Sunday, January 17, 2010

Spirit Tandingan dari Nurani Lokal

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Setiap ruang di bumi ini tak selalu menghadirkan titik yang padu meskipun satu tujuan. Ada banyak noktah lahir akibat pentingnya sebuah identitas yang tidak bisa digambarkan oleh noktah-noktah lainnya.

Begitu pula sastra, dalam kurungan satu ruang pun muncul banyak embrio untuk sama-sama menyemai keindahan, saling bersinggungan dan sehingga mampu meretas jalan masing-masing. Meskipun akhirnya bermuara dalam satu bejana; estetika dan rasa.

Sastra Indonesia yang berangsur-angsur terkungkung dalam lingkaran eksklusifisme, tampaknya mulai goyah dengan “semburat pelangi” yang muncul di sela-sela aturannya yang ketat. Tekad yang muncul untuk menggugat sucinya batasan sebuah karya sastra; juga kesadaran mencipta warna baru membidani lahirnya sastra subkultur.

Dalam berbagai ruang diskusi, sastra subkultur dibaca sebagai pengejawantahan imajinasi sastra yang menampilkan lokalitas masing-masing daerah. Ini adalah bukti (sebenarnya) kekayaan sastra Indonesia sangat luas karena ditopang keragaman budaya daerah. Tetapi sayang, sastrawan yang berdiri di atas kekayaan daerahnya masing-masing belum banyak.

Melani Budianta adalah salah satu sastrawan yang getol mendengungkan wacana sastra subkultur yang kehadirannya sampai saat ini masih tersisihkan. Pembacaannya, sastra yang ber-”hati” kedaerahan ini sulit berkembang karena masih ketatnya rumus sastra yang berlaku di pasaran; penerbit tidak responsif terhadap karya-karya lokal.

Tak lain ini sebagai cermin kanonisasi yang masih kokoh di blantika sastra Indonesia. Spirit keindahan anak negeri masih memuja karya sastra bercorak urban dan metropolis. Fanatisme kota yang kaya imajinasi masa kini menutup pintu gudang sastra rapat-rapat.

Mainstream urban
Sastra Indonesia; sastra kanonik; sastra urban; sastra Jakarta. Itulah mata rantai sastra yang bergulir sebagai mainstream kokoh dan “anti pembajak”. Sehingga saking ketatnya hukum-hukumnya, benih-benih yang tumbuh selalu mati. Bagai gugurnya beribu-ribu sel sperma melewati asamnya garba hingga hanya satu, dua, tiga, yang terus berpacu untuk menelurkan karya.

Ya. Sastra kota, terutama Jakarta tak tergoyahkan. Banyaknya media seperti koran, majalah yang berserak di metropolis itu turut membangun kepongahan wajah sastra Indonesia. Bahkan, sastra koran sempat dijadikan kultus yang agung pencipta narasi-narasi dan imajinasi manusia untuk menyemai karsa dan rasa. Juga komunitas-komunitas sastra yang pada awalnya hanya menjamur di kota besar segagah Jakarta.

Tantangan ini mau tidak mau mengharuskan sastra subkultur merajut jalan sendiri untuk sampai pada pangsa pasar meskipun keduanya masih bersinggungan dinamis. Celakanya, garis hidup seorang sastrawan seakan-akan digiring menuju sastra mainstream yang olehnya hajat hidup bisa tersentuh. Namun begitu, sastra subkultur pelan-pelan merangkul pasarnya sendiri meski dengan banyak kepongahan yang dilaluinya.

Spirit tandingan

Sejak sekitar era 1980-an, kesadaran mengekplorasi ide-ide estetik dari kekayaan daerah sudah tampak. Hampir bersamaan dengan gagasan sastra kontekstual yang dicetuskan Arif Budiman, wacana sastra kedaerahan ini menyembul ke permukaan. Dua-duanya adalah wujud pencerahan yang berusaha keluar dari patron sastra ekslusif.

Warna kedaerahan terlihat dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari. Novel ini sangat kental dan basah oleh lokalitas yang membangun ceritanya. Latarnya tak tergantikan, narasinya muncul dari dialog lokal, serta dialek bahasa yang sangat dominan. Lihat saja, latar yang digambarkan di Ronggeng Dukuh Paruk benar-benar solid, tidak bisa diimajinasikan dalam setting di alam berbeda dengannya.

Inilah kemudian sastra subkultur mempunyai jenis kelamin yang jelas. Bahasanya khas menunjuk daerah tertentu, juga dialek lisannya. Setting lokalnya sejati menjadi peristiwa yang terus melahirkan peristiwa yang dinamis.

Sejak saat itu, kecenderungan menggali daerah dalam bingkai sastra Indonesia makin terlihat. Pengakuan Pariyem buah tangan Umar Kayam muncul di tengah kesadaran untuk tidak menempatkan keindahan dalam puji-pujian gemerlapnya kota, namun menilik sensualitas lokal yang kaya alam yang benar-benar hidup.

Meskipun sama-sama beralur subkultur, Pengakuan Pariyem berbeda dengan Ronggeng Dukuh Paruk. Umar Kayam tidak mengejawantahkan karyanya pada latar, melainkan ideologi daerah. Settingnya bisa ditukar ke mana saja, namun jati diri seorang Pariyem adalah perempuan Jawa, dan sejati menokohkan ideologi Jawa dalam relasi cerita di dalamnya.

Paska kelahiran dua novel ini, terjadi pengayaan kahazanah sastra subkultur. Yaitu lahirnya karya-karya sastra yang muncul dari hati nurani daerah dengan ideologi kedaerahan tertentu. Tantangan sastra subkultur yang bertaut di kalangan penikmat adalah kesulitan mencerna dialek kedaerahan yang khas dan berbeda-beda.

Sastra subkultur semakin ngrembaka saat ini, komunitas-komunitas sastra yang bak cendawan di musim hujan –yang tak hanya tercecer di pusat kota; Jakarta) seperti sekarang ini turut menampakkan nuansa lokal yang sarat dengan karifan seninya. Berawal dari “surau-surau” inilah jaring-jaring sastra subkultur dirajut. Yogyakarta, misalnya, telah tercetak kantung-kantung sastrawan baru dengan pesatnya. Semarang kini pun mulai iri, di banyak tempat sudah terbangun kampung sastra.

Pada awalnya sastra subkultur memang lahir akibat ketidakmampuan menguasai sastra mainstream. Tetapi beriring dengan orientasi dan cita-citanya sedikit banyak telah mengusung ideologi. Dengannya sastrawan berani berbeda dengan yang digariskan kuasa pasar.

Sastra subkultur telah menjadi fenomena tersendiri yang pada akhirnya benar-benar membakar semangat tandingan. Laiknya dalam persinggungan budaya, saat ini sastra subkultur menjadi counter culture (budaya tanding) dalam budaya kesusasteraan.

Sastra subkultur mencoba keluar dari pakem dan berani mencipta ruang-ruang sendiri. Penerbitan majalah-majalah sastra efektif menampung gairah menulis sastra tanpa mengikuti baku-baku sastra koran. Internet menjadi tempat bagi orang-orang yang keranjingan sastra dengan kemudahan media publikasinya. Situs-situs (website, blog, wordpress) sastra bertebaran di jaringan “dunia maya”. Itulah bentuk-bentuk kreasi baru yang enggan terkungkung dalam kemapanan.

Membaca; menghadirkan ruh
Sastra subkultur adalah kesejatian membaca realita kehidupan. Olehnya sastra mempertemukan pembaca dengan denyut-denyut kedaerahan yang sarat konflik riil yang dapat mengajarkan sebuah kearifan. Bahwa dengan sastra subkultur khittah estetika berpantul kembali pada tatapan yang tidak kosong (penuh retorika belaka) tetapi menunjukkan simpul kehidupan yang begitu dekat dengan pengarang maupun pembacanya.

Kehadiran sastra subkultur menjadi ruh penggerak bagi pembacanya untuk berusaha menafisrkan kembali apa yang selama ini mereka alami di alam nyata. Juga menggali ulang definisi tentang segala tata cara yang selama ini mereka terima sebagai bagian hidup.

Lihat di Kampoeng Sastra Soeket Teki
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment