
Oleh Musyafak Timur Banua
Membaca tulisanmu kali ini (Tuhan dan Kecemburuan), mas Aulia, membuat aku terhenyak. Tentu karena persoalan Tuhan (yang selalu dicari dan dipertanyakan).
Kuingat butiran wahyu yang kurang lebih: “Sesunguhnya Aku (Tuhan) ada dalam persangkaan (dzan) hamba-hamba-Ku”. Dengan itu, sesungguhnya Tuhan telah mendeklarasikan wujud-Nya yang multitafsir. Tiada “bayangan” imaji baku untuk-Nya. Sebab Dia pun tak mengkhabarkan bentuk (kecuali sifat-sifat yang Maha).
Lantas, manusia dengan pergulatannya membelai alam (yang membuahkan pengalaman/kearifan) mencoba mendeskripsikan bayangan Tuhan yang nampak dalam prasangkanya. Melalui alam, lingkungan, bahkan manusia sendiri, manusia dapat merekam sekelebat persangkaan akan Sang Hyang itu. Sebenarnya itu hanya metafora, sebab kata seuntai kata yang lahir dari kontemplasi dan pembahasaannya itu tak mewakili dzat-Nya.
Wajar jika muncul “persepsi” tentang Tuhan yang ganas; memangsa (metafora Amir Hamzah) paras kanak, yang bercahaya (aku Danarto) atau teguran dan sakit (pengalaman Zaskia dan Gito Rollies alm). Atau yang lembut, memesona (yang mungkin diimajinasikan manusia lain-lain). Adalah penguasan personalisasi akan kebertuhanannya sendiri.
Bahasa manusia takkan sanggup mendeskripsikan-Nya, sekalipun dalam yang paling sederhana. Sebab kekuatannya bahasa yang dipahami manusia adalah profan dan kefanaan, yang tak mampu bisandingkan dengan-Nya. Bahasa adalah makhluk, dan Dia adalah Khaliq.
Aku, kamu, mereka, punya persangkaan yang lain-lain tentang Tuhan. Dan sekali-kali, kita sering terusik untuk mempertanyakan, memperdebatkannya secara pribadi dalam pikiran dan hati (yang kerap berseberangan).
***
Soal cinta manusia (pada apapun), yang, untuk, dan karena: menuju jalan-Nya, adalah kemanisan berdimensi rabbaniyah. Ini sulit dimengerti, andai cinta yang dimaksud Cinta-Nya itu berobjek makhluk/alam. Cinta-Nya itu transenden, sedangkan cinta (pada apapun/selain-Nya) adalah kesebentar-bentaran, kekadang-kadangan, yang pasti kefanaan/kebersaatan.
Keberimanan kita, seperti kata Nabi, akan mendapatkan salah satu kemanisan apabila: mencintai sesuatu (makhluk) tak lebih dari Cinta yang dipersembahkan kepada-Nya. Atau, bahkan, cinta yang akan memuncakkan Cinta kita atas-Nya.
Ini juga pucuk dilema, antara mempertautkan cinta yang bersaat (kepada makhluk) dan cinta yang tak mewaktu/meruang (kegilaan fitri kepada-Nya). Keduanya terpaut dimensi yang berbeda. Cinta untuk makhluk lebih dekat pada inderawi/jasmani. Cinta kepada-Nya…….. [(terserah tafsirmu. aku takut mempersekutukan-Nya lantaran memperbandingkan cinta-Nya (yang sekaligus adalah dzat-Nya) dengan yang di luar-Nya).
***
Apapun premis dasar, atau kesimpulan yang kita imajinasikan sebagai “wujud-bayangan-Nya” takkan benar mewakili imaji-imaji orang lain. Tuhan, adalah “bayangan-bayangan” yang dihujam-hujamkan ke dalam diri kita, dan terserah bagaimana kita melafalkannya.
--Musyafak Timur Banua,
Penyair, aktif di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
assalamu'alaikum...
ReplyDeletepostingannya bagus, tapi koq aku ngga begitu mudeng ya...
bisa dijabarkan lagi ngga?
maksih...