DITANYA soal iblis, bisa dipastikan jawaban kebanyakan orang pasti negatif dan antagonistik. Taruhlah, “Iblis itu jahat, penggoda, kerjaannya menghasut manusia.” Atau, “Iblis itu makhluk kegelapan, menyesatkan manusia untuk ingkar pada Tuhan.”Sebaliknya, jika seorang menjawab “Iblis itu baik, iblis yang menakut-nakuti manusia agar tidak berbuat dosa” orang itu berpotensi besar untuk dikategorikan sebagai kawan iblis. Atau paling tidak, orang macam itu akan dikecam hati dan pikirannya penuh bisikan iblis.
Lantas bagaimana jika saya katakan “Iblis itu baik, iblis menuntun manusia agar waspada dari kemaksiatan, iblis adalah partner manusia dalam mengarungi sunnatullah”?
Bertubi-tubi argumentasi tandingan mungkin akan menyerang saya: bahwa pandangan tadi amat keliru. Serangan-serangan seperti itu lazimnya akan dibingkai dalam kajian teologis yang sumber-sumbernya akan dirujuk dari al-Qur’an Yang Suci dan al-Hadits Yang Benar. Ada ratusan dalil naqli yang bisa dinukil untuk menunjukkan iblis adalah makhluk pembangkang: tak mau sujud pada Adam—salam Allah untuknya—atas perintah Allah (al-Baqarah: 34). Atau bisa merujuk kisah bahwa iblis meremehkan manusia lantaran manusia terbuat dari lumpur hitam yang diberi bentuk (al-Hijr: 33). Yang kemudian disimpulkan dengan seruan Allah pada Adam: "Hai Adam, sesungguhnya iblis adalah musuh bagimu dan bagi isterimu” (Thaha: 117). Ini sah, dan terserah bagaimana seseorang mentakwilinya.
Tapi cobalah sejenak menyandarkan stereotip negatif atas iblis. Sejenak buang jauh-jauh prasangka under ustimate kepada sesama makhluk Allah yang satu ini. Meski iman kita tunduk pada keyakinan bahwa lantaran iblislah Adam dikeuarkan dari sorga. Dan dengan alasan itu pula keturunan Adam memberikan ultimatum untuk berseteru dan berperang melawan iblis.
Pernahkah sekali-kali kita berpikir bahwa godaan iblis atas Adam melalui buah Khuldi adalah skenario Tuhan?
Adam diciptakan untuk menjadi khalifatu fil ‘ardl (pemimpin di bumi), bukan khalifatu fil jannah (pemimpin di sorga). Inilah satu tesis bahwa dialektika yang terjadi antara Adam, Iblis, Hawa, dan Khuldi adalah interaksi antaraktor yang membawakan negasi-negasi. Dan Allah sendiri adalah sutradara di balik lakon itu.
Andaipun Iblis tidak menggoda Hawa dan Adam, kemungkinan besarnya Allah akan menngunakan skenario lain yang jeluntrung dan temanya memindahkan Adam dari sorga ke bumi. Sebab memang dari awal Allah mencipta Adam untuk menjadi pemakmur di bumi. "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi," kata Allah pada malaikat (al-Baqarah: 30).
Penciptaan Allah atas semua makhluk di bumi pasti ada maksud yang tidak semua manusia mampu menyingkapnya. Sekecil apapun, penciptaan iblis pasti ada manfaatnya. Sebab segala tindak-tanduk Allah tak lepas dari sebuah nilai yang sifatnya haq dan mutlak.
Agak mustahil jika iblis di-kun fayakun-kan oleh Allah tanpa kadar kemanfaatan sedikitpun. Serangga pun memiliki nilai yang kemudian Allah mewahyukan padanya “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". Hingga ketika Kanjeng Muhammad Saw bersembunyi di Jabal Thur karena dikejar orang-orang Quraisy sebelum hijrah ke Madinah laba-laba mengamankan mulut goa dengan sarangnya.
"Polisi" Spiritual
Iblis dicipta untuk menjadi "polisi" spiritual bagi perjalanan manusia dalam melakukan transaksi nilai-nilai ilahiyah. Bayangkan saja iblis ibarat polisi lalu lintas yang rajin menyemprit manusia saat akan berbuat dosa. Bayangkan bahwa yang kita sebut-sebut bisikan iblis sebagai penyesatan adalah peringatan agar manusia tetap malangkah dengan nilai-nilai kemanusiaannya sendiri. Di sinilah iblis sebenarnya menjadi watch dog—anjing penjaga—yang menakut-nakuti manusia. Dan sukseslah jika manusia tak berbuat dosa lantaran ia tersadarkan oleh sebuah nilai: dosa adalah perbuatan iblis yang itu harus dijauhi. Di sinilah kadar kemanfaatan iblis yang selalu kita mengutuknya.
Iblis bagian dari sunnatullah untuk tetap berjalan dengan tradisi pembangkangannya. Iblis adalah bagian dari kosmologi spiritual manusia yang tanpanya transaksi ruhaniah antara manusia dengan Allah menjadi sangat ringan dan tak dirintangi aral.
Seandainyapun banyak manusia berbuat dosa, itu bukan semata-mata dorongan iblis.
Manusia diciptakan lengkap dengan naluri-naluri negatif: manusia dilengkapi berbagai macam nafsu yang semua bagiannya berpotensi menjadikannya baik atau sebaliknya jahat. Iblis adalah salah satu instrumen yang digunakan Tuhan untuk mengidentifikasi karakteristik hamba-hambanya.
“Dan tidak adalah kekuasaan iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami (Allah) dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Tuhanmu Mahamemelihara segala sesuatu” (Saba’: 21).
Iblis, manusia, dan segala makhluk yang ada di bumi adalah metafora-metafora ilahiyah. Laiknya manusia yang dicipta dari bagian ruh Tuhan, iblis pun demikian: dicipta dari bagian ruh Tuhan. Laiknya manusia yang merupakan pancaran nilai Tuhan dan bagian representasi-Nya, iblis pun demikian: pancaran nilai Tuhan dan bagian representasi-Nya.
Tulisan ini bukan dalam rangka membela iblis yang oleh manusia dimusuh-musuhi dengan semangat rawe-rawe rantas, malang-malang putung, sadumuk bathuk sanyari bumi. Sebab saya pun tak punya kepentingan apapun seandainya membela iblis. Dan sumpah, saya takut jika kemudian dicap sebagai bagian dari iblis. Alasannya hanya satu: saya tak mau dijadikan musuh oleh marga saya sendiri yang bernama manusia, saya tak mau dijadikan alasan saat manusia berbuat maksiat dan berpesta dosa.
Tak lain, tulisan ini adalah dalam rangka membela nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, meletakkan kembali fitrah kemanusiaan manusia itu sendiri—jika anda terima, dan jika tidak maka berlindunglah kepada Allah dari godaan iblis yang keji.
Tapi pertimbangkan dulu yang satu ini: berlindunglah kepada Allah dari godaan hawa nafsu pribadi yang keji. Itulah, barangkali, esensi permusuhan manusia pada iblis.