Takluk sudah hebatku Memang kau racun
Wanita racun dunia
Karna dia butakan semua
Racun . . . racun . . . racun (The Changcuter, ``Racun Dunia``)
AKHIR-akhir ini lirik lagu itu sering terdengar. Tak terkecuali kaum remaja dan anak-anak yang gandrung musik rock-pop. Lagu ”Racun Dunia” yang menjadi hits andalan The Changcuter itu mengisahkan perempuan yang tak lebih dari racun; melumpuhkan kekuatan laki-laki. Dalam hubungan yang saling menguntungkan, cinta misalnya, sangat disayangkan perempuan ditampilkan sebagai tokoh ”antagonis”.Tak banyak yang menyadari bahwasanya di dalam lagu-lagu masa lalu maupun kini, perempuan sering dimaknai sebagai subjek yang negatif. Karena lirik-lirik lagu yang sebenarnya menstigma buruk kaum perempuan menjadi ”samar” oleh iringan aransemen musik yang menawarkan keindahan. Juga iramanya yang membuat hanyut.
Betapa menyakitkan jika perempuan (baik dalam konteks sempit maupun luas) dianggap sebagai racun dunia. Perempuan dianggap telah membutakan semua dan menghilangkan akal sehat.
Sesuai fitrah nurani maupun biologis, posisi pria dan wanita sama saja bisa menimbulkan hal positif dan negatif. Taruhlah jika memang perempuan sebagai penghalang lelaki meraih cita-cita, bukankah sebaliknya lelaki juga sangat mungkin menggagalkan keinginan besar perempuan. Apalagi lelaki menempati posisi yang superior saat ini.
Hegemoni Lagu Musik adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh getaran sebuah benda. Ritme dan nada di dalamnya merupakan keteraturan dari bunyi. Melalui keteraturan itu, musik diharapkan mencipta kedamaian dan keindahan. Tetapi dalam perjalanan mengemas keindahan itu terselip diskriminasi yang membuat subordinasi berdasarkan jenis kelamin. Maraknya lirik-lirik lagu yang mengkonstruksi hubungan laki-laki dan perempuan dengan isinya yang timpang adalah bentuk hegemoni lagu. Dalam kemasan yang anggun dan indah itu, secara tidak sadar perempuan mendukung produk ideologi patriarki dengan menikmati lagu-lagu itu. Menyedihkan. Lirik lagu yang mengandung bias gender sebagai bentuk hegemoni budaya patriarki justru sangat laku di kalangan perempuan. Lihat saja, lagu ”Dua Sejoli” (Bintang Lima, 2000) yang lahir dari grup musik Dewa 19 menyuratkan bahwa wanita harus menerima ìtakdirî-nya.
Perempuan yang digambarkan dengan kata Hawa itu tak lebih sebagai teman hidup kaum lelaki yang disimbolkan melalui kata Adam. Di akhir reff-nya lirik itu menyatakan: Renungkan sejenak / arti hadirku di sini / jangan pernah ingkari / dirimu adalah wanita. Harusnya dirimu menjadi / perhiasan sangkar maduku / walaupun kadang diriku / bertekuk lutut di hadapanmu. Lirik dalam lagu ”Dua Sejoli” jelas menggambarkan perempuan dengan khittah sebagai ”sangkar madu” laki-laki.
Keindahan dan kekayaan diri perempuan yang memang terkadang menghanyutkan hanya dimanfaatkan sebagai perhiasan yang harus tunduk kepada kaum lelaki. Secara turun-temurun, seperti ditulis dalam lagu itu, posisi subordinat itu adalah isyarat dari Sang Pencipta alias hukum alam.
Mitologi Warisan Dalam relasi percintaan, sampai saat ini perempuan dianggap sebagai ”iblis pengganggu” bagi kaum lelaki.
Perempuan akan memupuskan cita-cita besar seorang laki-laki di masa mendatang adalah persepsi kebanyakan orang, meski zaman sudah menuntut berpikir rasional.
Mungkin persepsi seperti ini tidak lepas dari warisan mitologi nenek moyang; diturunkannya Adam dari surga ke bumi oleh Tuhan salah satunya disebabkan oleh keberadaan Hawa. Bahwa perempuan adalah godaan, termasuk Hawa mempengaruhi akal sehat Adam untuk turut memakan buah Khuld.
Mitos inilah yang kemudian me-munculkan persepsi diskriminatif terhadap perempuan oleh kalangan umat Islam. Tak heran jika bila muncul adagium dalam agama tertentu, ”Mencintai perempuan adalah menghancurkan cita-cita”. Dalam banyak penafsiran, kehancuran cita-cita lelaki itu lebih menekankan perempuan sebagai biang keladinya.
Produk Tandingan Untuk menghapuskan produk-produk kesenian, khususnya musik yang bermuatan ideologi patriarki tidak lain adalah dengan menciptakan counterproduct (produk tandingan). Inilah tantangan besar bagi musisi dan penyanyi perempuan agar karya-karya yang mengusung kesetaraan gender dapat bersaing di pasar musik.
Demi terciptanya produk-produk tandingan seperti yang diharapkan, keberadaan subkultur adalah mutlak. Dalam hal ini subkultur merujuk pada komunitas perempuan yang mampu mengusung aksi feminisme.
Upaya di atas bukanlah hal mudah karena persaingan musik sampai saat ini masih dikuasai mainstream dan pangsa pasar yang dominan. Butuh dukungan banyak pihak, terutama industri musik.
Tulisan ini dimuat di Harian Suara Merdeka 18 Juni 2008
Lihat link terkait di Harian Suara Merdeka