PERKEMBANGAN informasi yang pesat telah membuat manusia hampir tak berjarak dengan segala sesuatu. Seiring dengan itu, pintu masuk bagi budaya asing atau modernisasi kian terbuka lebar.Lambat laun eksistensi seni tradisional, akar budaya lokal yang membangun budaya nasional, makin terancam. Ancaman kemusnahan seni tradisional sekaligus merupakan ancaman bagi pekerja seni.
Karya seniman tradisional tak lagi diapresiasi secara layak oleh publik. Sebab, masyarakat global kini bergelut dengan hiburan yang lebih vulger dan kekinian sesuai dengan "jualan" media.
Tak bisa dimungkiri penghargaan sangat penting untuk dianugerahkan ke pekerja seni sebagai ukuran dapat atau tidak karya seni dinikmati. Atau, sebagai barometer baik atau buruk karya seni.
Namun, apresiasi terhadap pekerja seni tradisional kini nihil. Sebab, penikmat seni telah lari ke hiburan modern seperti budaya pop yang kini jadi tren dunia.
Padahal, "seniman juga manusia" yang butuh kesejahteraan. Namun sangat sulit bagi seniman memperoleh kesejahteraan material, bahkan sekadar untuk bertahan hidup, dari seni.
Dunia seniman mengalami kegelisahan akibat kenihilan apresiasi moral dan material. Di satu sisi, seniman harus menciptakan keindahan melalui karya sekaligus memperoleh penghidupan. Di sisi lain, seniman harus bertempur melawan arus pasar modern yang kian meminggirkan.
Tak heran jika muncul pernyataan bahwa seseorang tak akan kaya dengan jadi seniman. Cuma segelintir yang tetap jadi pekerja seni pada "zaman edan" ini. Zaman ketika manusia tak lagi mengenal jati diri. Mereka bertahan di tengah kegelisahan zaman hanya untuk nguri-uri kesenian tradisional. Kebanggaan terhadap budaya dan kesenian lokal adalah alasan bagi mereka untuk tetap jadi pekerja seni, walau hidup tanpa apresiasi layak.
Tulisan ini dimuat di Harian Suara Merdeka 23 Agustus 2007
Lihat link terkait di Harian Suara Merdeka
