Sunday, January 17, 2010

Jalan(an) yang Melawan

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Simpang Lima tempat kami membangun harapan,
Simpang Lima tempat membangun perjuangan,
—–Kelompok Pengamen Johar:

dalam lagu Simpang Lima Tempat Membangun Perjuangan

Malam beraroma dingin di musim peralihan merajut kehangatan. Bukan karena seduhan kopi atau teh panas. Keakraban itu lahir dari petikan gitar-gitar dan tabuhan simbe yang membangun irama harmonis. Juga vokal yang kadang merunduk dan dan kadang lepas mengencang. Mengajak pendengar berdentang-dentang dalam tarian, meskipun hanya tertahan dalam denyut nadi.

Di penghujung Mei malam itu (28/05/2008), Kampus II IAIN Walisongo kedatangan “tamu jalanan”. Acara Launching Buku Perjalanan Batin Iwan Fals karya Yudi Noor Hadiyanto, sekaligus menjadi ajang Silaturahmi Musisi Jalanan. Dalam kesempatan temu pengamen dan anak jalanan itu, iringan musik jalanan justru menawarkan pesona irama yang khas.

Mengawali dan menutup kupas buku yang lahir dari tangan Yudi, kelompok-kelompok pengamen atau musisi jalanan membuat suasana semarak dengan lantunan lagu-lagu yang mencerminkan lokalitasnya. Bait-bait yang berserak dalam lagu-lagunya pun nakal menyengatkan bau kritis beraroma ndagel, membuat penonton tak habis dibuat tertawa.

Malam terbuka yang diselenggarakan oleh Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), Metafisis, dan AMANAT itu cukup antusias dengan kedatangan musisi jalanan dari Semarang dan Yogyakarta. Di halaman PKM Tarbiyah itu hadir KPJ Yogyakarta, Girly, Serikat Pengamen Indonesia (SPI), Kelompok Pengamen Bulu (KPB), Pengamen Johar, dan banyak lagi organisasi anak jalanan. Selain itu turut bersua pula OI (organisasi fans Iwan Fals), juga Setara (Ormas pendamping anak jalanan).

Jalanan=musik=kehidupan
“Jalanan adalah musik. Musik adalah hidup kami.” Itulah tema yang dikemas dalam malam kemesraan itu. Bahwa: jalanan irama panjang, yang tak akan habis, yang selalu baru, dengan racikan bumbu-bumbu “kenakalan”. Di situlah jalan mereka untuk senantiasa hidup tanpa belenggu, meski selalu dipinggirkan.

Di balik tampilan mereka yang “liar”, terpancar bakat-bakat kreasi yang segar dan dekat dengan masyarakat. Itu dapat dilihat dari musik dan lagu-lagu anak jalanan yang begitu menyentuh. Juga bersinggungan langsung dengan stuasi yang membalut lingkungan kaum pinggiran.

Kesejatian musik jalanan sebenarnya sangat dekat dengan masyarakat kecil. Di sepanjang jalur angkutan kota, angkutan umum, dan bus sekalipun, dengan mudah dijumpai pengamen yang membawakan lagu-lagu khas jalanan. Namun bukan berarti musik jalanan adalah sekedar musik murahan yang digunakan dalam mengamen.

Musik jalanan telah menjadi aliran tersendiri dalam panggung musik dan kesenian di Indonesia. Dalam perjalanannya, para penyanyi jalanan selalu menghadirkan kenyataan yang begitu dekat dengan rakyat. Lagu-lagunya mencoba menggiring manusia dengan realitas yang sederhana, bukan ilusi yang membubung.

Pengangguran, kemiskinan, peminggiran, penindasan, dan kerasnya jalan hidup selalu menjadi topik utama dalam bait-bait lagunya. Di banding dengan aliran musik yang sudah mapan, justru musik jalanan lebih kritis menyikapi persoalan bermasyarakat; soal politik dan pemerintahan, hingga soal korupsi.

Dalam pandangan Liliek B Wiratmo, musik jalanan patut mendapat apresiasi lebih.
Menurutnya, di dalam perkumpulan anak-anak jalanan terdapat talenta musik yang luar biasa. “Lihat saja pada lagu-lagunya yang segar, saya sangat menyukainya karena isinya lebih dekat dengan masyarakat,” katanya usai mengulas buku Menelisik
Perjalanan Batin Iwan Fals.

Baginya, karya mereka lahir dari pengalaman mengarungi kerasnya kehidupan. Lagu-lagunya berusaha melawan peminggiran dan pengasingan keberadaan dirinya. Musik jalanan telah menyatakan antipenindasan. “Ke depan mereka mendapatkan ruang lebih lebar untuk mengekspresikan dirinya,” harapan aktivis perempuan ini.
Tak berlebihan yang diungkap Lily, karena memang fakta musik jalanan mengkritik peminggiran dirinya. Lihat saja dalam bait; kami ini produk sampingan / di tengah deras laju pembangunan. Sebuah lagu yang dibawakan komunitas Girly dalam temu musisi jalanan malam itu.

Subkultur
Aulia Muhammad, melihat musik jalanan ini sebagai produk yang berbeda dengan musik mainstream saat ini. Sedikit banyak musik jalanan menawarkan budaya tanding terhadap musik arus utama di Indonesia. Oleh karenanya, Aulia melihat musik jalanan ini sebagai subkultur. “Nuansa lokalitasnya sudah terbaca. Apalagi, meskipun sedikit, mereka sudah membawakan lagu-lagunya sendiri,” katanya saat ditemui Suketteki, usai mengisi acara Launching buku malam itu.

Tetapi, sambung Pemred Cyber Suara Merdeka ini, harus dilihat kembali ideologi yang mereka usung. Jika yang dibawakan masih dari lagu-lagu industri, subkultur patut dipertanyakan. “Jangan-jangan cuma beda tampilan saja, dan isinya masih mengobral lagu-lagu mainstream.”

Aulia berharap, ke depan musik jalanan lebih apresiatif terhadap karya-karya sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus melepas lagu-lagu industri. Agar corak perlawanan terhadap arus utama lebih kentara.

Subkultur, seperti musik jalanan, dalam banyak hal mencerminkan perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Itulah mengapa lagu-lagu anak jalanan lebih liar dalam mengkritik berbagai hal yang tidak semestinya. Pengangguran, misalnya, mendapat perhatian lebih oleh kaum jalanan. Bait-bait berikut akan mengantarkan pada kritik yang segar dan mengena; Pak buka dong Pak / lapangan pekerjaan untuk warga kotamu / untuk rakyatmu yang masih numpang di tanah milikmu / jika Bapak masih melakukan itu / kudoakan agar Bapak naik pangkat / jika Bapak berat melakukan itu / kudoakan agar Bapak cepat modar.

Tak ketinggalan, karut-marut situasi pemerintahan dan politik di Indonesia ditanggapi dalam lagu yang kaya kritik. Misalnya saja dalam petikan lagu Indonesia Bubar yang diciptakan oleh SPI; hei Indonesiaku / tanah subur rakyat nganggur / tanam padi tumbuh pabrik / tanam jagung tumbuh gedung / tanam modal tumbuh korupsi / tanam cinta tumbuh aborsi / tanam demonstran tumbuh TNI.

Musik jalanan mencoba menghadirkan apa yang telah diterima masyarakat sebagai kenyataan hidup. Nuansa lokalnya diam-diam makin menonjol. Berbeda dengan musik industri yang cenderung urban dan memuja kehidupan metropolis; menawarkan kenyataan semu bagi rakyat kecil dengan tema-tema hidup penuh kemewahan.

Misalnya, Simpang Lima Tempat Membangun Perjuangan. Lagu ini telah mencerminkan nuansa lokal meskipun lebih kentara makna pengalaman jalanannya.

Komunitas anak-anak jalanan merupakan kantung-kantung budaya yang turut melestarikan budaya lokal. Dengan kreatifitasnya, komunitas jalanan mencoba nguri-uri budaya rakyat. “Mari kita lepaskan belenggu kreatifitas, bersama-sama membangun budaya kerakyatan,” kata vokalis kelompok penyanyi Fajar Merah sebelum membawakan lagunya. (Musyafak)
http://suketteki.wordpress.com/2008/07/10/jalanan-yang-melawan/

Lihat di Kampoeng Sastra Soeket Teki
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment