Oleh Musyafak Timur Banua
Kaum tua telah gagal memimpin Reformasi di Republik ini. Sekarang saatnya Republik ini dipimpin oleh kaum muda.
Saatnya kaum muda memimpin. Itulah tema Ikrar Kaum Muda Indonesia dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda di Gedung Arsip Nasional, 28 Oktober lalu.
Ikrar tersebut merupakan angin segar bagi regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Kebangkitan kaum muda yang membawa visi pembaruan berhimpun dalam pergerakan menghapus penjajahan dan menegakkan negara kesejahteraan mencerminkan kebangkitan perjuangan politik kaum muda.
Tetapi, sangat disayangkan jika gagasan emas yang diprakarsai oleh politikus dan aktivis muda seperti Sukardi Rinakit, Yudi Latif, Teten Masduki, Fadjroel Rachman, Effendi Gazali, dkk hanya sebatas menuntut tempat di ketiak kepemimpinan kaum tua.
Jika tuntutan kaum muda agar diberi hak dalam kepemimpinan pada 2009 nanti diartikan sebagai mengemis jatah, maka sama saja tidak ada pergerakan revolusioner yang diusung kaum muda.
Fajroel Rahman, mengatakan bahwa seandainya kaum tua tau diri dan melepaskan jabatan mereka, dalam artian menyatakan tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai capres dan cawapres pada pemilu mendatang, secara otomatis peluang kaum muda akan lebih terbuka lebar untuk memimpin kekuasaan sentral (Todays Dialogue Metro TV, 31-10-2007).
Pernyataan demikian menggambarkan kelemahan pemuda dalam kancah pertarungan politik. Meminta kaum tua untuk mundur dari pertarungan politik sama saja membatasi hak politik seseorang. Dimana letak pemikiran pemuda yang progressif dan demokratis?
Jika kita berkaca pada sejarah, bagaimana Soekarno Muda dalam usia 43 tahun -tergolong masih muda- mampu menahkodai Republik ini. Juga M. Syahrir dan orang-orang muda lainnya dalam usia belia bisa berkecimpung dalam kabinet RI. Mereka semua adalah kaum muda yang dengan gagah berani merebut kekuasaan yang menjadi hak mereka. Betapa tidak, 17 Agustus 1945 menjadi saksi sejarah atas keberanian mereka merebut kemerdekaan RI.
Kaum muda tidak mau menerima hadiah kemerdekaan dari Belanda yang dijanjikan pada tanggal 21 Agustus 1945. Justru mereka berjuang untuk menciptakan kemerdekaan sendiri.
Demikian pula, “merebut hak” sangat relevan dilakukan kaum muda sekarang ini, bukan meminta. Hak politik kaum muda selama ini dirampas oleh kaum tua sejak kepemimpinan Soeharto harus dikembalikan ke khittahnya. Selama 32 tahun Soeharto memutus regenerasi kepemimpinan dengan meminimalisir eksistensi pemuda pada pemerintahan RI. Kondisi demikian mengakibatkan kejumudan pergerakan politik kaum muda.
Perjuangan politik kaum muda sekaligus pembuktian kemampuan mereka bersaing dengan “wajah-wajah lama” harus dilaksanakan dengan proses yang demokratis. Pemilu 2009 mendatang merupakan instrument yang tepat untuk membuktikan eksistensi pemuda.
Bukan saatnya pemuda melontarkan klaim-klaim dan menghakimi kaum tua dalam upaya perebutan kekuasaan politik. Biarlah rakyat yang menilai dan memilih pemimpin mereka secara netral.
Seleksi alam merupakan bagian dari hukum alam itu sendiri. Artinya, jika kaum tua terus gagal memimpin negeri ini, maka kepercayaan rakyat pun akan hilang. Sebaliknya, jika kaum muda mampu menunjukkan kualitas kepemimpinannya, dengan sendirinya kepercayaan publik akan terbangun. Nah, bersiaplah menghadapi kompetisi demokrasi pada pemilu 2009 mendatang secara fair play.
Musyafak Timur Banua, mahasiswa Tadris Bahasa Inggris, fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang