Tafsir Surat-surat dan Mutiara-mutiara Drs. R.M.P Sosrokartono
Pengarang : Indy G. Khakim
Penerbit : Pustaka Kaona, Blora, Jawa Tengah
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : viii+160 halaman
Resensator : Musyafak Timur Banua
Keinginan manusia menjadi kaya adalah wajar. Karena itu adalah fitrah manusia yang dilengkapi nafsu dan sifat berlebihan. Kekayaan pada umumnya dilihat dari banyaknya harta yang dimiliki seseorang. Kebanyakan manusia beranggapan bahwa harta adalah segala-galanya, dan miskin harta adalah awal dari segala derita.
Tetapi bagi Raden Mas Panji Sosrokartono, kaya tidak dicapai manusia hanya melalui harta. Menurutnya harta tidak penting, yang terpenting adalah kedamaian jiwa. Kedamaian jiwa tidak dijamin pada banyaknya seseorang mempunyai tumpukan harta. Tetapi menguasai jiwa dengan kekuatan-kekuatan alamiah seperti perjuangan, kebenaran, kejujuran, kebersamaan, dan makna kasih sayang di antara sesama.
Memang, untuk memaknai kekayaan pada realitas spiritual seperti itu sangat sulit. Karena realitas material selalu membuat manusia "terjebak" dan gila kepadanya. Tak jarang kegilaan pada kekayaan harta membuat manusia lupa diri hingga kesejatian dirinya sebagai manusia luntur karena rasa egoistis yang memuncak.
Kaya tanpa harta seperti yang diajarkan oleh RMP Sosrokartono adalah laku spiritual yang mempunyai makna sangat dalam. Tanpa harta secuilpun manusia mampu menempatkan dirinya sebagaimana manusia lainnya, tidak neko-neko, selalu menyerahkan dirinya kepada Tuhan, dan mampu mengulurkan pertolongan kepada yang lain. Laku spiritual itu akan membawa sesorang menjadi manusia linuwih; meskipun tidak mempunyai sepeser harta tetap saja ia disebut kaya karena keluasan hatinya. Yang lebih penting adalah solidaritasnya terhadap sesama karena bersedia menolong manusia dengan kemampuan yang dimiliki.
Dalam buku Sugih Tanpa Bandha; Tafsir Surat-surat dan Mutiara-mutiara Drs. R.M.P. Sosrokartono, Indy G. Khakim menafsirkan ajaran-ajaran RMP Sosrokartono yang tertuang dalam kumpulan suratnya (kempalan serat-serat). Yang paling ditekankan di sini adalah ajaran tentang sugih tanpa bandha. Bahwa kedamaian hidup bisa ditempuh dengan jalan saling berbagi dengan sesama tanpa bergantung pada harta. Kekayaan dan keluasan jiwa adalah lebih penting daripada harta. Dengan demikian, manusia bisa menjadi kaya meski tak berharta.
RMP Sosrokartono adalah putra Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Kakak RA Kartini (tokoh pejuang emamsipasi wanita) itu lahir pada Hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 di Mayong, Jepara. Perjalanan hidupnya sangat panjang dan penuh pengembaraan, hingga ia menemukan sisi-sisi kehidupan yang menggugah jiwanya untuk menolong sesamanya.
Di Dar-Oes-Salam, Bandung, RMP Sosrokartono memberikan banyak pertolongan kepada manusia yang sakit dan menderita. Pergulatan ini membawanya pada sebutan Mandhor Klungsu. Secara referensial, Mandhor Klungsu bermakna simbolis: biji asam (klungsu) meskipun kecil tapi kuat. Namun, secara pragmatis, Mandhor Klungsu adalah imaji dirinya untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Ada empat fase ajaran RMP Sosrokartono yang bisa membawa manusia menuju jalan yang benar dan mampu menahan emosional negatif. Pertama, sugih tanpa bandha. Yaitu menyelaraskan diri dengan situasi, bahwa kekayaan itu semu dan yang kekal adalah kebenaran. Fase ini mengajarkan manusia agar narima ing pandum atas segala sesuatu yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam mengarungi proses ini diharapakan manusia mendalami dimensi spiritual dengan tidak memandang harta sebagai sumber kebahagiaan. Ajaran ini sama halnya mungkur ing kadonyan.
Prinsip yang terkenal di sini adalah ilmu kanthong bolong. Ilmu ini adalah sebentuk pengetahuan dan kesadaran kongrit akan sebentuk tempat yang selalu kosong, yang secara pasti tempat itu tak pernah membarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada. Karena tempat itu berlobang, maka apapun yang ada di dalamnya akan selalu mengalir sehingga menjadi kosng dan sunyi setelah segala sesuatu ada padanya. Di sinilah rumus kekayaan secara spiritual; membiarkan segala kepemilikan mengalir kepada orang lain. Artinya, bersedia membagi kebahagiaan baik secara materi maupun nonmateri.
Kedua, digdaya tanpa adji. Fase ini adalah jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Perilaku yang ditanamkan dalam fase ini adalah perilaku yang baik, tidak sombong, dan sopan. Ajaran ini bermuara pada semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan; manusia hanya pelakunya. Kesaktian tidaklah hanya dimiliki oleh seseorang yang memiliki kadigdayan, tetapi bagi orang yang memiliki kepasrahan diri dengan mendekatkan dirinya (dzikir, wirid) kepada Tuhan. Hal ini ditunjukkan jelas dalam Serat Saking Tanjung Pura (Kempalan Serat-serat R.M.P Sosrokartono) yang berbunyi: ajinipun inggih boten sanes aji tekad, ilmunipun ilmu pasrah, rapalipun adilipun Gusti.
Ketiga, ngalurug tanpa bala. Adalah fase hidup menjalani kebenaran hidup dengan dirinya sendiri. Dengan tangannya sendiri, manusia dituntut untuk berkarya dan mengatasi permasalahan sendiri. Bahwa karya dan usaha sendiri itu lebih baik dan mulia daripada kesuksesan berkat orang lain. Dalam kolektivitas masyarakat, ngalurug tanpa bala lebih tepat dimaknai sebagai ajaran agar manusia jujur dan bertanggungjawab atas segala sesuatu yang diperbuatnya.
Keempat, menang tanpa ngasoraken. Fase ini mengajarkan manusia untuk menghayati keadaan hidup yang ada. Kehidupan pada dasarnya terdiri dari dua sisi yang saling bersebelahan. Misalnya, ada kekalahan pasti ada kemenangan, di balik kegagalan pasti ada kesuksesan, ada pahit ada manis, dan seterusnya. Inti dari fase ini adalah ajaran bahwa kemenangan harus diraih melalui jalan damai, tanpa kekerasan, dan tidak membuat lawan malu dan terhina. Kemenangan adalah kejujuran dengan tidak menjatuhkan orang lain.
Semua fase menuju kesunyatan hidup ini dijelaskan dalam bab-bab tersendiri. Selain ajaran itu, masih banyak laku-laku spiritual dan ajaran kamanungsan yang tertuang dalam buku ini.
Indy G. Khakim cukup jeli dalam menafsirkan surat-surat ataupun kata-kata mutiara (ungkapan) yang lahir dari RMP Sosrokartono. Penulis berhasil mengeksplorasi makna pada tataran spiritual. Yang kesemuanya itu dihadirkan dalam bingkai hubungan manusia dengan sesamanya; untuk saling menolong dan berbagi meskipun dalam keterbatasan. Ditambah lagi dengan penyertaan ayat-ayat al-Qur'an, semakin memperkaya interpretasi penulis atas serat RMP Sosrokartono yang berdimensi religius.
Buku ini dikemas dengan bahasa elastis dan tidak banyak menggunakan bahasa-bahasa ilmiah atau asing. Justru peristilahan lebih banyak memakai bahasa Jawa. Namun, ini sekaligus menjadi kendala bagi orang yang tidak mampu memahami bahasa Jawa.
Kekurangan buku ini relatif minim. Hanya sja, penulis perlu menyempurnakan ejaan. Karena masih ada beberapa kesalahan baik ejaan maupun penulisan, seperti penulisan kata “pun” yang dipisah dari kata bagaimana dan di mana (hlm. 20: seharusnya digabung: bagaimanapun/di manapun). Kesalahan lainnya seperti penulisan selain (hlm. 18: tertulis selaian) dan samudera (hlm. 73: tertulis samodera). Ada kesalahan agak fatal, yaitu layout yang berganti font (hlm. 73). Penulis harus lebih hati-hati memakai istilah asing, terlihat ketidakjelian penulisan deep structur (hlm. 45: seharusnya deep structure). Ada juga penulisan kata yang tidak konsisten, yaitu penulisan kata “bandha” yang sering ditulis banda (hlm. 31 dan 53).
Namun demikian, buku ini patut dibaca oleh banyak orang sebagai pedoman hidup. Isi di dalamnya menuntun manusia pada jalan hidup yang selaras dan seimbang. Kekuatan batin dapat dicapai manusia melalui ajaran RMP Sosrokartono yang dikupas dalam buku ini. Buku ini sekaligus sebagai terapi serta obat bagi jiwa-jiwa yang tidak tenteram karena banyaknya permasalahan hidup yang dihadapi.