Thursday, September 11, 2008

Selamat Jalan Reformasi!

0
Oleh Musyafak Timur Banua



Sepuluh tahun Reformasi bergulir, justru perjalanan bangsa Indonesia semakin gontai. Tak ada kepastian ke arah mana bangsa ini berlabuh; situasi politik bangsa terombang-ambing, kondisi sosial makin timpang, perekonomian bangsa kian tak menjanjikan.

Keadaan “republik mimpi” ini benar-benar memperihatinkan, seolah-olah perjalanannya kian di ujung tanduk. Lihat saja, harga kebutuhan hidup terus melambung dari waktu ke waktu hingga daya jangkau masyarakat menurun. Krisis energi menyengsarakan rakyat kecil; program konversi minyak ke elpiji yang tidak menyelesaikan tetapi justru semakin menimbulkan kelangkaan minyak, rencana kenaikan BBM mengancam mata rantai keberlangsungan dinamika sosial yang sehat dan berimbang di kalangan masyarakat kecil. Itu hanya sekelumit kecil contoh ancaman, bahwa di Papua dan Irian Jaya busung lapar dan kurang protein semakin menggejala akibat krisis pangan dan kurangnya sentuhan pemerintah.

Pernyataan Amin Rais cukup relevan melihat perjalanan reformasi yang makin tak jelas arahnya; bahwa reformasi telah gagal dan kandas. Menurutnya banyak aspek yang belum berjalan menuju titik kemajuan, yakni aspek ekonomi yang menjadi ujung tombak kemakmuran bangsa, aspek sosial dan pendidikan pun masih jauh merangkak di bawah. Meskipun politik telah sedikit demi sedikit menuju arah demokrasi.

Bukan way of life
Lepas dari itu, perjalanan reformasi yang sedemikian bukan terbentuk dari ruang hampa. Bahwa tidak ada yang berjalan di titik kekosongan hingga sesuatu bergerak ke depan atau malah sebaliknya. Bagi saya reformasi yang tidak menjanjikan ini adalah buah dari perilaku bangsa yang tidak komitmen terhadap reformasi itu sendiri.

Reformasi sebatas dijadikan instrumen untuk mengubah ketimpangan yang ada. Kegagalan reformasi karena semangat perubahan itu tidak dijadikan sebagai jalan hidup.

Indonesia yang sepuluh tahun lalu mengklaim hidup di zaman reformasi faktanya tidak bisa melepaskan atribut-atribut dan sifat-sifat Orde Baru. Kepemimpinan Indonesia masih selalu saja melahirkan para Soeharto(is) baru. Paska lengsernya rezim diktator pada 21 Mei 1998 itu tidak terjadi upaya normalisasi masyarakat yang utuh dan konsisten.

Jika saja reformasi dijadikan sebagai way of life dan bukan sekedar instrument of change (istrumen perubahan) niscaya kabar baik akan berkumandang dari republik ini. Karena sejatinya jalan hidup ini akan terus menumbuhkan semangat baru menuju Indonesia, jalan hidup ini akan selalu salih likulli zaman wa makan; selalu meruang dan mewaktu karena selalu ada inovasi dan terobosan baru.

Hal ini sama saja demokrasi instrumental yang terlihat berkembang di Indonesia. Tetapi aplikasinya belum menuju demokrasi sebagai jalan hidup. Betapapun rakyat Indonesia sibuk dengan proses pemilihan pemimpin secara langsung seperti Pilkada, Pilgub, Pilpres, Pemilu, Pilkades, dan sebagainya, perilaku masyarakat dan elite politik tidak mencerminkan sikap demokratis. Contohnya, money politic masih sangat kental dalam dinamika pemilihan pemimpin yang diklaim demokratis.

Jadi, pemerintah dan elite politik jangan merasa tersanjung atas pernyataan Mantan Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim bahwa demokrasi telah berkembang pesat di tengah banyaknya persoalan. Menimbang fakta di lapangan, perilaku pemerintah yang mencerminkan demokrasi setengah-setengah. Lihat saja, banyak keputusan negara tetap keputusan pemerintah, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Contoh kecil, apakah rakyat menghendaki kenaikan BBM? Tetapi pemerintah tetap lanjut hingga keputusan dirasa final meski penolakan menjamur di mana-mana.

Berpijak pada adagium Lastair Farugia, demokrasi adalah ketika rakyat berbicara dan pemerintah mendengarkan, maka Indonesia belumlah negara demokrasi. Meskipun kran-kran hak suara rakyat makin terbuka dalam proses demokrasi, tetapi dalam taraf regulasi suara rakyat hanya dianggap angin lalu.

Selamat tinggal!
Masa depan yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari reformasi selanjutnya? Membaca pertanyaan ini di tengah kondisi yang kian sulit seperti sekarang, tak usahlah berharap (banyak) lagi pada reformasi. Harapan berkepanjangan tanpa disertai kepastian sejatinya menuntun Indonesia kepada keterpurukan yang berlarut-larut. Perlu adanya keberanian baru untuk memunculkan revolusi dan pergerakan baru menuju Indonesia yang berdemokrasi kerakyatan. Mari kita bersama-sama mengucapkan “selamat tinggal reformasi!”

Hal yang paling riil untuk saat ini, menurut saya, adalah menumbuhkan public space yang lebih luas agar demokrasi Indonesia bukan termasuk jenis pseudo democracy. Mengapa musti ruang publik? Karena ruang publik meniscayakan tumbuhnya partisipasi aktif rakyat menuju perubahan bersama. Tetapi untuk menciptakan public space tidaklah mudah kecuali terbentuk public sphere terlebih dahulu. Bahwa iklim yang harus diciptakan adalah iklim demokrasi yang jujur, terbuka, kooperatif, moralitas politik, serta kesadaran menjadikan demokrasi sebagai way of life.

Musyafak Timur Banua, staf Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa SKM AMANAT.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment