Thursday, September 11, 2008

Mahal Tak Mesti Bermutu

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Paradigma education for critical consciousness (pendidikan kesadaran kritis) yang dikemukakan oleh Paulo Freire (1981) mengajak manusia untuk keluar dari lingkaran “pendidikan yang memiskinkan”. Tawaran ini adalah bentuk protes atas mahalnya biaya pendidikan karena kapitalisasi lembaga pendidikan yang semakin tak terbendung.

Dewasa ini, prinsip untung-rugi seakan-akan menjadi dalil utama pengelolaan pendidikan. Padahal sekolah atau perguruan tinggi tidak lebih seperti pabrik yang mencetak pengangguran.

Pintu gerbang komersialisme pendidikan seolah-olah terbuka lebar di Indonesia. Apalagi semenjak disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) beberapa bulan lalu. Regulasi ini menginstruksikan agar pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan asas kemandirian, tentunya dengan mengurangi campurtangan pemerintah.

Sebenarnya, UU BHP merupakan tantangan kepada lembaga pendidikan untuk mewujudkan education for all. Namun mindset yang terbangun dalam pengelola perguruan tinggi justru sebaliknya: bebas mematok biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa.

Asas kemandirian yang pada awalnya adalah dalam rangka penjajakan kompetensi lembaga pendidikan berbalik arah menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan. Menyedihkan!
Oleh karena itu, situasi perguruan tinggi negeri (PTN) sekarang tidak ada bedanya dengan swasta (PTS). Pendidikan kita sudah memasuki pasar bebas (free market) dimana semuanya didasarkan pada apa yang bisa didapatkan lembaga pendidikan dari anak didik, alias keuntungan.

Untuk menutupi hal itu, alasan demi peningkatan kualitas pendidikan yang harus didukung sarana dan prasarana maksimal sering dilontarkan seiring dengan penarikan sumbangan pendidikan yang cukup besar. Akhirnya ada semacam rumus baru yang menjadi pola pikir pengelola pendidikan kita, bahwa yang berkualitas adalah yang mahal. Padahal, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa yang mahal tak mesti bermutu.

Kondisi semacam ini menjadikan sekolah atau perguruan tinggi hanya dapat dinikmati oleh orang-orang “berkelas”. Lalu, si miskin yang tidak bisa mengenyam pendidikan ditampung di mana? Kekhawatiran yang pelan-pelan menjadi nyata adalah pembodohan massal.

Padahal, sejatinya pendidikan tidak akan berjarak pada kaum miskin dan tertindas. Karena sesungguhnya pendidikan adalah proses secara sadar untuk mendewasakan sekaligus membebaskan manusia. Dengan demikian, mahalnya pendidikan yang berawal dari kepentingan-kepentingan egoistis merupakan bentuk dari dehumanisasi pendidikan (Paulo Freire, 1999).

“Yang berkualitas adalah yang mahal” di sisi lain akan menimbulkan realitas semu dalam pengajaran kita. Pendidikan yang awalnya adalah pembebasan manusia dari ketidaktahuan menjadi ajang untuk meninggikan gengsi dan pamer kekayaan.

Musyafak Timur Banua, mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT.
gambar diambil dari: http://bayuadhitya.wordpress.com
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment