Friday, January 09, 2009

Palestina Berdarah

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Palestina berdarah-darah. Bongkahan-bongkahan asa kedamaian runtuh satu-satu oleh deru bedil, dentuman bom. Satu demi satu krisis kemanusiaan tumbuh. Bertubi-tubi serangan Israel sejak 27 Desember 2008 menambah kelam perdamaian dunia. Menambah daftar panjang perselisihan bumi Islam-Yahudi itu—meski kini konflik itu bukan atas nama agama.

"Dari sudut manapun anda memandang, krisis kemanusiaan sedang terjadi, bahkan lebih buruk dari itu," kata Maxwell Gaylard, Koordinator Bantuan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Palestina.
Ngeri memang, menyaksikan Jalur Gaza, Palestina, yang "dirombak" habis oleh kekuatan senjata. Di sana tak ada lagi yang tumbuh. Semuanya terbenam.
Gedung terbenam ke dasar kaki, rata dengan tanah. Puing-puing yang tersisa hanya ketakutan, kebencian, dan kutukan. Nyawa menjadi tak berarti apa-apa. Di tengah situasi saling mendesak, membunuh sangat mudah sekali, seringan menghirup dan mengembuskan nafas.
Sampai Senin (6/1/2009) PBB memperkirakan 530 jiwa melayang akibat gempuran senjata, 90 darinya adalah anak-anak. Korban cedera dari yang ringan sampai hampir sekarat mencapai 2500 orang.
Israel tetap kukuh meski kecaman datang dari segala sudut dunia. Entah, kebenaran mac am apa yang lantas mereka elu-elukan. Padahal, perang adalah perang. Ia jarang sekali berbicara moral.
Gonjang-ganjinge zaman, entahlah. Kapan manusia enyah dari arogansi dan memutuskan untuk tidak mencintai kematian, entahlah. Kapan kita membentuk peradaban yang bersama-sama menepis rasa sakit.
Buah perang adalah luka. Perang mengajari kita untuk mengenang rasa sakit yang berkepanjangan. Mengajak kita membenci dengan "setulus hati". Mendidik untuk tak memberi maaf dan ampun. Akhirnya, kita dikutuk untuk berdamai dengan segala tragis dan nyinyir yang mengharu-biru.
Krisis kemanusiaan tak bisa dielakkan dari setiap peperangan. Sebab, tiadapun perang yang mengatasnamakan kemanusiaan. Jika pun ada, itu hanya alibi.
Palestina-Israel, kini berada dalam satu garis tipis: kehancuran. Yang akhirnya membawa peradaban pada dikotomi-dikotomi klasik. Timur Tengah-Barat, Islam-Yahudi, atau "kawan-lawan" yang baru, juga kotak-kotak anyar yang dipisah dengan sekat baja setebal dinding Great Wall of China.
Alasan untuk berperang pun mulai ambigu. Tiada keterdesakan, melainkan keterpaksaan dari ambisi-ambisi kita untuk mengurung yang lain dalam penjara derita.
***
"Kami tidak ingin menduduki Gaza kembali. Kami ingin serangan roket dari Hamas berhenti," kata Ehud Olmert, Perdana Menteri Israel. Itulah alasan Israel menghantam Jalur Gaza Palestina. Statemen itu juga mengukuhkan putusan Israel untuk tidak mengakhiri operasi militer.
Sementara, Hamas yang mewakili pertahanan Palestina dalam konflik berkepanjangan itu menuturkan hal sama. Ini mengingatkan kita, subjek perang tak ada yang mau dipersalahkan. Bagi mereka perang adalah suratan yang harus dijalankan.
"Kami ingin serangan Israel dihentikan dan pemblokadean dibuka," kata Osama Hemdan, delegasi Hamas.
Begitulah perang, alurnya sulit dimengerti. Satu alasan maknanya sama, untuk kedamaian, untuk menghentikan baku tembak, kesepakatan gencatan, membentuk MoU baru, dan sejenisnya. Tapi cara mereka tetap berperang.
Lihatlah, jantung Gaza City tercabik-cabik. Setelah delapan hari Israel mengimpit dengan serangan udara, invasi darat pun bergerak. Tank-tank menerabas tanah yang menurut Hamas "haram" untuk diinjak tentara Israel.
Jangan-jangan Tuhan ingin memberikan tontonan nyata kepada kita. Perang sedahsyat-dahsyatnya, sengeri-ngerinya, setragis-tragisnya, melebihi dramatisasi di film-film garapan Hollywood.
Entahlah.
Terlalu rumit untuk mengurai perang, yang sebenarnya kita mudah mengakhirinya. Sebab perang tak memerlukan ukuran benar-salah, tapi kalah-menang.
Artinya harus ada yang tunduk. Tunduk pada kekuasaan yang dibenci. Jika salah satu mereka kalah, baik Palestina maupun Israel, salah satu harus tunduk. Ya. Perang adalah subordinasi. Hanya berusaha menempatkan mana yang superior dan mana yang inferior. Tidak ada secuil pun membangun tiang kesetaraan.
Begitulah perang. Pada akhirnya manusia harus tunduk pada kekuatan yang dibenci, yang didendami mati-matian. Arogansi yang kalah-harus tunduk pada kesombongan yang menang. Atau, paling parah, ketulusan yang kalah harus menyembah pada arogansi yang menang. Taruhlah, seandainya Palestina harus kalah dalam membela rakyatnya, tanahnya, buminya. Haruslah tunduk ia pada arogansi Israel yang berpuluh-puluh tahun berpangkat ambisi dan kesombongan.
Begitulah perang. Pada akhirnya manusia harus tunduk pada kekuatan yang dibenci, yang didendami mati-matian. Bukan tunduk pada sesuatu yang pantas dihormati.
--Musyafak Timur Banua,
Penulis, aktif di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment