Haji adalah gerak rohani muslim dalam rangka mengukuhkan iman dan meneguhkannya. Haji menjadi obsesi religius yang mencitakan kepenuhan spiritualitas. Niat berhaji bertolak dari keinginan menyempurnakan ketundukan diri di hadapan Tuhan. Ritual haji tak lain gerak diri memenuhi seruan Ilahi: panggilan yang menyediakan arah mendekati-Nya seintim mungkin.
Kajian teologis atas ritual-ritual dan simbol-simbol haji dipapar Ali Syariati dalam buku Makna Haji (2010). Syariati menegaskan perlunya mempelajari tujuan dan makna haji dalam konteks individu maupun kolektif--kesadaran untuk memerikan nasib umat muslim dan pentingnya persatuan. Seorang yang usai melakukan haji dari Tanah Suci diharap mampu mengajar kaumnya ketika kembali, juga menjadi suluh apabila masyarakatnya diliputi kegelapan.
Simbolisasi Haji
Pernik ritual dalam haji merupakan rangkaian simbolik yang mengisahkan perjalanan diri manusia. Ihram, wukuf, thawaf dan sa'i, misalnya, bukan sekadar kerja tubuh atau perayaan fisik, tetapi menyelubungkan makna-makna eksistensial yang mesti ditemuhayati oleh sang pelaku haji.
Ihram dengan pakaian warna polos adalah simbolisasi manusia yang mengalami kelahiran baru. Kelahiran mendamparkan manusia pada situasi asing. Ketika inilah ikhtiar mengidentifikasi dan membangun identitas diri bermula. Sebagaimana fenomena biologis, kelahiran adalah ketelanjangan, dalam arti pengakuan akan segala dosa yang membuat manusia malu pada Tuhan hingga menggerakkan diri untuk memohon ampun.
Wukuf atau berdiam di Arafah adalah fase “jeda". Tinggal sementara di Arafah pada 9 Zulhijjah bisa dimaknakan sebagai fragmen “penundaan", jeda untuk merefleksikan ke mana arah perjalanan selanjutnya.
Arafah menyediakan limpahan jejak historisitas manusia yang berada dalam tegangan dosa, penyesalan dan harapan yang perlu diziarahi sebagai bahan pengingatan. Arafah menandai gerak kesadaran sekaligus pengetahuan manusia rasional pertama, Adam AS, dalam menghayati diri-alam-Tuhan. Kejatuhan Adam dari surga ke bumi akibat memakan “buah terlarang" adalah fase penghukuman yang justru mengantarkan manusia pada kemerdekaan dan tanggung jawab. Status Adam sebagai “manusia yang jatuh" (dari surga ke bumi) pada akhirnya mengalami reposisi radikal hingga Adam justru mengemban kedudukan sebagai “khalifah" di bumi.
Thawaf adalah gerak diri mendekati Yang Pusat, Yang Ilahi. Gerakan itu bukannya lurus atau linier, tetapi gerak melingkar yang tidak membataskan perjalanan pada suatu ujung, apalagi titik akhir. Karena itulah Syariati (2010: 95) memandang haji sebagai gerakan ke arah suatu sasaran yang mutlak. Gerakan ini tidak berpamrih “ke dalam", melainkan gerakan “ke arah". Gerak ini tidak memosisikan Allah sebagai “tujuan", tetapi “arah". “Arah" mengatasi sesuatu yang bersifat temporer, berubah, musnah dan mati. Karena haji adalah gerak abadi yang arahnya senantiasa kepada Ilahi.
Thawaf sekaligus gerak subyek “aku" dalam proses peleburan diri dengan kelimunan manusia ramai nan plural. Masing-masing “aku" meruntuhkan totalitas subyektifnya, meniadakan sekaligus menindak pada dirinya sendiri. Peleburan ini sekaligus menjadi titik tolak keinsyafan bahwa manusia tidak memiliki totalitas eksistensial yang mutlak ketika berhadapan dengan Tuhan, karena totalitas mutlak hanyalah Tuhan itu sendiri. Peleburan dalam thawaf adalah laku menegaskan kehadiran “yang lain" (the others) sehingga mewujud entitas tunggal bernama umat manusia.
Di pusaran Ka'bah itulah umat manusia (kawula) bergerak manunggal ke arah Tuhan (Gusti). Terjadilah itihad (persatuan) yang mulanya bertolak dari sisi teologis, lantas bergerak ke sisi antropologis yang menginsyafkan antarsubyek dan antarindividu agar peduli pada nasib keseluruhan umat manusia. Simbolisasi haji yang maknanya melimpah juga dapat ditemui dalam sa'i, tahallul, lempar jumrah, dan sebagainya.
Komitmen Sosial
Haji mabrur menjadi obsesi menggairahkan di kalangan orang-orang yang melakoni haji. Tema tersebut umum dimafhumi sebagai haji yang diterima Allah, atau haji yang dijanjikan balasan surga. Pemahaman ini sebatas mengambangkan makna haji pada ranah kesalehan individual, mengidamkan haji sebagai perjalanan penyerahan diri kepada Tuhan, sehingga kelak niscaya mendapat balasan kebaikan dari-Nya.
Karenanya, perlu pelacakan semantis untuk memahami konsepsi haji mabrur di ranah sosial. Kata mabrur berakar dari kata (Arab) barra, yang artinya baik atau patuh. Sedangkan mabrur berarti mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Sehingga, mabrur adalah haji yang menggerakkan orang yang setelah menjalani haji kemudian menjadi baik. Menjadi baik, di tataran aksiologis, terejawantah dengan melakukan kebaikan-kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain.
Kaitannya dengan nilai-nilai humanitas, haji mabrur bisa ditakar sejauh mana peningkatan komitmen sosial seseorang sepulang berhaji (Nurcholis Madjid, 2000: 61-64). Haji mabrur terindikasi dari menguatnya rasa tanggap diri terhadap pelbagai realitas di masyarakat, di mana ketimpangan sosial mesti diluruskan dengan jalan kedermawanan, baik melalui pikiran, tubuh, maupun harta.
Peran sosial para haji di Indonesia dapat ditilik ketika masa kolonial Belanda bercokol di Nusantara. Misal pada abad ke-19, Haji Abdul Karim, Haji Marjuki, Kiai Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid menjadi otak dari Pemberontakan Cilegon (1888). Mereka merencanakan, mematangkan dan memimpin pemberontakan kepada Belanda yang dinilai kafir sehingga tidak sah memerintah masyarakat pribumi.
Pada tahun 1932, tercatat perlawanan para haji yang dipelopori Haji Karim Amrullah atau Haji Rasul terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang dicetuskan Belanda, yakni peraturan pengawasan terhadap sekolah swasta yang secara implisit bertujuan mengawasi guru agama, termasuk guru mengaji dan mubalig.
Peran haji saat ini perlu disasarkan pada problematika masyarakat terkini. Spirit haji laiknya menguatkan komitmen kebangsaan yang berikhtiar melawan kebatilan, seperti korupsi dan banalitas kekuasaan di kalangan elite politik. Kian banyaknya orang haji di Indonesia sedianya memantik transformasi sosial guna mengawal zaman yang benderang. Kurang faedah jika haji sebatas mengejar pahala atau surga, apalagi sarana pencitraan semata.
Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas), Semarang
(Jurnal Nasional, 14 Oktober 2011)
Kajian teologis atas ritual-ritual dan simbol-simbol haji dipapar Ali Syariati dalam buku Makna Haji (2010). Syariati menegaskan perlunya mempelajari tujuan dan makna haji dalam konteks individu maupun kolektif--kesadaran untuk memerikan nasib umat muslim dan pentingnya persatuan. Seorang yang usai melakukan haji dari Tanah Suci diharap mampu mengajar kaumnya ketika kembali, juga menjadi suluh apabila masyarakatnya diliputi kegelapan.
Simbolisasi Haji
Pernik ritual dalam haji merupakan rangkaian simbolik yang mengisahkan perjalanan diri manusia. Ihram, wukuf, thawaf dan sa'i, misalnya, bukan sekadar kerja tubuh atau perayaan fisik, tetapi menyelubungkan makna-makna eksistensial yang mesti ditemuhayati oleh sang pelaku haji.
Ihram dengan pakaian warna polos adalah simbolisasi manusia yang mengalami kelahiran baru. Kelahiran mendamparkan manusia pada situasi asing. Ketika inilah ikhtiar mengidentifikasi dan membangun identitas diri bermula. Sebagaimana fenomena biologis, kelahiran adalah ketelanjangan, dalam arti pengakuan akan segala dosa yang membuat manusia malu pada Tuhan hingga menggerakkan diri untuk memohon ampun.
Wukuf atau berdiam di Arafah adalah fase “jeda". Tinggal sementara di Arafah pada 9 Zulhijjah bisa dimaknakan sebagai fragmen “penundaan", jeda untuk merefleksikan ke mana arah perjalanan selanjutnya.
Arafah menyediakan limpahan jejak historisitas manusia yang berada dalam tegangan dosa, penyesalan dan harapan yang perlu diziarahi sebagai bahan pengingatan. Arafah menandai gerak kesadaran sekaligus pengetahuan manusia rasional pertama, Adam AS, dalam menghayati diri-alam-Tuhan. Kejatuhan Adam dari surga ke bumi akibat memakan “buah terlarang" adalah fase penghukuman yang justru mengantarkan manusia pada kemerdekaan dan tanggung jawab. Status Adam sebagai “manusia yang jatuh" (dari surga ke bumi) pada akhirnya mengalami reposisi radikal hingga Adam justru mengemban kedudukan sebagai “khalifah" di bumi.
Thawaf adalah gerak diri mendekati Yang Pusat, Yang Ilahi. Gerakan itu bukannya lurus atau linier, tetapi gerak melingkar yang tidak membataskan perjalanan pada suatu ujung, apalagi titik akhir. Karena itulah Syariati (2010: 95) memandang haji sebagai gerakan ke arah suatu sasaran yang mutlak. Gerakan ini tidak berpamrih “ke dalam", melainkan gerakan “ke arah". Gerak ini tidak memosisikan Allah sebagai “tujuan", tetapi “arah". “Arah" mengatasi sesuatu yang bersifat temporer, berubah, musnah dan mati. Karena haji adalah gerak abadi yang arahnya senantiasa kepada Ilahi.
Thawaf sekaligus gerak subyek “aku" dalam proses peleburan diri dengan kelimunan manusia ramai nan plural. Masing-masing “aku" meruntuhkan totalitas subyektifnya, meniadakan sekaligus menindak pada dirinya sendiri. Peleburan ini sekaligus menjadi titik tolak keinsyafan bahwa manusia tidak memiliki totalitas eksistensial yang mutlak ketika berhadapan dengan Tuhan, karena totalitas mutlak hanyalah Tuhan itu sendiri. Peleburan dalam thawaf adalah laku menegaskan kehadiran “yang lain" (the others) sehingga mewujud entitas tunggal bernama umat manusia.
Di pusaran Ka'bah itulah umat manusia (kawula) bergerak manunggal ke arah Tuhan (Gusti). Terjadilah itihad (persatuan) yang mulanya bertolak dari sisi teologis, lantas bergerak ke sisi antropologis yang menginsyafkan antarsubyek dan antarindividu agar peduli pada nasib keseluruhan umat manusia. Simbolisasi haji yang maknanya melimpah juga dapat ditemui dalam sa'i, tahallul, lempar jumrah, dan sebagainya.
Komitmen Sosial
Haji mabrur menjadi obsesi menggairahkan di kalangan orang-orang yang melakoni haji. Tema tersebut umum dimafhumi sebagai haji yang diterima Allah, atau haji yang dijanjikan balasan surga. Pemahaman ini sebatas mengambangkan makna haji pada ranah kesalehan individual, mengidamkan haji sebagai perjalanan penyerahan diri kepada Tuhan, sehingga kelak niscaya mendapat balasan kebaikan dari-Nya.
Karenanya, perlu pelacakan semantis untuk memahami konsepsi haji mabrur di ranah sosial. Kata mabrur berakar dari kata (Arab) barra, yang artinya baik atau patuh. Sedangkan mabrur berarti mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Sehingga, mabrur adalah haji yang menggerakkan orang yang setelah menjalani haji kemudian menjadi baik. Menjadi baik, di tataran aksiologis, terejawantah dengan melakukan kebaikan-kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain.
Kaitannya dengan nilai-nilai humanitas, haji mabrur bisa ditakar sejauh mana peningkatan komitmen sosial seseorang sepulang berhaji (Nurcholis Madjid, 2000: 61-64). Haji mabrur terindikasi dari menguatnya rasa tanggap diri terhadap pelbagai realitas di masyarakat, di mana ketimpangan sosial mesti diluruskan dengan jalan kedermawanan, baik melalui pikiran, tubuh, maupun harta.
Peran sosial para haji di Indonesia dapat ditilik ketika masa kolonial Belanda bercokol di Nusantara. Misal pada abad ke-19, Haji Abdul Karim, Haji Marjuki, Kiai Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid menjadi otak dari Pemberontakan Cilegon (1888). Mereka merencanakan, mematangkan dan memimpin pemberontakan kepada Belanda yang dinilai kafir sehingga tidak sah memerintah masyarakat pribumi.
Pada tahun 1932, tercatat perlawanan para haji yang dipelopori Haji Karim Amrullah atau Haji Rasul terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang dicetuskan Belanda, yakni peraturan pengawasan terhadap sekolah swasta yang secara implisit bertujuan mengawasi guru agama, termasuk guru mengaji dan mubalig.
Peran haji saat ini perlu disasarkan pada problematika masyarakat terkini. Spirit haji laiknya menguatkan komitmen kebangsaan yang berikhtiar melawan kebatilan, seperti korupsi dan banalitas kekuasaan di kalangan elite politik. Kian banyaknya orang haji di Indonesia sedianya memantik transformasi sosial guna mengawal zaman yang benderang. Kurang faedah jika haji sebatas mengejar pahala atau surga, apalagi sarana pencitraan semata.
Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas), Semarang
(Jurnal Nasional, 14 Oktober 2011)