Sunday, January 10, 2010

Perempuan Terjepit Listrik

0
Oleh Musyafak Timur Banua
(Harian Joglosemar 26 Agustus 2008)

Krisis listrik yang terjadi di Indonesia kini turut mengancam upaya kesetaraan gender. Mampatnya akses ekonomi bagi kaum perempuan akan melanggengkan posisinya sebagai masyarakat "kelas kedua".

Pemadaman listrik oleh PLN karena pasokannya yang terbatas tidak hanya merugikan pengusaha. Akan tetapi juga mengancam peran perempuan dalam menopang perekonomian keluarga.

Penurunan jam kerja, penurunan upah, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) niscaya menimpa buruh pabrik yang mayoritas perempuan. Di samping itu, sektor industri kecil yang digawangi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) turut melemah. Dengan demikian, listrik yang byar-pet menyunat peran perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, masyarakat, maupun bangsa.

Padahal, peran perempuan dalam menguatkan perekonomian Indonesia sangat besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002, 40 % dari 41 juta usaha kecil dan menengah dijalankan oleh perempuan.

Dari tahun ke tahun, kuantitas perempuan pelaku usaha semakin meningkat. Pada tahun 2006, 60 % UKM dijalankan oleh perempuan (Kompas, 15/05/2008).

Data di atas menunjukkan kontribusi perempuan yang cukup besar dalam membangun perekonomian bangsa. Sayangnya, kini eksistensi perempuan terjepit akibat kondisi energi listrik yang kritis.

Pemiskinan Perempuan
Ada dua hal yang menganga di depan mata, dimana secara berkelanjutan akan menghimpit posisi perempuan dalam aspek ekonomi maupun sosial. Pertama, pemiskinan perempuan yang diawali oleh pengangguran yang semakin meningkat dari golongan perempuan.

Pembatasan penggunaan listrik untuk industri besar, seperti diatur oleh SKB Lima Menteri yang diterbitkan pada 14 Juli 2008 lalu, secara langsung berakibat pada penurunan jam kerja produksi. Langkah antisipatif yang akan ditempuh industri secara praktis adalah merampingkan jumlah buruh. Pelan-pelan pekerja pabrik akan "dirumahkan", tapi pasti, PHK menunggu di depan mata.

Alih-alih untuk mengoptimalkan beban listrik, dimana industri berhadapan dengan buruh, justru SKB Lima Menteri tidak menghiraukan hak-hak perempuan sebagai pekerja/buruh. Keputusan mengalihkan jam kerja pada Sabtu dan Minggu (setidaknya dua kali dalam sebulan) jelas merugikan perempuan. Akhir pekan yang seharusnya dihabiskan untuk berkumpul dengan keluarga, dirampas kebijakan pengalihan jam kerja tersebut.

Tak sebatas itu, tersendatnya UKM karena pasokan listrik yang berkurang, akan menyempitkan lapangan pekerjaan bagi perempuan. Hal ini tentu disayangkan sebab perempuan mampu menjadi agen produksi dengan waktu produktifnya hingga 10 jam per hari.

Ditambah lagi situasi ekonomi masyarakat yang terombang-ambing akibat kebijakan ekonomi pemerintah yang semakin memberatkan. Perekonomian di tingkat keluarga (golongan menengah ke bawah) pun terguncang jika perempuan tidak bisa turut menopangnya. Artikel Perempuan di Titik Krisis yang ditulis oleh Munawir Aziz benar-benar merepresentasikan situasi perempuan yang berada di titik nadir.

Kaum perempuan tercekik oleh kenaikan harga BBM yang meroket, diiringi harga kebutuhan hidup yang melangit. Kondisi ini merupakan salah satu wujud pemiskinan bagi kaum perempuan. Karena perempuanlah yang berperan dalam menstabilkan neraca keuangan rumah tangga (Suara Merdeka, 23/07/ 2008).

Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang timpang saat ini terakumulasi dalam penderitaan perempuan yang berlipat-lipat. Apalagi berada di tengah krisis pangan dan rendahnya daya jangkau masyarakat seperti sekarang. Lagi-lagi, yang menjadi korban paling dahsyat adalah perempuan.

Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agricultural Organization/FAO) dalam Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Pangan Dunia di Roma (3-5/06/ 2008), melaporkan bahwa tingginya harga pangan menyebabkan rumah tangga yang dikepalai perempuan mengalami penurunan kesejahteraan lebih besar atau manfaat lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai laki-laki (Kompas, 14/07/2008).

Menguatnya Diskriminasi
Kedua, posisi perempuan dalam lingkup sosial akan semakin tersubordinasikan jika akses ekonomi (pekerjaan dan penghasilan) untuknya tertutup. Hal ini berkaitan dengan surutnya peran ekonomi perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan negara.

“Mati”-nya industri dan lapangan kerja perempuan, di sisi lain, adalah menutup ruang gerak kesetaraan gender. Karena, perkembangan industri (di sisi lain) telah menyerap tenaga kerja perempuan yang cukup banyak, khususnya masyarakat desa dan kaum miskin kota. Kondisi ini bisa membuka kran-kran kesetaraan peran maupun posisi perempuan di masyarakat. Ini sekaligus sebagai bentuk peralihan perempuan dari sektor domestik menuju ruang publik (Irwan Abdullah: 1997).

Menurut Widyastuti (2005), kuasa perempuan (Jawa) yang sangat tinggi dalam menopang ekonomi keluarga mampu menggeser konstruksi sosial yang timpang menuju kesetaraan peran dan posisi. Meskipun ketimpangan gender di masyarakat (Jawa) –pedesaan maupun perkotaan- sampai saat ini belum terhapuskan.

Dengan demikian, dampak negatif krisis listrik berpotensi membentuk social order (tatanan sosial) yang diskriminatif, utamanya bagi perempuan. Di dalam keluarga misalnya, jika perempuan tidak mempunyai daya “intervensi” –memberikan kontribusi- terhadap perekonomian rumah tangga, maka kesetaraan akan sulit tercipta. Karena peluang yang ada hanya cukup memosisikan perempuan sebagai kanca wingking alias 3M (masak, macak, manak).

Musyafak Timur Banua, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment