Kita pernah hidup satu waktu
hai, saudara empat.
Sayang aku tak sempat
menggambar selembar ingatan
saat kita sama bertanam
gemetar cemas di dada Ibu.
Lalu kutanya tentang kalian.
Di keningku, Ibu mereka peta
menandai alamatalamat.
Ini riwayat
ketika kita sama belum kuasa
melipat memoar di medan cinta
sementara kita nyaris merampas
nafas Ibu yang hampir terkuras.
1/
Marmati,
mengajari Ibu takut maut.
Kau sulung
si samar mati, bukan?
Rasamu ciut saat goncang di perut
untuk itu, Ibu tak lepas mendaras
serangkai mantra selamat
mengirama denyut
tanpa surut.
Demi aku tunas tuntas
dari kangkang suci meliang.
2/
Kawah,
saudara tua pembuka jalan
memecah setumbal tuban
saat nafas Ibu regang.
Jalanku,
korbanmu.
3/
Ari-ari,
saudara muda
yang suatu ruang pernah menandai kita.
Kaukah pembagi susu dan daging?
Tanpa sepamrih ingin.
Sementara tulusmu sembilan purnama
justru kau yang rela ditanam
di awal, tanpa nisan
dan menghapus alamat sendiri.
Kau, cangkang
wahai pejuang muda.
4/
Rahsa,
bungsu yang diamdiam mencuri
denyut Ibu yang air
demi syarat upacara pertama
penali dua nyawa
menginti dalam satu jiwa.
Kau menandaiku sebagai abadi
di ruang zaman, yang airmata
adalah sisa pengorbanan Ibu.
Saudara muda,
pekamu sungguh pada cinta.
Kaupulakah yang mengajari desir,
di nadi jantung
saat mataku memanah perempuanku?
Habis sudah Ibu terangkan alamat
tapi tak kutemu kalian pada indera.
Di mana kalian, wahai saudara empat?
Rindu ini padamu.
meski percakapan di hari pengorbanan
tidak tercatat hutang.
Ingin kutemu kalian
bukan untuk satu pembayaran.
Tapi temali ruh
harus kembali utuh
di hadapan Ibu
yang asuhnya sudah renta.
Ibu tersenyum,
sementara aku bingung.
"Saudara empat bertumpu di pusat,"
kata Ibu menuding pusarku.
: Mereka menjelma buas dan indah
macan, monyet, banteng, pula merak
Di mana mereka berkandang, Ibu?
: di satu pintu
di dadamu.
Tidak, dadaku tak sebesar itu!
Anakku, kata Ibu
: mereka telah lesap
mencair, mengudara, memadat,
sebagai nafasmu.
Kadang merupa taufan
hujan di lain waktu.
Kuselam denyut dadaku
dalam,
di ujung perasaan tak berbilang
di pucuk entah dan khusyuk.
Kutemu
lima debar
satu getar.
Semarang, 16/1/2009
hai, saudara empat.
Sayang aku tak sempat
menggambar selembar ingatan
saat kita sama bertanam
gemetar cemas di dada Ibu.
Lalu kutanya tentang kalian.
Di keningku, Ibu mereka peta
menandai alamatalamat.
Ini riwayat
ketika kita sama belum kuasa
melipat memoar di medan cinta
sementara kita nyaris merampas
nafas Ibu yang hampir terkuras.
1/
Marmati,
mengajari Ibu takut maut.
Kau sulung
si samar mati, bukan?
Rasamu ciut saat goncang di perut
untuk itu, Ibu tak lepas mendaras
serangkai mantra selamat
mengirama denyut
tanpa surut.
Demi aku tunas tuntas
dari kangkang suci meliang.
2/
Kawah,
saudara tua pembuka jalan
memecah setumbal tuban
saat nafas Ibu regang.
Jalanku,
korbanmu.
3/
Ari-ari,
saudara muda
yang suatu ruang pernah menandai kita.
Kaukah pembagi susu dan daging?
Tanpa sepamrih ingin.
Sementara tulusmu sembilan purnama
justru kau yang rela ditanam
di awal, tanpa nisan
dan menghapus alamat sendiri.
Kau, cangkang
wahai pejuang muda.
4/
Rahsa,
bungsu yang diamdiam mencuri
denyut Ibu yang air
demi syarat upacara pertama
penali dua nyawa
menginti dalam satu jiwa.
Kau menandaiku sebagai abadi
di ruang zaman, yang airmata
adalah sisa pengorbanan Ibu.
Saudara muda,
pekamu sungguh pada cinta.
Kaupulakah yang mengajari desir,
di nadi jantung
saat mataku memanah perempuanku?
Habis sudah Ibu terangkan alamat
tapi tak kutemu kalian pada indera.
Di mana kalian, wahai saudara empat?
Rindu ini padamu.
meski percakapan di hari pengorbanan
tidak tercatat hutang.
Ingin kutemu kalian
bukan untuk satu pembayaran.
Tapi temali ruh
harus kembali utuh
di hadapan Ibu
yang asuhnya sudah renta.
Ibu tersenyum,
sementara aku bingung.
"Saudara empat bertumpu di pusat,"
kata Ibu menuding pusarku.
: Mereka menjelma buas dan indah
macan, monyet, banteng, pula merak
Di mana mereka berkandang, Ibu?
: di satu pintu
di dadamu.
Tidak, dadaku tak sebesar itu!
Anakku, kata Ibu
: mereka telah lesap
mencair, mengudara, memadat,
sebagai nafasmu.
Kadang merupa taufan
hujan di lain waktu.
Kuselam denyut dadaku
dalam,
di ujung perasaan tak berbilang
di pucuk entah dan khusyuk.
Kutemu
lima debar
satu getar.
Semarang, 16/1/2009