LUKISAN BAYANG
Diam saja kau di situ. Hendak kulukis bayangmu. Tapi gelap tiba-tiba. Mendadak ujudmu raib.
Ah, aku baru mencapai wajahmu. Tapi baru satu mata terpenuhi. Jadilah citramu cacat. Muka raib satu mata.
Masih terjepit kuas di belah telingaku. Menanti gelap hadir membawamu. Mungkin butuh purnama. Demi bayangmu sempurna. Agar selesai kulukis sisa bayang wajahmu.
Kelak jika rindu menyerbu. Bisa kupandang wajahmu seluruh. Meski hanya lukisan bayang.
Semarang, 10/12/09
SITUS PELARIAN
Subuh ini kau hilang. Usai perjamuan semalam. Kutemu tapak kaki di halaman. Itu bekas jalanmu, bukan?
Kuturuti sepanjang alur kakimu pergi. Tapi pagi mendadak hujan. Jejakmu terhapus. Situs pelarianmu putus.
Pencarianku hilang arah. Sisa alamatmu hanya bau wangi yang menguncup merah, di leherku. Pula segores luka kuku di punggungku.
Di mana bisa temukan kau?
Semarang, 10/12/09
HUTANG MAWAR
(bocah itu masih saja menanyakan ke mana ibunya pergi)
Senja menghadirkan kau di pelataran rumah. Berkali-kali kau ketuk pintu. Aku masih sibuk dengan mesin ketik.
(kutulis sajak untuk menjelaskan kepergian seorang ibu)
Kau sudah enyah kala putriku hampir menyilakanmu. Sembari hendak pergi kaupetik mawar.
Mengapa kau curi mawar ayahku, tegur putriku.
Ayahmu hutang mawar padaku, ia hanya sempat melunasi puisi, jawabmu.
Aku tertegun di muka pintu. Kau nyaris tak kukenal. Ya, dulu kaupikat mataku. Kini keriput melipat-lipat ayumu.
Kaukah ibuku, tanya putriku.
Kau memeluknya. Dekapmu melambatkan nafasnya. Tapi kulihat tangisnya bahagia.
(tak semua perempuan bisa menggantikan seorang ibu)
Akulah alasan yang membuat ibumu pergi, jawabmu.
Putriku memukul-mukul dadamu. Tangisnya menggores luka di jantungmu.
Jadilah aku ibumu sekarang, rayumu.
Tidak, petik sekali lagi mawar biar lunas janji ayahku, sergah putriku.
Putriku menembus rumah dengan sebanting daun pintu. Membiarkan kita bercakap sunyi.
Semarang, 10/12/2009
Diam saja kau di situ. Hendak kulukis bayangmu. Tapi gelap tiba-tiba. Mendadak ujudmu raib.
Ah, aku baru mencapai wajahmu. Tapi baru satu mata terpenuhi. Jadilah citramu cacat. Muka raib satu mata.
Masih terjepit kuas di belah telingaku. Menanti gelap hadir membawamu. Mungkin butuh purnama. Demi bayangmu sempurna. Agar selesai kulukis sisa bayang wajahmu.
Kelak jika rindu menyerbu. Bisa kupandang wajahmu seluruh. Meski hanya lukisan bayang.
Semarang, 10/12/09
SITUS PELARIAN
Subuh ini kau hilang. Usai perjamuan semalam. Kutemu tapak kaki di halaman. Itu bekas jalanmu, bukan?
Kuturuti sepanjang alur kakimu pergi. Tapi pagi mendadak hujan. Jejakmu terhapus. Situs pelarianmu putus.
Pencarianku hilang arah. Sisa alamatmu hanya bau wangi yang menguncup merah, di leherku. Pula segores luka kuku di punggungku.
Di mana bisa temukan kau?
Semarang, 10/12/09
HUTANG MAWAR
(bocah itu masih saja menanyakan ke mana ibunya pergi)
Senja menghadirkan kau di pelataran rumah. Berkali-kali kau ketuk pintu. Aku masih sibuk dengan mesin ketik.
(kutulis sajak untuk menjelaskan kepergian seorang ibu)
Kau sudah enyah kala putriku hampir menyilakanmu. Sembari hendak pergi kaupetik mawar.
Mengapa kau curi mawar ayahku, tegur putriku.
Ayahmu hutang mawar padaku, ia hanya sempat melunasi puisi, jawabmu.
Aku tertegun di muka pintu. Kau nyaris tak kukenal. Ya, dulu kaupikat mataku. Kini keriput melipat-lipat ayumu.
Kaukah ibuku, tanya putriku.
Kau memeluknya. Dekapmu melambatkan nafasnya. Tapi kulihat tangisnya bahagia.
(tak semua perempuan bisa menggantikan seorang ibu)
Akulah alasan yang membuat ibumu pergi, jawabmu.
Putriku memukul-mukul dadamu. Tangisnya menggores luka di jantungmu.
Jadilah aku ibumu sekarang, rayumu.
Tidak, petik sekali lagi mawar biar lunas janji ayahku, sergah putriku.
Putriku menembus rumah dengan sebanting daun pintu. Membiarkan kita bercakap sunyi.
Semarang, 10/12/2009