Monday, January 11, 2010

Riwayat di Ujung Almanak

0
RIWAYAT DI UJUNG ALMANAK

Aku menghitung tanda baca
yang terserak marak
di belantara lembaranlembaran buram
korankoran yang merupa sebagai imam.

Betapa dua ribu sembilan
merenda riwayat sengketa.
Dan, tanah kita menjelma negeri tengkar.

Kita ditenggelamkan ke danau amarah
arus tikainya meluapluapkan didih darah.
Lalu, yang bersisa adalah bercak merah
di mulutmulut, di perutperut.
Apalagi?

Inilah riwayat di ujung almanak
merupa sajak luka dan lunta.

# riwayat 1:
Ada ratu lari dari sangkar
karena silang asmara di ranjang istana
yang berukiran emas dan berkasur uang.
Di tanah kita ia pulang
melembarkan peta permusuhan
antara pertiwi kita dan bumi jiran.
Bercak lama yang membelang
mendedah kembali batas tikai.
“Nasionalisme,” kata orang yang terpukau
lumpur pesona, tangisnya pula.
Tapi, pada apa kita membela?
Jikapun buruhburuh migran
tetap terusir dari kota kelahiran
dipaksa pergi oleh pembangunan
selalu tersakiti di bumi liyan
harkatnya dicabik-cabik si tuan
tubuhnya dijajah dengan harga murah.
Dan kita tak bilang apa-apa, bukan?
Sementara, nganga luka mereka
demi hanya seutas nafas
dan setanak nasi di lambung anak-anaknya.
Bernilai apa patriotisme kita
jika cinta-pedulimu tunas dari selebritas.
Dan, lupalah kita siapa pahlawan.

# riwayat 2:
Pun di tahun ini terangkat imam lama
ksatria serdadu, seperti terpilih dulu.
Tapi, seperti kita tak mengangkat janji
hingga laku belanya mengabuabu.

Lihat, pun kini ia meredup takut
antipati pada suarasuara
sumbang demi sesumbang perbaikan
yang diancar-ancar lacur sebagai pembangkangan.
Lantas kita nyata bertanyatanya
: pada apa keris pusaka membela
untuk siapa senapan diangkat
jikapun jelata tetap lunta dalam melarat.
Jadilah kita tetap ampas yang dirampasrampas
Suarasuara kita diperasperas dalam kotak mati
semata memenuhi kalkulasi demokrasi
mewujud kemenangan yang bukan kita.
Lantas siapa jaya?
Dia, dan dia, dan dia, dan dia…
Ya, mereka yang tetap tumpul dan berkarat.
Sedang kita masih lumpur hingga nyaris kiamat.
“Bukankah imam serdadu itu juru selamat?” tanyamu.
Untuk itu kita sendiri tak bisa berjawab
hanya menyilakan cuaca bertukar
sehingga kita repih dan lapuk di ruang tunggu.

# riwayat 3:
Di musim ini pula
seorang nabi yang memfirmankan risalat puisi
tanggal dijemput senja.
Burung merak liar yang bersenandung syair
sajaksajak pengingatan
puisipuisi yang kepada lupa ia melawan
sayapnya merupa jubah malaikat.
Tapi pun kita tak sempat berucap salam belasungkawa
hingga semayamnya hanya sorga sepi doa.
Sementara kita kepayang pada aktor ludruk
tergiur akan digendongnya ke manamana.
Dan, kita tak memilih terbang di sayap si merak.
Apakah sajak-sajakmu berkalung rindu
pada nabi perisalat syair itu?
Nyatanya, kita tetap mencebur samodra
katakata yang tak habishabis membual.

# riwayat 4:
Sementara cuaca masih panas
kita terjungkirjungkir pada ketidakmengertian
: dari siapa peluru revolver melubang kepala.
Kemudian kita setengah beriman
selebihnya adalah keraguraguan
pada sosok yang kita gadang sebagai pendekar.
Entahkah ayatayat konspirasi bekerja
menceburkan pahlawan pada tamat yang cacat.
Kita hanya merekareka
membiarkan mereka saling silang kata
di kening kepentingan masingmasing
Pun kita belum terang, siapa badai siapa debu.
Alihalih kebenaran hendak menjelang
kita sudah terlalu lama keliru menterjemah
keadaan yang demikian membingungkan.
Tunggulah, meja hijau akan jadi hanya juri
siapa untung siapa buntung
siapa malang siapa mengawangawang.
Tunggu saja palu itu berderak.

# riwayat 5:
Kau ingin hikayat perempuan, bukan?
Kuturuti, dengarkan!
Ia kecewa di sebuah pintu
teriaknya sumbang berkilah kesah.
Nasib tak untung, malah duka kian rundung.
Untunglah, airmatanya badai
di layar kaca ia telan sekian juta hati.
Lantas mengalir rasa kasihan
airmata berkucur, mewujud logam rupiahan.
Ini riwayat pertolongan, memang
Tanpa sadar martabat korban direcehrecehkan.
Pula amat lacur kita
uluran tangan itu replikasi syahwat semata
berarus dalam tren dan kebingaran.
Ah, anak zaman
terlalu pilihpilih
atau tak sempat memilih?
Seperti membeli mode pakaian sedang tenar
lalu kain selemari dilempar keluar.
Padahal telingatelinga belum tuli
pada gerung tangis seorang wanita
lebih renta dari perempuan pertama
nyaris sudah di batas kalah.
Ia yang mencari pintu
tanpa bisa membaca alamat.
Untuk sebuah pintu palsu
ia harus keluarkan banyak ongkos
tergesagesa dari angkot ke angkot.
Pembelaan kita jatuh pada siapa?
Kita saling tanya, tanpa setara jawab.
Nurani siapa lebih dulu berhenti
bertunas sebagai batubatu?
Sementara masih ada jutaan perempuan
berkidung bisu tentang luka dan airmata.

# riwayat 6:
Kita memang sama lapar
tapi itukah alasan untuk saling telan?
Jadilah hutan hasrat kita
demi menang dan kuasa.
Ah, yang diperjuangkan bukan apaapa
tapi mulutmulut siapa
perutperut siapa?
Jadilah mulutmu buaya
Sebab kadal tak cukup bisa menelan cicak.
Untuk itu takkan ada pemenang
tapi yang kalah adalah jelata melata
nuraninya dilebur hancur
oleh cidra-khianat para pengatur.
Mari tertawa saja
meski takkan ada luka sembuh sempurna.

# riwayat 7:
Banyak orang menyembah berhala
batu yang ditatah sebagai wajah seorang pesinggah
di kotajantungmu, di lingkar keramaian itu.
Sementara ia bukan siapasiapa di kota kita
hanya sempat kencing dan belajar mancing.
Peta perjuangan macam apa yang telah direkanya?
“Besar dan jelas sekali,” jawabmu.
Ya, tapi di tanah orang.
Ia memang nabi, tapi kita bukan umatnya
kita bukan kerumunan yang dipikul budinya
ia sempat hanya menjejak pertiwi
saat nalarnya belum tahu hitam-putih
ia belum sempat membela apaapa.
Tapi mengapa engkau pujapuja?
Pada palawanpalawan negeri sendiri kau lupa.
Anak moyang jenis apa kau?

# riwayat 8:
Ini negeri macam panggung sulap
yang merebut perhatian seruah samudera
menahan untuk tidak ke mana-mana.
Rumah uang bangkrut direkrut
utangnya dibebas dari tanggungan.
Lihatlah, ujungnya sengkarut maut.
Sementara pada perut lapar siapa menebus?
“Airmata kita yang menebus,” jawabmu.
Apa yang besok kita rebus?
“Ah, pertanyaan itu sudah membosankan
tak pernah ada jawab yang mengenyangkan,” katamu.
Maka kita puaspuaskan saja menonton pertandingan
kelahi yang dibiayai besarbesaran.
Usut punya usut
keadaan sungguh kusut
mereka sibuk mencari pembenaran
apologiapologi dan topeng penyamaran.
Biar lapar
biar gusar
menggelepargelepar
takkan ada mau mereka peduli.
Kita tonton saja ludruk dosa
sambil merapal mantra dan doadoa
: segeralah halilintar menjelang
meruntuhjatuhkan panggung tanpa pintu itu.

# benarkah takkan ada akhir riwayat
meski kita sampai di ujung almanak?
Padahal kita mencari pintu
juru kunci tak ada di tempat.
“Mereka sibuk,” terangmu.
Dengan sabar kita berdiam di muka pintu
tanpa tahu kapan membuka.
Lama kita membatu
nyaris saja menjadi batu
dan pintu itu hampir retak.
Diamdiam di antara kita ada yang tak tahan
hingga lebih ingin jadi berhala.

Lantas pada apa kita beriman?
Tak cukup percaya Tuhan
Jika di bumi sudah hilang kejujuran.
Semarang, 30/12/2009
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment