(Suara Merdeka 31 Januari 2009)
Jadi tidak muncul kajian kritis tentang itu. Padahal tata kelola keuangan BLU merupakan sistem alternatif di tengah desakan UU BHP yang dinilai mengarahkan perguruan tinggi menjadi lembaga komersial.
BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk melayani masyarakat berupa penjualan jasa atau penyediaan barang. Kebijakan ini diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Menyusul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, secara rinci mengatur tujuan, asas, persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan dan tata kelola BLU.
Ditelisik lebih jauh BLU bukanlah bagian dari agenda reformasi pendidikan, melainkan agenda reformasi keuangan negara. Regulasi BLU berasal dari Departemen Keuangan (Depkeu), bukan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Reformasi pengelolaan keuangan ini sesuai PP Nomor 23 Tahun 2005. Tujuannya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Adanya BLU perguruan tinggi dituntut lebih produktif melayani kebutuhan publik.
Sejauh ini tercatat 9 perguruan tinggi sudah menyandang status BLU, yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), UIN Malang, Universitas Negeri Malang, Universitas Hasanudin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Diponegoro Semarang.
Fleksibilitas Keuangan
Yang membuat banyak perguruan tinggi kepincut BLU adalah iming-iming fleksibilitas keuangan. Tata kelola keuangan ini adalah ”jalan pintas” untuk memangkas alur birokrasi keuangan negara yang (selama ini) berbelit-belit.
Keleluasaan keuangan antara lain melalui aturan BLU tidak berkewajiban menyetorkan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat ke kas negara.
Berbeda dengan sistem Perguruan Tinggi Negeri (PTN) selama ini menyetor pemasukan ke pundi-pundi negara kemudian mengajukan anggaran melalui Dana Isian Pengajuan Anggaran (DIPA).
BLU memberikan kemudahan perguruan tinggi untuk meraup ”dana segar” dari masyarakat. Teknisnya, lembaga BLU diperbolehkan memungut tarif pada setiap unit pelayanan barang atau jasa yang diberikan pada masyarakat, ini disebut tarif layanan. Kewenangan ini didasarkan pada Pasal 9 PP Nomor 23 Tahun 2005.
Buntutnya, kini banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) baik di lingkungan Diknas maupun Depag ”pasang kuda-kuda” untuk meraih status BLU. Misalnya Universitas Negeri Semarang, IAIN Walisongo Semarang, Universitas Soedirman Purwakerta, Universitas Mulawarman, dan sebagain Komersialisasi
Di balik kewenangan pasang tarif ini terdapat celah menuju komersialisasi. Apalagi jika mahasiswa turut dikenakan tarif dalam setiap pelayanan yang dibutuhkan. Padahal mahasiswa adalah bagian ”pemilik” kampus.
Ujungnya, pengelolaan pendidikan macam ini dinilai tak lebih dari akad jual-beli. Segala pelayanan yang diberikan harus dibayar oleh masyarakat, kemungkinan juga bagi mahasiswa.
Dengan demikian BLU meniscayakan peningkatan kualitas perguruan tinggi, tapi harus dibayar dengan deretan tarif demi tarif. Di sinilah perlu dipertanyakan interrelasi dan transformasi nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam setiap arah kebijakan pendidikan.
Di atas kertas, BLU memang bukan profit oriented. Tapi strategi berjangka untuk menjalankan agenda bisnis setidaknya membayangi mahasiswa akan kapitalisasi pendidikan.
Ini dinyatakan dalam Pasal 3 (7) PP Nomor 23 Tahun 2005, ”BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.” Apalagi jargon yang diusung BLU adalah enterprising university, pengibaratan perguruan tinggi sebagai perusahaan profesional itu menggunakan dalil-dalil ekonomi-akuntansi yang berlaku. Cukup mengkhawatirkan!
BLU masih mendapat kucuran APBN dari pemerintah. Di atas kertas, mahasiswa hanya menanggung 30 persen dari anggaran yang dibutuhkan, sisanya dari pemerintah dan keuntungan menjalankan bisnis. Secara struktural, BLU adalah otonomi tidak total (semiotonom).
Namun jika agenda bisnis di luar main business (bisnis pendidikan) tidak berjalan atau gagal, bukan tidak mungkin mahasiswa akan dijadikan lahan bisnis utama. Situasi seperti ini akan mengimpit ekonomi mahasiswa.
Agar tidak membebani mahasiswa BLU harus mencari agenda bisnis di luar kampus. Birokrasi yang mengelola BLU harus cerdas melihat peluang bisnis di luar mahasiswa.
Musyafak Timur Banua, pemimpin redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT IAIN Walisongo 2008-2009)
Lihat link terkait di Harian Suara Merdeka