Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Kompas, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan III, November 2008
Tebal : xiii + 240 hlm
Resensator : Musyafak Timur Banua
Dinamika persaingan untuk memenangkan perebutan kekuasaan di negeri ini ditunjang oleh ketangguhan-ketangguhan pelaku politik. Ya, politisi membutuhkan ketangguhan mental yang bersifat egoistik dan langkah tegap menatap "kursi panas" kekuasaan.
Dunia memang ini penuh paradoks. Di tengah berbagai kekisruhan yang sewajarnya membuat manusia manjadi rapuh, justru di seluruh negeri ini makin banyak manusia bermental tangguh yang berpikir dan berlaku efektif ke suatu tujuan.
Ketangguhan manusia Indonesia yang sedang menjadi tren adalah kebulatan tekad dan ambisi menuju "2009". Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pileg), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), bahkan Pemilihan Ketua Rukun Tetangga (belum ada akronimnya); itulah "2009".
Semua landasan berpikir manusia adalah "2009". Jika anda punya tafsir lain mengenai "2009", itu terserah dan sah-sah saja.
Ketangguhan itu juga ditampakkan dengan sifat narsisitik. Ribuan "kontestan 2009" memampangkan wajah "rupawan"—sudah dipoles dengan teknologi komputer atau digital— mereka di baliho-baliho, iklan televise, maupun surat kabar. Melihat dan menangani masalah apapun selalu istikamah untuk orentasi "2009". Berkawan dan pegat seduluran juga untuk "2009".
Semuanya kesalehan, kebajikan, maupun kewajiban yang menyangkut eksistensi dan esensi diri dicatat sebagai investasi menuju gerakan kekuasaan. Wajar saja, di dunia tak ada yang bebas nilai. Semua daya upaya tak bisa diberikan cuma-cuma. Manusia harus mengkalkulasi tujuan kebajikan pada momentum kapan ia diuntungkan atas kebajikan itu.
Demikianlah kisi-kisi Emha Ainun Nadjib dalam memandang pentas politik Indonesia terkini. Dalam buku Jejak Tinju Pak Kiai, Cak Nun sapaan akrab Emha, dengan apik megkritisi jejak langkah para pemimpin Indonesia menuju tampuk kekuasaan.
Kalau manusia memegang tongkat kekuasaan, di level manapun, biasanya ada empat hal yang mengejar-ngejar pikiran. Pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana memperpanjang kekuasaan. Ketiga, bagaimana bisa menghimpun modal sebanyak-banyaknya agar kekuasaan bisa dipertahankan. Keempat, cari muka pada rakyat di setiap momentum.
Sementara rakyat kecil setengah mati beranjak dari penderitaan dan kesengsaraan, tapi di sisi lain para calon pemimpin kampanye dengan tenangnya, tak sedikitpun memesrai jelata yang dirudung duka.
Cak Nun begitu kaya dengan metafora akan segala makna yang dituju. Misalnya penokohan Sobirin yang kejegur (kecebur) dalam tulisan Buang Angin dan Ludah 2009 (hlm. 6/bag. 1), adalah metafora dari masyarakat Sidoarjo Jawa Timur yang terendam lumpur panas Lapindo. Sementara, calon-calon lurah yang tangguh berkampanye tanpa peduli untuk sekadar membantu Sobirin keluar dari sumur adalah representasi Pilkada Jawa Timur yang berjalan "hebat" dengan calon-calon kuat, tapi tak menjamah korban Lapindo.
Penguasa, pemerintah, maupun aparatur negara seakan-akan telah lupa pada sang penguasa sejati, Tuhan semesta alam. Hal ini tentu saja membawa pengaruh bagi rakyat yang di-emong. Jika melanggar perintah Tuhan, manusia santai saja, tidak merasa berdosa. Akan tetapi jika melanggar perintah penguasa mereka pengecut dan tak berani melawan.
Proses Cak menempa persenggamaan dan sosial dan kebudayaan turut memberi sketsa bagaimana kebudayaan Indonesia sangat melekat dalam benak anak-cucunya, yang sebenarnya ini menyindir kita mengapa tak mempertahankan kekayaan nilai kultural. Bahwa bermacam-macam produk kebudayaan Indonesia yang dicoba diadministrasikan oleh negeri tetangga melalui hak cipta atau paten.
Malaysia menempati gambaran makhluk metaforis yang rakus sebab mengklaim Reog Ponorogo atau lagu Rasa Sayange adalah miliknnya (lihat dalam Reog Malaysia, Pecel Suriname, hlm. 158/bag. 5). Hal ini sepatutnya membuat masyarakat Indonesia bangga akan kebudayaannya yang "laku keras" di pasar kebudayaan internasional. Di Malaysia jelas Reog Ponorogo adalah pelunturan dari warga Ponorogo yang bermigrasi ke negeri jiran serumpun Melayu itu. Juga Pecel Suriname yang asal-muasalnya dari orang Jawa yang pada saat penjajahan Belanda dulu "dipiknikkan"—diasingkan atau dibuang—ke Eropa. Meski apapun nama produk-produk itu, Pecel Suriname ataukah Reog Malaysia, tetap manusia Indonesia-lah pelaku dan penggerak kebudayaan itu. Andaipun dipaksakan bukan anak cucu Jawa yang mementaskannya, tentu taste (rasa) gelaran budaya itu terasa hambar.
Dalam kondisi karut marutnya peradaban bangsa, perlulah manusia Indonesia menjadi makhluk wajib. Yakni makhluk yang wajib adanya karena tingginya kadar kemanfaatan bagi semua makhluk. Manusia tak sekadar makhluk sosial, tapi khalifatu fi al-'ardl (khalifah Tuhan di bumi) yang wajib memesrai semua mahkluk dan menjadi penolong bagi sesama.
Cak Nun memberi solusi atas berbeloknya nilai kepemimpinan di Indonesia. Menurutnya, pemimpin harus nyunggi wakul, maksudnya menempatkan kesejahteraan rakyat di atas kepalanya lebih dari segalanya. Tiada yang mulia di hadapan pemimpin kecuali kesejahteraan dan kemuliaan rakyatnya.
Membaca tulisan-tulisan Cak Nun seolah menelanjangi dirinya yang telah melebur dalam koordinat budaya, sosial, agama, politik, dan tetek bengek persoalan manusia. Cak Nun, sapaan akrab Emha, selalu saja meluapkan ledakan-ledakan ide yang masyarakat umum tak sangat sukar menduganya. Keseluruhan isi dalam Jejak Tinju Pak Kiai adalah upaya mengeja wajah Indonesia.