SATU dasawarsa lalu, banyak orang masih bisa sesering mungkin menyaksikan panggung kesenian tradisional, baik lewat media elektronik maupun langsung di lapangan. Seiring dengan pergeseran zaman dan gaya hidup, panggung kesenian tradisional menglami kemunduran secara signifikan.Perkembangan media elektronik yang menandai pergeseran peradaban dari zaman tradisional ke zaman modern dewasa ini telah memundurkan kesenian tradisional. Kesenian tradisional yang menjadi akar budaya daerah sedikit demi sedikit musnah dari panggung pertunjukan. Sebab, realitas pasar sudah tak membutuhkan.
Arus pasar bebas yang tak terelakkan dalam kompetisi pertunjukan seni dan hiburan menyeret kesenian tradisional ke titik kemusnahan. Bagi publik, seni tradisional adalah kuno sehingga seolah-olah tak relevan lagi dengan zaman yang sedang bersenggama dengan modernisasi global saat ini.
Lenong yang menjadi kebanggaan masyarakat Betawi, misalnya, kini jarang lagi muncul di layar kaca. Aksi para dalang wayang kulit atau ketoprak yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa pun raib di balik keganasan media. Mengapa?
Kini telah terjadi perubahan konsumsi publik dan pergeseran nilai pertunjukan. Nilai panggung sebatas sebagai hiburan yang senantiasa mengaburkan pesan moral.
Masyarakat tak peduli lagi pada budaya kebanggaan pendahulu sehingga tercerabut dari akar. Masyarakat cenderung membabi buta mengonsumsi gelanggang pertunjukan media elektronik, tanpa memperhatikan nilai-nilai yang disampaikan.
Kecenderungan hiburan sebagai pengobat stres pun jadi alasan untuk mengabaikan pesan moral. Masyarakat modern yang bergulat dengan hedonisme, kini mengasingkan diri dari nilai-nilai moral yang disampaikan panggung hiburan.
Panggung kesenian tradisional terkikis habis. Bahkan tak mendapat ruang publik seiring dengan sentuhan budaya modern yang tak berpijak pada akar budaya.
Apalagi sekarang budaya banyolan pun kian menggegerkan jagat media elektronik.
Demam lawakan yang menjangkiti negeri ini merupakan bukti bahwa masyarakat sudah merasa cukup disuguhi hiburan yang bisa membuat perut terkocok-kocok.
Padahal, hiburan di media elektronik saat ini tak mengirimkan lagi pesan moral ke pemirsa. Lawakan menjadi sekadar lawak. Berbeda dari kesenian tradisonal yang menunjukkan eksistensi teatrikal penuh pesan moral.
Peran media yang begitu besar untuk menumbuhkembangkan budaya daerah dan nasional terkikis habis. Sebab, realitas pasar menuntut penyiaran hiburan yang sedang digandrungi masyarakat modern.
Tulisan ini dimuat di Harian Suara Merdeka 26 April 2007
Lihat link terkait di Harian Suara Merdeka