Friday, October 07, 2011

Cerpen Mbuh, Adin Acak Melompat-lompat

0
Dunia kini bergerak acak, kacau, bahkan kontradiktif. Struktur dunia yang menjelmakan realitas penuh ketidakpastian dan ketidakmenentuan itu bergerak pula ke dunia fiksi. Ranah imajiner mencerapnya sebagai ikhtiar mengkoherensikan pandangan dunia yang selaras dengan zamannya.

Puisi, cerpen maupun novel mutakhir, kentara kian “tergoda” memainkan sekaligus mengelaborasi bentuk dan strukturnya. Hingga, dalam cerpen, misalnya, kita tak mutlak lagi berharap akan adanya jalinan struktur narasi yang linier dan runtut. Bahkan, pengarang maupun pembaca, diam-diam maupun terang-terangan, mengakui kegembiraan atas pengaluran yang acak dan melompat-lompat.
Paling kurang, begitulah tangkapan awal atas cerpen Dunia yang Melesak Manamana anggitan Adin Hysteria yang dibincangkan dalam Diskusi Sastra Podjok Pendopo (DSPP) #24, Minggu 02 Oktober, di TBRS Semarang. Upaya membaca dan memahami cerpen tersebut tak gampang. Penanda begitu ruah, berjejalan terkesan tak berhubungan, berakibat pada peliknya menghubungkan pelbagai reference (rujukan) yang terpacak di kepala. Laju bahasa dan struktur cerita berjalan dalam tegangan penandaan yang zig-zag.

“Membaca cerpen ini seperti membaca mimpi,” kata Latree Manohara. Dalihnya, rangkai kisah di dalamnya seolah potongan-potongan cerita yang tak berpautan.

Janoary M Wibowo menilai cerpen tersebut sebagai semacam kolase. Yakni bangunan cerita yang disusun atas pelbagai bahan yang terkesan tidak berhubungan.

Bagaimana tidak? Mulanya, kisah bertolak dari epik, memuat tokoh Rama dan Lesmana, menampilkan Adam, juga ular yang menjadi karakter simbolik seperti diciptakan pengarang. Cerita pun melaju hingga mengarak tokoh-tokoh yang hidup di dunia modern nan nyata, seperti Adolf Hitler, Himler, sampai Munir.

Atau, kata Musyafak, justru teks tersebut lebih menampakkan dirinya sebagai montase—dalam khazanah seni rupa frasa ini dirujukkan pada komposisi gambar yang dihasilkan dari pencampuran unsur beberapa sumber. Barangkali istilah ini kurang tepat. Namun, pada montase, laiknya pada cerpen Dunia yang Melesak Manamana, ragam anasir yang tak berkesinambungan dijalinkan di sana. Pada Adin, tampaknya, montase telah menjadi ekspresi yang meruntuhkan “bentuk” dan “isi”. Dikotomi antara keduanya ambruk—seperti kata Goenawan Mohamad, “montase adalah tata yang tumbang dan tak selesai dalam ruang modernitas.”

Purwono Nugroho Adhi menganatomi teks tersebut bertolak dari pandangan antropologis. Menurutnya, cerpen tersebut merupakan fenomena indigenisasi dalam sastra. Bertolak dari kisah asli, pengarang mengeksplorasinya dan melakukan relecture (pembacaan ulang)  hingga menjadi kisah baru. Indigenisasi dalam karya sastra lazimnya mengorak kisah-kisah epik yang populer di masyarakat, yang pada akhirnya dibaca sesuai latar budaya masing-masing.

Boleh saja dikatakan indogenisasi. Namun, Randy curiga, Adin sebagai pengarang cerpen tersebut, tidak menginsyafi soal ini. Konsepsi indigenisasi berada di luar kesadaran Adin. Barangkali, itu hanya kritikus yang bicara.

Randy, menilai karya Adin ini sebagai cerpen posmodern yang mengusung semangat dekonstruktif. Di sini, Adin sangat berani menggabungkan tokoh-tokoh besar ke dalam satu cerita. Membaca cerpen ini, Randy mengaku teringat Ular di Mangkuk Nabi karya Triyanto Triwikromo (TT).

Sebagai pengarang, Adin punya alasan tersendiri dalam penggarapan cerpen tersebut. Cerpen yang dibuatnya pada tahun 2007 ini, menurutnya, adalah hasil eksplorasi bahasa dan struktur narasi. Memang, sedikitnya ada keterpengaruhan dengan TT. Karena saat itu ia kuliah dengan TT, yang membuatnya menjajal beberapa strategi naratologi yang dipahaminya.

Adin mengaku membaca Cala Ibi karya Nukila Amal. Novel tersebut menyajikan limpahan penanda dan petanda yang goyah. Reference-nya tidak pasti dan kabur. Ini bisa dibaca melalui petunjuk yang ada di dalam teks itu sendiri. Dengan cara menafikan seluruh reference yang ada.

Saya, kata Adin, tidak bekerja ke arah indigenisasi. Semata-mata lebih mengolah pada tataran kebahasaan: bagaimana bahasa mengeksplorasi bahasa itu sendiri. Di samping itu bereksperimen pada penggunanaan sudut pandang orang kedua (-mu) yang masih jarang dipakai. Sekaligus mengorak posisi narator dan vokalisator.

“Itu konsep saya. Tapi, secara teknis entah ini berhasil atau tidak, itu lain hal,” katanya.

Janoary mengelakkan konsep yang diusung Adin tentang bahasa sebagai tujuan dalam penciptaan karya sastra. Bagaimanapun, bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Bahasa dan ragam ujarannya di dalam karya sastra dipandang secara fungsional sebagai perangkat komunikasi. Mengancangkan bahasa sebagai tujuan kian merentankan karya sastra pada pemaparan kata-kata yang akrobatik. Celaka jika justru karya sastra terkungkung di dalam  bahasa itu sendiri.

Selain itu, katanya, kegoyahan antara penanda dan petanda juga perlu diatasi. Tak lain musababnya, bagaimana pesan yang ingin disampaikan suatu karya bisa sampai kepada pembacanya.

Memang, seperti dikatakan Musyafak, menentukan posisi bahasa di dalam sastra cukup rumit, selain dilematis. Mulanya bahasa memang menjadi alat untuk menyampaikan pesan. Faktanya bahasa adalah alat sekaligus lahan garapan itu sendiri. Karena obsesi pada estetika di dalam sastra adalah pengejaran bahasa itu sendiri.

Adin percaya, suatu karya tetap akan bisa dipahami, meski membutuhkan rentang waktu yang panjang. Penuh keterjebakan, memang. Ada teks-teks yang belum bisa dipahami sekian lama, sehingga ia luput dari pembicaraan. Tapi setelah kemunculan resepsi sastra, barulah teks-teks itu bisa dipahami.

Namun, Vivi Andriani, tak mengamini Adin begitu saja. Ia pikir, eksperimentasi Adin masih perlu diasah. Karena, katanya, sebagai pembaca saya masih belum bisa memahami cerpen ini. Meski dengan naratologi macam apapun, cerita perlu ada. Apapun narasi itu, paling kurang ia punya cerita. Dunia yang Melesak Namanama ibarat sebuah lensa yang mencoba merekam banyak foto. Sementara struktur narasi belum cukup mampu mengkoherensikan semua unsur di dalamnya.

Tentunya masing-masing masih saling ingin membuktikan. Sejauh mana “keberhasilan” Adin dengan eksperimen ekploratifnya, tak cukup ditakar dengan satu cerpen tersebut. Seperti dikatakan Kurniawan Yunianto, kita perlu membaca cerpen-cerpen Adin yang lain, yang tercipta setelah cerpen tersebut, untuk menilik perkembangan dari eksperimennya. Nah!

--Musyafak, pegiat Open Mind Community Semarang

*Notulensi DSPP #24. Lihat cerpen Dunia yang Melesak Namanama: http://www.facebook.com/event.php?eid=203819006351561
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment