Friday, December 11, 2009

Merenggut Keperawanan Demokrasi

1
Judul : Demokrasi La Roiba Fih
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : vi+ 282 hlm
Resensator : Musyafak Timur Banua

Demokrasi bak anak perawan. Ia mesra pada siapa saja. Terbuka, tidak memilih dan memilah, tidak membedakan. Namun, justru demokrasi yang baik hati dan bersedia merangkul siapa saja itu diperkosa oleh teman-temannya sendiri.
Siapa teman-teman yang setega itu memerkosa demokrasi?

Emha Ainun Nadjib menjawab dalam buku barunya Demokrasi La Roiba Fih. Pemerkosa demokrasi adalah hukum dan moral yang merupakan teman karib demokrasi. Ya, dua kawan karib itu selalu menjadi alat legitimasi struktural yang kemudian mengabsahkan kepentingan-kepentingan kelompok atas nama demokrasi. Dan, benarlah anak perawan bernama demokrasi itu ditunggangi siapa saja.

Pemekosaan ramai-ramai terhadap demokrasi tak menimbulkan rasa takut anak perawan (yang kegadisannya hilang) itu akan terserang "Aids" atau menjadi tidak sehat. Sebab takaran medis demokrasi adalah hukum dan tata etika yang dirumuskan secara manipulatif oleh kelompok-kelompok elite politik.

Dan, anak perawan bernama demokrasi yang kegadisannya hilang itu, akan melahirkan demokrasi yatim piatu. Demokrasi yatim piatu adalah demokrasi yang lahir tak sebagaimana ideologi mulanya.

Demokrasi juga "anak haram" dari persenggamaan politik tanpa ideologi. Nyatanya, partai politik bisa kawin-cerai sama partai apa saja dengan itung-itungan untung rugi.
Realitas ini disindir halus melalui kombinasi kolom-puisi yang menarik dan mengentak:

Ayam tak hanya pandai berkokok
Ia sanggup juga menggonggong,
asalkan itu yang diperlukan
Anjing tak hanya siap menggonggong
Ia siap juga berkokok,
asalkan itu yang menguntungkan
(hlm. 61)

Puisi itu adalah sindiran telak pada parpol (yang diibaratkan ayam atau anjing) yang mengalami krisis identitas. Ia bisa menjadi apa saja sesuai selera dan tujuan pencapaian keuntungan. Parpol terkini menampilkan muka ganda. Atau bahkan bermuka topeng. Akhirnya, keputusan koalisi politik berujung-pangkal pada hitungan untung-rugi. Bukan kesamaan visi misi dan ideologi politik. Visi misi politik soal gampng. Itu bisa disamakan, juga garis ideologi dideklarasikan selaras, jika dua parpol berkepentingan persis ketemu di laga politik.

Selain demokrasi "anak haram", sistem politik dari oleh dan untuk rakyat itu lahir sebagai "anak abu-abu". Anak tidak jelas siapa bapaknya. Adalah firasat putusnya identitas generasi penggerak demokrasi. Demokrasi terkontaminasi banyak kebusukan hingga tak jelas ia mewarisi kultur siapa. Lantas kelak dipertanyakan, apakah demokrasi Indonesia lahir dari rahim upaya memapankan kekuasaan suatu golongan. Atau, lahir dari rahim sejati rakyat: aspirasi rakyat yang makin progresif memaknai kebebasan politik.

Demikian Cak Nun mengulas dinamika demokrasi yang tengah bergulir di negeri ini. Cak Nun memusatkan pembacaan demokrasi Indonesia tahun 2009 ini pada hajat besar Pemilu. Pergolakan politik Pileg, Pilpres, dan Parpol menjadi pusar telaah reflektif.

Demokrasi, menurut Cak Nun adalah seni tertinggi dalam memaknai struktur kehidupan. Baik dalam hal politik maupun kebudayaan, demokrasi menjadi kiblat masyarakat yang mengabsahkan kebebasan memaknai hak sepanjang tidak melanggar hak orang lain.

Itulah mengapa buku ini berjudul Demokrasi La Roiba Fih. Sepadan makna dengan tiada keraguan dalam demokrasi. Kata La Raiba Fih adalah epistemologi yang dinukil Cak Nun dari al-Qur'an. Kata itu merujuk pada kitab suci itu sendiri. Bahwa, tiada keraguan di dalam al-Qur'an.

Dengan kata itu, pentolan Kiai Kanjeng menerjemahkan demokrasi sebagai kiblat utama masyarakat global. Bahwa, demokrasi adalah kebenaran mahapuncak di peradaban terkini. Demokrasi itu harga mati, kebenaran sejati, prinsip mutlak dan pedoman absolut. Orang atau bangsa yang tidak menganut demokrasi akan tersisih juga terasing dari jagad.

Sayangnya "cinta buta" pada demokrasi melahirkan retorika-retorika politik yang menggerogoti demokrasi. Hingga warga Indonesia taklid meneriakkan demokrasi, tapi perilaku sosial, politik, maupun budaya, tak mencerminkan laku demokrasi.

Ironi
Membaca Cak Nun adalah membaca dualisme bahasa. Kemasan bahasa Demokrasi La Roiba Fih amat halus menyindir realitas politik-kebudayaan. Gaya bahasa atau majas amat berperan memoles kritik-kritik seolah-olah menjadi menyanjung. Ya, majas ironi. Menyindiri dengan gaya ironik. Meninggikan sesuatu yang sejatinya buruk. Kebahasaan macam ini membuat pembaca lebih reflektif ketimbang kritik cas cis cus yang tanpa tedeng aling-aling.

Tema-tema yang disuguhkan kumpulan kolom ini masih relatif sama dengan buku sebelumnya, Jejak Tinju Pak Kiai (2008). Hanya saja, di Demokrasi La Raiba Fih lebih banyak mengulas persoalan politik. Tulisan-tulisan Cak Nun memiliki keluasan yang dalam, termasuk memantik harapan-harapan baru kehidupan berkebangsaan. 41 kolom yang terpilah menjadi 6 bagian dari Demkrasi La Roiba Fih menandaskan ekspektasi ke depan. Bahwa, pergolakan politik tahun 2009 ini menjadi tonggak perubahan bangsa.

Sebuah refleksi provokatif. Memanjat harapan sekaligus meneropong masa depan. Cak Nun menembus futurologi bangsa Indonesia ke depan.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

1 comment:

  1. Some hostels have curfews some won't. Depends the location.

    Pousadas Ubatuba

    ReplyDelete