Negara kini telah berada pada situasi bangkrut. Rakyat tidak hanya teraniaya oleh kemelaratan ekonomi, tetapi juga kebangkrutan moral politik dan hukum yang semakin mengaburkan cita-cita berbangsa: memerdekakan manusia dari ketertindasan.
Celakanya, kebangkrutan demi kebangkrutan justru bermula dari ulah para pemangku kekuasaan yang semestinya bertindak sebagai pelaksana amanat rakyat. Korupsi jelas-jelas merongrong negara dari dalam secara membabibuta.
Betapa tidak, baik politik maupun hukum kini hanya menjadi medan pergulatan kepentingan para elite politik. Saban hari masyarakat menonton drama hukum yang tragis. Alih-alih menegakkannya, hukum justru diperosotkan hingga kehilangan martabatnya. Upaya penuntasan kasus demi kasus pelanggaran hukum sekadar menjadi kerutinan cerita yang klise dan membosankan.
Sebenarnya rakyat tidak pernah berhenti berharap, negara yang berdiri di bumi nusantara ini bangkit dari kebangkrutannya. Berharap rakyat bisa mentas dari kemiskinan, hak-hak hidup bersama dijamin oleh hukum, juga distribusi keadilan yang merata. Nyatanya pelbagai harapan itu hanya membuat kekecewaan yang berlarut-larut, bahkan berlarat-larat. Akibatnya kepercayaan rakyat kepada negara makin merosot. Bukan tidak mungkin jika negara ini bakal "kehilangan" rakyat. Kekecewaan yang tak terobati niscaya membuat rakyat berpaling dari negaranya dan menempuh jalan antinegara: abai politik dan hukum.
Absurditas Berbangsa
Kontradiksi antara harapan dan kenyataan melemparkan rakyat pada situasi absurd yang tidak tertanggungkan lagi. Pertentangan antara idealitas dan realitas mengisbatkan situasi kehidupan berbangsa-bernegara yang penuh absurditas. Perangkat-perangkat negara yang mustinya bertujuan menjamin hak-hak masyarakat justru berbalik menjadi alat-alat yang dilegalkan untuk merampas dan menindas masyarakat. Demokrasi, hukum, dan politik tidak dijalankan sepenurut aturannya yang memuat nilai-nilai moral dan humanitas telah menerakan sejarah tentang kecelakaan bangsa yang sulit diselesaikan. Absurditas itu seolah-olah menggelar keadaan tanpa harapan.
Albert Camus dalam buku Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (2001), memandang absurditas sebagai situasi tanpa makna. Dinamika kehidupan menunjukkan tiadanya gerakan dunia yang konon berasaskan pada harmonitas. Sebaliknya, hukum absurditas lebih dominan sehingga menubakan pelbagai kekacauan yang menyengsarakan kehidupan manusia. Di satu sisi manusia tidak henti-henti memolakan dan merumuskan dunia dengan hukum-hukum sosial yang ingin merangkul mesra semua individu maupun golongan. Tetapi, di sisi lain manusia sendiri yang selalu mencari celah untuk mengkhianatinya untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
Absurditas juga terejawantah sebagai kematian makna nilai-nilai kebenaran yang sekian lama dirumuskan sebagai patokan hidup yang sarat keadaban. Apa boleh buat, kebenaran yang menjunjung tinggi budi luhur manusia justru dihinadinakan. Kebenaran yang dibangun atas nama kebajikan dan kejujuran telah kehilangan kepercayaan dari manusia.
Tetapi kita perlu melakukan penyangkalan terhadap Camus. Sebab pada dasarnya kita masih selalu merindukan kebahagiaan dan kebajikan. Situasi berbangsa-bernegara tentu masih bermakna selagi masyarakat masih merindukan keadilan. Setidaknya, harapan-harapan itu masih menempatkan kehidupan ini memiliki makna yang hendak ditatap di masa depan.
Pemulihan
Tidak bisa ditawar, jika ingin negara ini tetap hadir dan mengada di hadapan rakyat, maka berbagai kebangkrutan negara mesti dipulihkan. Politik seharusnya menjadi medium untuk mendialogkan kepentingan-kepentingan seluruh elemen masyarakat. Kepentingan yang beragam dan berbeda musti dikompromikan agar berjalan bersamaan tanpa mengurangi hak-hak satu sama lain, apalagi mencederai. Begitu pula hukum, sudah sepatutnya dikembalikan kepada khittahnya sebagai rambu-rambu yang mengatur dan menyusun harmonitas antarindividu. Kerja hukum musti dikembalikan sebagai kerja untuk mendistribusikan keadilan demi mencapai kebahagiaan bersama.
Harapan pemulihan itu patut dipandang sebagai misi menggerakkan kehidupan berdasarkan prinsip sinkronitas—meminjam istilah Charles Gustav Jung. Dalam konteks kehidupan berbangsa-bernegara, sinkronitas adalah gerak bersama menuju harmonitas hubungan antarindividu maupun antargolongan.
Sinkronitas memandang setiap perilaku memiliki keterkaitan dengan perilaku lainnya. Walhasil tiap-tiap peristiwa merupakan jalinan kausalitas (sebab-akibat) atas peristiwa-peristiwa lainnya. Karenanya orang mesti sadar bahwa perbuatannya akan menimpakan sebuah keadaan tertentu kepada orang lain. Jika seseorang berbuat keburukan, maka dapat dipastikan orang lain akan tertimpat kejujuran sebagai efek akibat yang tidak bisa dihindarkan. Begitu juga sebaliknya, jika orang lain berbuat kebajikan, maka sangat mungkin seseorang akan tertimpa kebajikan daripadanya.
Karenanya setiap instrumen negara harus dijalankan menurut asas sinkronitas. Hukum, misalnya, mustahil berjalan dengan baik dan semestinya jika politik dijalankan dengan penuh kecurangan dan penyelewengan. Begitu juga budaya masyarakat akan semakin beradab jika pendidikan berjalan dengan benar dan sesuai tujuan kemanusiaannya. Lain kata, kerusakan di salah satu instrumen negara akan berakibat pada kerusakan instrumen-instrumen lainnya.
Sinkronitas penting sebagai landasan perspesktif dalam memandang dunia dan merumuskan pandangan dunia (world view). Agar manusia tidak semena-mena mengaplikasikan kebebasan bertindak secara individual. Bahwasanya setiap tindakan individu harus disertai kepenuhan tanggungjawab kepada orang lain. Prinsip-prinsip sinkronitas juga penting untuk melawan realitas hidup yang penuh absurditas, termasuk untuk mengatasi kebangkrutan negara agar tidak semakin berlarat-larat.
Musyafak, essais
(Analisa, 14 Mei 2011)
(Analisa, 14 Mei 2011)