Negeri ini punya masalah karena orang-orang baik diam dan mendiamkan. (Anies Baswedan)
Tak selamanya diam itu emas. Justru sikap diam membikin masalah tak selesai, hingga memunculkan masalah-masalah lain. Sebab itu Indonesia butuh orang-orang yang bersuara. Bukan suara yang sekadar dilipat dalam kotak pemilu pada April 2014 nanti. Bukan suara yang cuma retorika. Tapi suara yang dibarengi tindakan nyata.
Dalam hal ini diam telah menjadi kategori politik. Artinya, diamnya seseorang punya makna politik. Diamnya seseorang dilatari pelbagai hal. Ada yang diam karena tidak tahu. Di lain sisi, kini tak sedikit orang tahu sesuatu bermasalah namun ia diam, tepatnya mendiamkan.
Nyaris semua tahu, bangsa ini dalam masalah. Mulai dari masyarakat akar-rumput hingga kalangan elit tahu bahwa ada yang salah dalam mengelola Indonesia. Korupsi, lemahnya penegakan hukum, kekerasan, juga bencana, menjadi pemandangan sehari-hari. Orang bilang, bangsa ini salah urus!
Tapi tidak semua orang yang tahu kemudian bersuara dan bertindak untuk membenahi masalah. Ada banyak orang baik yang justru semakin menarik diri dari dunia fana yang makin kisruh. Mereka pertapa makin suci dalam sunyi. Pertapa yang enggan mengotori tangannya untuk “mencuci” bangsa yang kotor ini. Pertapa atau pendoa, orang-orang suci, yang makin apolitis karena melihat melimpah kotoran politik.
Diam, sebagai sikap politik, adalah pilihan. Ada orang yang memilih bersuara atau bertindak untuk merubah. Ada yang lebih merasa keamanannya terjamin dengan diam. Diam agar tidak kena masalah mungkin menjadi prinsip bagi generasi yang mengalami pahitnya pengekangan dan pembungkaman rezim Orde Baru. Rezim itu, atas nama persatuan dan pembangunan, telah mencobakan penanaman totalitarianisme secara sempurna selama lebih dari tiga dasawarsa.
Tapi zaman ini sudah lain. Indonesia pasca Reformasi adalah Indonesia yang bebas bersuara. Meski begitu, tetaplah tak sedikit orang yang baik masih diam.
Anies Baswedan, sosok yang kini sedang dielu-elu sebagai salah satu pemimpin muda potensial, menyoal perkara diam ini. Dalam beberapa kesempatan, Anies bilang, “Korupsi ada bukan karena banyak orang jahat, tapi karena orang baik memilih untuk diam.”
Ungkapan aforismatis Anies itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru sama sekali. Jauh sebelum itu, fisikawan tenar Albert Einstein menyatakan hal yang tak jauh beda. Dunia, kata Einstein, adalah tempat berbahaya, bukan karena para pelaku kejahatan, tetapi karena orang-orang yang melihat kejahatan tersebut tidak bertindak apa-apa.
Tapi Anies maupun Einstein mewakili dinamika masing-masing zaman. Keduanya mengingatkan hal yang sama. Dari situ kita terbantu untuk insyaf, bahwa diam pun bisa bermakna buruk dan jahat. Dengan mendiamkan perilaku kejahatan, sebetulnya kita sedang membajak dan menjahati hati nurani atau perikemanusiaan kita sendiri.
Kalau ada pilihan bertindak, mengapa memilih diam? Kalau ada pilihan untuk berperikehidupan lebih baik, kenapa menyerahkan diri pada situasi rusak yang ada? Rasanya bangsa ini tidak kurang nasihat. Soe Hok Gie bilang, “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Namun, selain karena orang-orang baik diam, orang-orang jahat malah yang sering tampil di hadapan publik. Lewat media mereka tak henti-hentinya berpidato dan menggelar siaran pers untuk mencitrakan kalau dirinya orang baik dan benar. Di televisi, koran atau internet hari ini, lebih kerap orang yang sama-sama bermasalah hukum untuk perang kata-kata, sumpah dan retorika untuk berebut citra sebagai “yang baik dan benar”. Walhasil, Indonesia bermasalah bukan hanya karena orang-orang baik diam-mendiamkan, tetapi juga karena orang-orang yang tidak baik sering bicara untuk meraih simpati publik.
2014 dijuluki tahun harapan. Itu tidak ada artinya kalau orang-orang baik diam. Tidak ada artinya kalau orang-orang yang kurang baik dibiarkan mudah memenangi pemilu hingga nangkring di Senayan atau di gedung-gedung perwakilan daerah. Orang-orang baik harus memberi perlawanan sengit bagi mereka. Orang-orang baik jangan takut “mengotori” tangan!
Musyafak, essais, staf di Balai Litbang Agama Semarang
(Harian Analisa, 22 Februari 2014)
Tak selamanya diam itu emas. Justru sikap diam membikin masalah tak selesai, hingga memunculkan masalah-masalah lain. Sebab itu Indonesia butuh orang-orang yang bersuara. Bukan suara yang sekadar dilipat dalam kotak pemilu pada April 2014 nanti. Bukan suara yang cuma retorika. Tapi suara yang dibarengi tindakan nyata.
Dalam hal ini diam telah menjadi kategori politik. Artinya, diamnya seseorang punya makna politik. Diamnya seseorang dilatari pelbagai hal. Ada yang diam karena tidak tahu. Di lain sisi, kini tak sedikit orang tahu sesuatu bermasalah namun ia diam, tepatnya mendiamkan.
Nyaris semua tahu, bangsa ini dalam masalah. Mulai dari masyarakat akar-rumput hingga kalangan elit tahu bahwa ada yang salah dalam mengelola Indonesia. Korupsi, lemahnya penegakan hukum, kekerasan, juga bencana, menjadi pemandangan sehari-hari. Orang bilang, bangsa ini salah urus!
Tapi tidak semua orang yang tahu kemudian bersuara dan bertindak untuk membenahi masalah. Ada banyak orang baik yang justru semakin menarik diri dari dunia fana yang makin kisruh. Mereka pertapa makin suci dalam sunyi. Pertapa yang enggan mengotori tangannya untuk “mencuci” bangsa yang kotor ini. Pertapa atau pendoa, orang-orang suci, yang makin apolitis karena melihat melimpah kotoran politik.
Diam, sebagai sikap politik, adalah pilihan. Ada orang yang memilih bersuara atau bertindak untuk merubah. Ada yang lebih merasa keamanannya terjamin dengan diam. Diam agar tidak kena masalah mungkin menjadi prinsip bagi generasi yang mengalami pahitnya pengekangan dan pembungkaman rezim Orde Baru. Rezim itu, atas nama persatuan dan pembangunan, telah mencobakan penanaman totalitarianisme secara sempurna selama lebih dari tiga dasawarsa.
Tapi zaman ini sudah lain. Indonesia pasca Reformasi adalah Indonesia yang bebas bersuara. Meski begitu, tetaplah tak sedikit orang yang baik masih diam.
Anies Baswedan, sosok yang kini sedang dielu-elu sebagai salah satu pemimpin muda potensial, menyoal perkara diam ini. Dalam beberapa kesempatan, Anies bilang, “Korupsi ada bukan karena banyak orang jahat, tapi karena orang baik memilih untuk diam.”
Ungkapan aforismatis Anies itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru sama sekali. Jauh sebelum itu, fisikawan tenar Albert Einstein menyatakan hal yang tak jauh beda. Dunia, kata Einstein, adalah tempat berbahaya, bukan karena para pelaku kejahatan, tetapi karena orang-orang yang melihat kejahatan tersebut tidak bertindak apa-apa.
Tapi Anies maupun Einstein mewakili dinamika masing-masing zaman. Keduanya mengingatkan hal yang sama. Dari situ kita terbantu untuk insyaf, bahwa diam pun bisa bermakna buruk dan jahat. Dengan mendiamkan perilaku kejahatan, sebetulnya kita sedang membajak dan menjahati hati nurani atau perikemanusiaan kita sendiri.
Kalau ada pilihan bertindak, mengapa memilih diam? Kalau ada pilihan untuk berperikehidupan lebih baik, kenapa menyerahkan diri pada situasi rusak yang ada? Rasanya bangsa ini tidak kurang nasihat. Soe Hok Gie bilang, “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Namun, selain karena orang-orang baik diam, orang-orang jahat malah yang sering tampil di hadapan publik. Lewat media mereka tak henti-hentinya berpidato dan menggelar siaran pers untuk mencitrakan kalau dirinya orang baik dan benar. Di televisi, koran atau internet hari ini, lebih kerap orang yang sama-sama bermasalah hukum untuk perang kata-kata, sumpah dan retorika untuk berebut citra sebagai “yang baik dan benar”. Walhasil, Indonesia bermasalah bukan hanya karena orang-orang baik diam-mendiamkan, tetapi juga karena orang-orang yang tidak baik sering bicara untuk meraih simpati publik.
2014 dijuluki tahun harapan. Itu tidak ada artinya kalau orang-orang baik diam. Tidak ada artinya kalau orang-orang yang kurang baik dibiarkan mudah memenangi pemilu hingga nangkring di Senayan atau di gedung-gedung perwakilan daerah. Orang-orang baik harus memberi perlawanan sengit bagi mereka. Orang-orang baik jangan takut “mengotori” tangan!
Musyafak, essais, staf di Balai Litbang Agama Semarang
(Harian Analisa, 22 Februari 2014)