyinyir, sebagian masyarakat lama-kelamaan akan membenarkan perilaku korupsi karena memang perilaku itu sudah menjadi kebiasaan jamak orang.
Barangkali benar adanya pandangan Jean Francois Lyotard (2001), performativitas terjadi sebagai akibat dari kehadiran kekhilafan atau kesalahan yang begitu sering. Intensitas dan pengulangan kehadiran kesalahan itu akan membentuk “kebenaran baru”. Ini karena penumpukan kesalahan yang ekstensif itu secara diam-diam melegitimasi kesalahan-kesalahan selanjutnya.
Bisa kita bayangkan, tidak lama lagi bangsa ini bangkrut. Kebangkrutan itu akan semakin menista wong cilik. Kebangkrutan negara tidak sekadar kekayaannya yang dirongrong habis oleh rayap-rayap kapitalis.
Tidak terkecuali, politik dan hukum pun mengalami kebangkrutan. Kedua pilar penyangga demokrasi itu semakin rapuh. Dengan begitu, demokrasi bernasib tragis, menjadi feodalisme gaya baru yang melindas-lindas kepentingan rakyat. Hukum pun mengindap lepra, tak berdaya dijadikan boneka mainan bagi para penguasa.
Tobat Korupsi
Kiranya, bangsa ini tidak sekadar perlu tobat melarat. Dendam terhadap kemelaratan akan membuahkan kecurangan-kecurangan baru yang tidak terperikan.
Lebih tepat jika bangsa ini melakukan tobat korupsi. Menghentikan segala perilaku yang merampas hak-hak orang lain, apalagi hak-hak bersama.
Lebih tepat jika bangsa ini melakukan tobat korupsi. Menghentikan segala perilaku yang merampas hak-hak orang lain, apalagi hak-hak bersama.
Tidak bisa dimungkiri, penyebab besar kebangkrutan yang membuat perjalanan bangsa ini melenceng dari cita-cita awalnya—manusia merdeka dari keterjajahan hak-hak ekonomi, sosial, politik, pendidikan, budaya, dan lainnya—adalah korupsi. Bennedict Anderson memandang kemerdekaan Indonesia masih sebatas kemerdekaan membagi roti kekuasaan. Kebanyakan orang menuntut banyak pada bangsanya, tetapi mereka tak menginsyafi apa-apa yang bisa disumbangkan terhadap bangsanya.
Akan tetapi, masa depan dan harapan itu masih ada. Kebangkrutan bangsa harus dipulihkan, meski butuh waktu yang sangat panjang. Semangat tobat melarat asal digerakkan dengan semangat dan laku kejujuran menjadi titik pijak untuk lepas dari kutukan kemelaratan. Sudah sepatutnya tobat melarat itu berjalan beriringan dengan tobat korupsi. Jika tidak, tobat melarat hanya akan menjadikan kemelaratan semakin berlarat-larat!
Penulis adalah pengelola Open Mind Community; aktivis di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang.