Judul : Resolusi Jihad Paling Syar’i
Penulis : Gugun El-Guyanie
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Oktober 2010
Tebal : xiv+128 hlm
ISBN : 979-8452-71-2
Tegaknya kedaulatan Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 tidak lepas dari kontribusi berbagai elemen bangsa. Di antaranya Hizbullah dan Sabilillah, barisan tentara kaum kiai-santri yang bernaung di bawah Partai Masyumi. Tetapi nasib “Laskar Kiai-Santri” itu kurang beruntung sebab perannya seolah diluputkan dalam catatan sejarah keindonesiaan.
Penulis : Gugun El-Guyanie
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Oktober 2010
Tebal : xiv+128 hlm
ISBN : 979-8452-71-2
Tegaknya kedaulatan Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 tidak lepas dari kontribusi berbagai elemen bangsa. Di antaranya Hizbullah dan Sabilillah, barisan tentara kaum kiai-santri yang bernaung di bawah Partai Masyumi. Tetapi nasib “Laskar Kiai-Santri” itu kurang beruntung sebab perannya seolah diluputkan dalam catatan sejarah keindonesiaan.
Deliar Nor (1987) mencatat jumlah tentara Hizbullah berkisar 50.000 orang ketika Jepang takluk, dan meningkat lagi pasca proklamasi kemerdekaan. Hizbullah ditengarai sebagai satu-satunya organisasi bersenjata dari kalangan pemuda Islam dengan persenjataan yang kian lengkap. Sedangkan kalangan tua mendirikan laskar Sabilillah yang juga bernaung di bawah Masyumi.
Bela Negara
Buku Resolusi Jihad Paling Syar’i karya Gugun El-Guyanie ini menguak ketersembunyian sejarah laskar kaum santri tersebut. Hizbullah dan Sabilillah merupakan representasi semangat bela negara dari kalangan kaum muslimin. Keduanya hidup dalam situasi kebangsaan yang masih goyah oleh ancaman kolonialisme. Salah satunya ada momentum kedatangan kembali Belanda yang membonceng NICA (Sekutu Amerika-Inggris). Momentum itu menimbulkan keprihatinan di kalangan ulama-santri sebab mencium kembali gelagat kolonialisme. Ulama se-Jawa-Madura yang digawangi para pendiri NU seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, pada 21 Oktober 1945 menyelenggarakan musyawarah di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl Bubutan IV/2 Surabaya, dan memutuskan seruan “jihad fi sabilillah” yang kemudian dikenal sebagai “Resolusi Jihad” pada Pada 23 Oktober 1945 (hlm 72).
Resolusi Jihad berisi seruan bela negara. Pertama, mempertahankan kemerdekaan RI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kedua, mengakui RI sebagai satu-satunya pemerintahan sah yang harus dibela dengan harta dan jiwa. Ketiga, mengingatkan kedatangan Belanda yang membonceng NICA (sekutu Amerika-Inggris) sebagai upaya menjajah kembali bangsa Indonesia. Keempat, menyeru umat muslim, khususnya warga NU, untuk mengangkat senjata melawan Belanda atau Sekutu yang mencoba merongrong kedaulatan RI (hlm 74-75).
Resolusi Jihad seolah pembuktian terbalik bagi tuduhan kaum nasionalis yang cenderung melihat ulama atau santri sebagai kaum tradisionalis yang hanya mementingkan persoalan ubudiyyah (peribadatan kepada Tuhan). Sebaliknya, kaum ulama atau santri memiliki kepedulian besar terhadap isu-isu kebangsaan.
Jauh sebelum Resolusi Jihad itu, para ulama telah mentransformasikan nilai-nilai keagamaan untuk kepentingan kebangsaan (wathaniyah). Nahdlat al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air, Tashwir al-Afkar (Potret Pemikiran), dan Nahdlat al-Tujjar (Kebangkitan Pedagang) adalah tiga embrio NU yang responsif terhadap situasi politik kebangsaan. Hingga lahirnya Hizbullah atau Laskar Santri pada 4 Desember 1944 yang diinisiasi KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) merupakan representasi respon kaum santri terhadap situasi berbangsa dan bertanah air.
Transformasi
Resolusi jihad merupakan bentuk transformasi nilai-nilai agama menjadi spirit perjuangan membela negara. Penggunaan agama sebagai simbol perlawanan tampak efektif untuk memobilisasi massa hingga mengatasi problem etnisitas maupun primordialitas (hlm 45). Tidak salah jika KH Wahab Hasbullah menciptakan adagium “hubb al-wathan min al-iman” (cinta tanah air sebagian dari iman).
Resolusi Jihad memiliki efek besar terhadap semangat juang kaum muslim. Misalnya, Pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 yang dikomando Bung Tomo tidak lepas dari dukungan ribuan kaum muslim yang bersedia mengorbankan dirinya menjadi martir (hlm 88-91), hingga tragedi itu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Mengingat Surabaya sebagai basis kaum santri yang menjadi pusat kekuatan struktural maupun kultural NU, maka patriotisme arek-arek Surabaya merupakan sebagian representasi patriotisme kaum santri.
Di tengah merebaknya penggunaan kata jihad atas nama agama yang justru mengancam pluralisme, demokrasi, serta keutuhan NKRI, seperti digunakan gerakan terorisme, spirit Resolusi Jihad masih relevan digali untuk merumuskan makna jihad yang selaras realitas kekinian. (Musyafak Timur Banua)