Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.
—Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
Kampus masih dipercaya sebagai ruang pergulatan intelektual yang cukup dinamis. Pelbagai isu dan wacana tak habis-habisnya didedahkan sebagai bahan kajian. Ironisnya, persoalan sastra seolah luput dari perhatian masyarakat kampus. Rerasan mengenai sastra sangat minim dan jarang terdengar publik. Gaungnya samar-samar dibandingkan perbincangan mengenai tema-tema sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun khazanah pergerakan yang acap larut menjadi diskusi romantik para mahasiswa. Sastra mengalami ekslusifikasi, seolah hanya milik kampung bernama fakultas ilmu budaya atau fakultas sastra.
Perkara ini cukup membuat sederet kecurigaan. Barangkali masyarakat kampus telah asing dengan sastra. Minimnya mahasiswa yang menilik gelaran-gelaran sastra mengisbatkan sastra sebagai “liyan” di kehidupan kampus. Padahal sastra bukan sekadar urusan berindah-indah dengan “permainan” kata atau bahasa. Sastra adalah medium yang cukup lengkap dalam menyatakan kehidupan tiap-tiap zaman. Sastra menjadi biografi kultural maupun sosial yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Meski sastra lahir di ruang fiksi, tetapi kehadirannya merupakan pemetaan dari model sosial yang nyata. Sastra melimpahkan kekayaan imaji tentang realitas sosial, sebagai referensi alternatif dalam merekonstruksi dinamika masyarakat. Sastra memperkaya dan menafsirkan realitas, sekaligus mengintensifkan kesadaran manusia tentang banyak hal yang dipersoalkan di dalamnya.
Sastra mencakup aspek kehidupan multikompleks: sosial, ekonomi, politik, budaya, filsafat, dsb. Sastra mampu menggumuli kehidupan secara lebih intim. Di samping, sastra untuk melengkapi hajat spiritual manusia. Karenanya, perbincangan sastra patut menjadi medan dialektika intelektual mahasiswa.
Tidak dimungkiri, sastra masih hidup bersemayam di kampus-kampus. Beberapa komunitas yang bernaung di bawah institusi perguruan menggelar acara-acara kesusastraan. Meski gaungnya seolah tertelan di antara riuh-rendah kehidupan kampus. Di ruang-ruang itulah sebagaian kecil mahasiswa mengaktualisasikan minat sastra: berkarya, menghadirkan kritik, juga membincangkan sastra dalam relasi-relasi kehidupan.
Peran Fakultas Sastra
Jamak orang masih meyakini kampus, khususnya Fakultas Sastra atau Ilmu Budaya, sebagai rahim kesusastraan. Fakultas Sastra dianggap sebagai kantung-kantung persemaian bagi kembangbiaknya gairah bersastra yang telah melahirkan banyak sastrawan. Penegasan macam itu telah lumrah dinyatakan. Bahkan Fakultas Sastra pernah diklaim sebagai salah satu tolok ukur legitimatif atas kesusatraan.
Ini patut direnungkan sekaligus dipertanyakan. Sejauh mana produktivitas Fakultas Sastra menciptakan karya sastra, di samping mengajukan kritik sastra. Sementara banyak pengarang atau sastrawan tidak lahir dan dibesarkan oleh Fakultas Sastra, kecuali tirakat otodidak semata. Mahasiswa juga menggawangi komunitas-komunitas di luar kampus karena merasa arus birokrasi kampus lebih banyak menghabiskan energi ketimbang untuk berkarya.
Fakultas Sastra yang mustinya menjadi garda depan dalam memproduksi wacana dan isu sastra justru tidak terlalu nampak perannya. Boleh jadi minimnya rerasan sastra di forum-forum kampus (di luar bangku kuliah) adalah buntut tenggelamnya institusi di dalam kerutinan akademik. Di Fakultas Sastra, misalnya, sastra diutamakan menjadi bahan perkuliahan. Terasa tragis ketika saya mendengar keluhan mahasiswa yang mencipta karya sastra sebatas untuk memenuhi tugas kuliah.
Tugas kritik sastra yang diemban Fakultas Sastra pun diadang paradoks sistem akademik. Skripsi mahasiswa sastra tampaknya belum berperan sebagai kritik sastra yang sebenarnya. Puluhan ribu skripsi yang memuat kritik-kritik sastra tidak berkomunikasi dengan khalayak. Nasibnya menyedihkan, lapuk di rak-rak perpustakaan kampus yang jarang disentuh masyarakat umum, bahkan mangkrak di gudang—demikian memang nasib skripsi pada umumnya.
Mustinya, Fakultas Sastra menawarkan opsi lain. Syarat kelulusan tidak hanya bisa diraih melalui skripsi, tetapi juga jalur karya, seperti yang diberlakukan di beberapa fakultas kesenian atau tehnik. Tak semua mahasiswa ingin menjadi kritikus atau akademisi sastra. Banyak mahasiswa yang ingin menjadi pengarang atau sastrawan. Jika opsi karya dimunculkan, tidak mustahil memacu mahasiswa bergairah dalam mencipta karya sastra.
Di tengah membludaknya karya sastra, apalagi perkembangan sastra media maya seperti facebook, blog, friendster, dll tanpa perimbangan kritik sastra, peran para akademisi sastra yang lahir dan besar di Fakultas Sastra sangat ditunggu. Kemunculan karya-karya yang tidak terbendung musti didekati dengan kritik sastra secara memadai agar kualitas sastra tidak merosot di tengah “euforia” bahasa-sastra.
—Musyafak Timur Banua, dewan redaksi majalah sastra Soeket Teki Semaran
(Radar Surabaya 22 Mei 2011)
fakultas Amanat ada sastranya gak????? mau donk gabung
ReplyDelete