Wednesday, June 01, 2011

Lakon KY di Ambang Iman

0
# Notulensi “Celebration of Reading: Telaah Kualitatif Puisi Kurniawan Yunianto” oleh Open Mind Community di TBRS Semarang, 17 Mei 2011

1#
Perayaan makna itu kembali menemukan panggungnya. Lagi, Open Mind Community mengarak puisi ke ruang ramai. Melolosi kata dari ruang sunyi bernama teks. Memperkarakan dan mengelukannya sebagai bagian hidup yang berlimpahan makna. Kata dipihaki sebagai penubuhan pesan yang menyediakan berbagai kemungkinan makna. Kelahiran dan pembacaan kata menjadi fragmen penting dalam menarasikan hidup, sekalian menarasikan diri. Dan, diri itulah yang senantiasa melakonkan perjalanan eksistensial.

Lakon itu tidak lain dan tidak bukan adalah manusia. Manusia yang tergetar menatap dirinya sendiri. Bahkan terasing dari kebisingan yang dikarsakannya sendiri. Dan, barangkali puisi lahir di suatu ruang antara. Keheningan (yang konon bening) yang bersilangan dengan kebisingan.

Di panggung perayaan kali ini kita bertatapan dengan satu puisi berjudul Di Batas Pendengaran. Sekalian berhadapan langsung dengan Kurniawan Yunianto (KY), penyairnya. Di sana, Purwono Nugroho Adhi berdiri lengkap dengan seperangkat alat bedahnya. Kerja telaah teks ala deep level-nya hendak disasarkan pada perkembangan kepercayaan KY.

Logico semantic diusut dalam ranah psikologis yang berpijakan dengan kajian a stage development of faith (perkembangan kepercayaan eksistensial) ala James W Fowler. Perkembangan kepercayaan di sini melibati aspek koherensi dunia, fungsi simbol, tacit system (kerinduan atau obsesi diri), dan kesadaran sosial.

“Saya menelisiknya secara diakronis. Telaah puisi ini mempertimbangkan proses kreatif penyairnya. Ini hanya salah satu pilihan pembacaan dengan menautkan puisi dan pengarang dalam jalinan sebuah ruang historisitas,” kata Ipung, sapaan akrab Purwono.

DI BATAS PENDENGARAN 

pesan dari zaman ke zaman
yang kutemukan terlunta melata
menyusuri bangkai peradaban
serupa gembel tua dengan sorot mata
yang mulai redup meniti garis hidup
telah kutanam di tiap liang tubuh
lalu tumbuh dalam bahasa padi
yang rimbun dan teduh

kutulis ulang dalam nyala api
di perutmu yang lapang dengan rapi
lalu paling tidak sekali dalam seminggu
kubacakan satu demi satu kepadamu

hingga kemudian saling menghidupi
hingga tak perlu lagi mencuri
atau mengharamkan suatu tindakan
yang membuat tuhan tersinggung
lalu enggan hadir di tiap kata
yang kau aku tulisbacakan

langit yang kau bilang di atas itu
benarkah memang letak dari ketinggian
atau palung ternyata tak lagi
menunjukkan sebuah kedalaman

pagi itu saat aku membangunkanmu
yang kau dengar tak sekedar syair
sajak ataupun kebenaran

ketika satu ayat telah dimukimkan
dan bertahun menemu betah

kau tak harus mengamininya bukan

26.04.2011

Melalui puisi tersebut, Ipung menengarai belief-kognitif KY menapakkan sifatnya yang filosofis-empiris. Watak kognitif yang tidak simpel ini tertampak dalam caranya mengolah kata dan menghubungkannya dengan persitiwa hidup. Di puisi itu, Ipung juga mendapati ekspresi-ekspresi religious doubt (keraguan nilai religius). Sebuah ambang. Keraguan inilah yang memungkinkan terjadinya pembongkaran reflektif terhadap cara pandang religius yang lazim atau konvensional. Agama memang menjadi salah satu institusi yang menyediakan suatu otoritas nilai baginya. Namun “kau tak harus mengamininya bukan”, KY? Religious doubt  meniscayakan pula terjadinya demitologisasi atau pembongkaran simbol-simbol agama. Dan, keraguan itu membawanya melesati ranah individuative-reflective yang mengantarnya pada conjunctive faith. Itulah cara pandang religius yang lari dari kungkungan. Lari dari batas. Sehingga menemukan sesuatu  yang lebih luas.

2#
Ganjar Sudibyo, kita menyebutnya Ganz, juga hadir di sana. Ia mengajukan suatu telaah psikologis lain. Menurutnya saban karya memiliki tingkatan: niveau anorganis, niveau vegetatif, niveau animal, niveau human, niveau religius. Ia membandingkan, ketika menelaah gurindam Hasan Aspahani ia menemukan kelima niveau itu. Sedangkan di sajak KY ia tidak menemukannya.

“Namun, kelebihannya, karya KY memuat niveau religius lebih mendalam daripada gurinda Hasan Aspahani. Ini bisa dilihat dari bait ke-3. Di situ ada tingkatan religius yang didalami KY,” papar Ganz. Setiap fase psikologis, kata Ganz, seseorang selalu mengalami krisis. Krisis itu menimbulkan represi-represi tertentu. Barangkali, dalam fase krisis ini, hasrat skizofrenik KY diobjekkan dalam bentuk puisi. Karenanya, Ganz—merujuk Erikson—menengarai krisis semacam itu biasa dialami manusia dalam usia-usia tertentu.

Lantas muncul pelbagai tanggapan terhadap puisi KY. Janoary M Wibowo mengatakan, meski tidak ditelaah secara psikologis, pembaca dengan sendirinya dapat menerima bahwa inilah kitab suci KY. “Nah, kajian kualitatif ini mau sedalam mana? Bagaimana jika definisi Fowler tidak mencukupi tidak memadai untuk mendefiniskan perkembangan religius KY?” tantangnya.

Begitulah Jano, entahkah ia hendak menerabas batas yang lain lagi. Yang jelas, katanya, ada satu keterbukaan dalam puisi KY. Semacam memberikan sebuah informasi bagaimana seseorang untuk mencapai sebuah “batas”. Di sana dinyatakan dua jalan, silahkan kamu pilih jalan ini, atau jalan itu. Begitulah manusia menurut KY yang punya kitab suci sendiri-sendiri.

Guri Ridola pun mengendus watak religius KY yang kritis yang dikawal dengan nalar skeptis. Watak itulah yang mendorong sebuah transisi keyakinan. Namun, setelah seseorang mengalamui semua pembongkaran nilai, sebaliknya ia akan yakin sepenuhnya. Guri mengaku, puisi KY menangkapkan situasi tenang, dewasa, dan kuat. “Ketika melihat KY, saya seperti melihat puisi ini,” akunya.

Kesaksian diakronis juga muncul dari Agung Hima, meski penuh “curiga”. Tahun lalu Agung pernah mengulas puisi KY dengan tajuk “KY Mengenalkan Tuhannya”. Puisi Di Batas Pendengaran kali ini memang terasa berbeda baginya. Menurutnya, tahapan-tahapan KY sudah melewati perkara Tuhan. “Saya curiga KY telah mengakhiri perjalanannya, dan mulai dengan yang baru. Entah akan lebih ruwet atau bagaimana,” kata Agung.

Panggung diakronis ini tentu memberi kesempata bagi KY untuk membeberkan pengakuannya. Katanya, akal pikir manusia memang membantu untuk memolakan dunia dan mencapai beberapa hal. Tapi akal pikir bukanlah satu-satunya. Di seberang lain ada hati, jiwa. Pada hal-hal yang konkret saja manusia tidak tahu dari mana datangnya. Karenanya indera bisa dibilang sangat terbatas tanpa yang hati, jiwa itu.

“Mungkin dengan tidak bertuhan, saya bisa tahu bagaimana caranya bertuhan,” kata KY.

Titik tekan KY adalah bahwasanya manusia bisa menemukan kepercayaannya sendiri. Menemukan kitab sucinya sendiri. Dan KY menutupnya dengan datar, tetapi di situlah ia memperlihatkan sebuah dasar. Dasar bagi yang hidup.
Meskipun dunia ini pada satu unity, atau jika menurut Jawa ada sangkan paraning dumadi, kita berawal dan berakhir di titik yang sama, tetapi kita harus mengakui ada kelahiran dan kematian. Begitu kata KY.

Musyafak, sedulur Open Mind Community
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment