Sunday, January 10, 2010

Ancaman Pembodohan Massal

0
Oleh Musyafak Timur Banua
(Harian Joglosemar....)

Sudah menjadi rahasisa umum jika biaya pendidikan perguruan tinggi di Indonesia semakin mahal. Selain dari dampak keterpurukan ekonomi bangsa, kondisi memprihatinkan ini turut disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak membawa perubahan signifikan dalam sistem pendidikan. Ancaman utama dari mahalnya pendidikan adalah terjadinya pembodohan massal.

Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan masyarakatnya, hal ini sesuai dengan cita-cita pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Upaya pencerdasan bangsa salah satunya melalui pendidikan. Dan secara konstitusional hak mendapatkan pendidikan dijamin oleh negara seperti tertera pada pasal 31 UUD 1945.

Sayangnya, jaminan itu seakan menjadi konstitusi buram belaka. Di zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara massal seperti sekarang ini justru warga Indonesia sulit mendapatkan akses pendidikan karena faktor hambatan ekonomi. Dalam situasi seperti ini, janji pemerintah yang menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 (4) belum terealisasi secara kongret. Tahun 2007 lalu, negara hanya menjatah pendidikan sebesar 11,8 persen (90,10 triliun) dari total APBN yang besarnya 763,6 triliun. Tahun ini, agar seolah-olah negara menunaikan kewajibannya, skenario itu dibelokkan pemerintah dengan menetapkan anggaran 20 persen APBN untuk biaya pendidikan termasuk gaji guru, padahal sebelumnya tidak tercantum untuk membiayai gaji pendidik.

Lihat saja, biaya masuk perguruan tinggi sangat sulit dijangkau oleh masyarakat luas, terutama rakyat yang tingkat ekonominya pas-pasan bahkan miskin. Untuk memasuki perguruan tinggi bonafide seperti UGM, Undip, UI, atau ITB misalnya, calon mahasiswa baru harus mengeluarkan segepok uang mulai dari puluhan sampai ratusan juta rupiah.

Ancaman Komersialisasi
Bayang-bayang Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) juga menambah kekhawatiran potensi semakin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi. RUU BHP yang membawa format baru lembaga pendidikan sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) meniscayakan terjadinya privatisasi yang mengancam aksesibilitas pendidikan.

Privatisasi lembaga pendidikan secara langsung akan menyeret pengelolaan keuangan yang menggunakan capital approach (pendekatan modal). Jika orientasinya sudah pada modal, maka lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi akan bergeser menjadi lembaga bisnis.

Peran pemerintah yang sebatas sebagai fasilitator lembaga pendidikan berpotensi pada lemahnya mekanisme kontrol pada pendanaan biaya pendidikan. Sumber dana lembaga pemerintah yang disebutkan negara berasal dari hibah baik dari dalam maupun luar negeri bisa menggeser perannya menjadi lembaga investasi. Di sinilah komersialisasi pendidikan menjadi gerbang utama pembodohan massal terhadap generasi penerus bangsa.

Sebenarnya UU BHP yang menekankan asas kemandirian perguruan tinggi mempunyai sisi positif. Dengan jaminan aturan ini lembaga pendidikan ditantang pemerintah untuk turut serta berkomitmen mencerdaskan bangsa. Dengan “kemerdekaan” menentukan kebijakan keuangan, perguruan tinggi selayaknya tidak memungut biaya pendidikan dalam jumlah yang memberatkan. Tetapi, keleluasaan kewenangan ini menyimpan kerawanan yang pasti sulit dihindarkan karena sebagai akibat dari faktor ekonomi negara dan mentalitas bangsa. Yakni kebebasan untuk mematok harga pendidikan setinggi-tingginya.

Subsidi silang pun kurang ampuh menyelesaikan masalah ketidakmerataan pendidikan. Karena subsidi silang hanya bisa menjaring masyarakat dalam jumlah terbatas, padahal angka rakyat miskin yang perlu ditolong negara semakin bertambah.

Dalam hal pendanaan pendidikan, Mahasiswa jangan semata dijadikan objek pendanaan. Persoalan keuangan perguruan tinggi perlu dicarikan jalan keluarnya, bukannya mempersulit akses masyarakat untuk belajar di perguruan tinggi dengan menaikkan biaya masuk dan SPP mahasiswa baru. Perguruan tinggi semakin tidak memberikan tempat bagi orang miskin, padahal idealnya perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya anak bangsa yang cerdas dari berbagai kelas, bukan kumpulan anak orang-orang berkelas (Ibnu Chalid Bestari: 2007).

Fasilitas Mahal
Keterpurukan ekonomi rakyat yang ditandai dengan semakin melambungnya biaya hidup juga menjadi ancaman putusnya mata rantai keberlangsungan ”proses secara sadar dan terencana untuk menuju pendewasaan”. Situasi ekonomi yang payah berimbas pada produktivitas intelektual mahasiswa, meskipun secara tidak langsung.

Situasi saat ini seakan membawa kita pada masa dekade lalu di mana krisis ekonomi (moneter) menghambat langkah akademisi, khususnya mahasiswa, untuk bergulat dengan studinya karena harga fasilitas pendidikan naik sekitar tiga kali lipat. Harga kertas yang melejit naik hingga 300 persen mulai tahun 2006 sampai 1998 menyebabkan mahasiswa tidak bisa membeli buku ataupun koran. Keadaan menjepit ini membuat mahasiswa yang menggarap sedang mengerjakan skripsi terancam tertunda (Nuansa/LPM IKIP Semarang/ Edisi 93/IX/1998).

Akhir-akhir ini juga terjadi kenaikan harga kertas yang mengancam proses belajar mahasiswa di perguruan tinggi. Awal Mei lalu, kenaikan harga kertas sudah mencapai 15-20 persen, belum lagi ancaman kenaikan paska naiknya harga BBM. Selain harga buku yang akan naik, fotokopi semakin terasa berat bagi mahasiswa yang tidak bisa membeli buku. Pada bulan April, rata-rata harga satu lembar fotokopi kertas buram berkisar pada angka Rp. 70. Sedangkan saat ini sudah merangsek hingga Rp. 100 dan diperkirakan naik.

Dari situasi seperti ini masyarakat menaruh harapan besar pada kerja riil pemerintah untuk memberikan jaminan fasilitas pendidikan kepada para pelajar dengan harga murah, pemberian buku-buku gratis. Hal ini sangat membantu mengurangi beban masyrakat yang harus menanggung biaya pendidikan yang sangat mahal.

Satu lagi yang perlu diwaspadai selain pembodohan massal masyarakat adalah munculnya rumus baru di wajah perguruan tinggi Indonesia. Bahwa UU BHP yang mengusung ide kemandirian untuk mewujudkan lembaga pendidikan berdaya saing tinggi justru terjebak pada kalkulasi tarif dalam upaya peningkatan mutunya. Rumus barunya adalah: yang berkualitas yang mahal. Debirokratisasi lembaga pendidikan ini akan menjerumuskan perguruan tinggi pada pandangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus dibarengi pada pembiayaan yang mahal oleh mahasiswa.

Sudah saatnya sekolah (perguruan tinggi) menjadi basis pendidikan yang membebaskan manusia, bukan sebaliknya memberatkan terutama soal ekonomi. Jika tidak, maka apa yang dikatakan Bernard Shaw menjadi abadi: “Di muka bumi ini tidak ada satupun yang menimpa orang-orang yang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tetapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara.”

Musyafak Timur Banua, staf di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment