TULISAN di rubrik Forum Halaman Kampus (FHK) edisi 19 April 2009 sangat menarik untuk diperpanjang dalam suatu diskusi. Ya, seleksi alam memang terjadi dalam dunia kepenulisan.Setiap penulis ibarat spesies yang hidup dalam satu habitat. Siapa yang tangguh akan terus survive, sementara yang lemah akan punah. Menurut saya, seleksi alam dunia penulisan rawan terjadi pada penulis pemula yang baru mencari bentuk, membangun karakter, dan mengekplorasi ide. Pada masa-masa itu, penulis pemula belum sepenuhnya berbekal ketangguhan menghadapi tulisan yang bolak-balik ditolak atau tidak dimuat.
Acapkali mereka merasa dirinya sebagai ’’tong sampah’’. Tidak sedikit di antara mereka yang menghujat, karena tulisan-tulisan yang dikirimkannya ke berbagai media penerbitan belum pernah tayang sama sekali. Hal ini kemudian menyebabkannya malas dan enggan menulis lagi.
Dua Kemungkinan
Kemalasan dan keengganan seperti itu adalah bentuk ’’kemarahan’’ yang direpresentasikan dengan tidak menulis lagi. Meskipun para penulis pemula sadar ada dua kemungkinan saat mengirim tulisan ke media, yakni dimuat atau tidak dimuat, mereka kerapkali kecewa dan patah arang. Dalam situasi seperti itulah sebenarnya ketangguhan seorang penulis pemula sedang diuji.
Dalam menulis, marah tak harus ditumpahkan dalam bentuk perilaku yang negatif atau perilaku yang justru mengurangi kualitasnya sebagai penulis.
Sebaiknya, kemarahan itu dimanifestasikan dalam melambungkan semangat untuk tetap menulis, serta memperbaiki tulisan-tulisannya. Marah dalam hal ini adalah sikap untuk tetap mencoba, sekaligus ’’menaklukkan’’ redaktur.
Daya Hidup
Jadi, menulislah dengan ’’ma-rah’’ ! Dalam dunia penulisan memang berlaku laiknya hukum rimba: the fittest survival, atau yang kuat yang selamat. Kuat berarti tangguh menjalani liku-liku proses penulisan, serta tak mudah patah arang jika tulisannya tidak atau belum dimuat.
Daya tahan maupun daya hidup seorang penulis bergantung pada sejauhmana hasratnya dalam berbagi pengetahuan dan kebajikan dengan orang lain. Juga sejauhmana keinginannya dalam mengembangkan diri.
Menulis adalah keikhlasan mengabdikan diri pada proses penulisan. Mulai dari mencari referensi, membaca, menganalisis masalah, mengartikulasikan gagasan, hingga mengirim tulisan.
Menulis adalah komitmen untuk mengembangkan diri pada konteks ilmiah. Bukan sekadar popularitas, apalagi materi, yang menjadi tujuan utamanya. Maka, menulis tidak lain adalah ’’panggilan jiwa’’ untuk memenuhi kebutuhan intelektual seseorang.
Nilai plusnya, pengetahuan penulis makin berkembang, seiring dengan berkembangnya proses kreatifnya.
Tulisan ini dimuat di Harian Suara Merdeka 2 Mei 2009
Lihat link terkait di Harian Suara Merdeka