(Suara Merdeka, Selasa/26/1/2010)
Tempat menjalani hukuman ini nyaris tak beda kamar hotel yang jembar, berpendingin ruangan, televisi LCD, kamar mandi shower, dan sofa luks (Suara Merdeka, 13 Januari 2009).
A Ling, perempuan terpidana narkoba seumur hidup juga dimanja fasilitas mewah. Sebuah sindiran sarkastik bagi upaya penegakan hukum dan keadilan, dua narapidana tinggal di zona super-nyaman dalam masa pemenjaraan.
Ayin dan A Ling adalah pengecualian di Rutan Pondok Bambu. Sementara tahanan perempuan lainnya hidup berdesakan di ruang sempit. Persepsi yang muncul, fasilitas di rutan bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan.
Di penjara yang seharusnya mereka diruwat dengan keprihatinan agar moralitas kembali lurus dan insyaf, justru Ayin dan A Ling hampir tak mengalami hal itu sebagai proses penempaan diri.
Kondisi memprihatinkan lain, semisal terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Paledang Bogor. Lapas perempuan itu berkapasitas 35 orang, tapi dihuni 102 orang. Praktis mereka harus berdesakan, bahkan tak jarang tidur dalam keadaan duduk, karena sempitnya ruang tahanan.
Fasilitas serbamewah yang dinikmati Ayin dan A Ling berbanding terbalik dengan kondisi lapas dan rutan yang sampai saat ini masih buruk.
Bagaimana tidak? Hampir seluruh lapas dan rutan di Indonesia saat ini over capacity (kelebihan muatan). Seperti dipaparkan Dirjen Pemasyarakatan Depkumham, kapasitas rutan dan lapas saat ini idealnya dihuni 90.835 orang, tapi terpaksa dihuni 132.372 orang.
Minimnya kapasitas rutan dan lapas, ketidaklengkapan fasilitas, buruknya layanan, ditambah kurangnya sipir menjadi pemicu buruknya pelayanan hak-hak narapidana.
Pada situasi ini, perempuan adalah objek paling rentan bahaya fisik dan psikis.
Tercatat, jumlah tahanan dan narapidana yang meninggal sepanjang tahun 2009 mencapai 778 orang.
Angka itu meningkat 28 orang dari tahun sebelumnya yang menembus 750 orang (www.kompas.com, 31/12/2009). Kondisi buruk macam ini adalah bentuk dehumanisasi hukum dan HAM yang dialami para tahanan dan narapidana.
Tahanan perempuan menjadi objek yang paling dekat dengan kerentanan tersebut. Fasilitas keruangan yang menunjang aktivitas perempuan tak terlengkapi. Ini menjadi salah satu indikator kurang terpenuhinya hak-hak perempuan.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap kondisi tahanan perempuan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tahun 2006 memperkuat persepsi tersebut. Dari 65 tahanan perempuan di NAD, Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa pihak atau lembaga yang menahan telah mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan.
Mulai kondisi ruangan, penerangan, ketersediaan air bersih, sampai layanan kesehatan reproduksi. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh tahanan perempuan yang disekap di pos-pos militer, tetapi juga terjadi di rutan atau lapas yang notabenenya lembaga resmi penahanan.
Dibedakan
Di Indonesia, tak ada perlakuan atau penambahan hak khusus terhadap tahanan perempuan. Mereka diperlakukan seperti umumnya tahanan laki-laki. Padahal, perempuan yang tingkat kekebalan tubuhnya tidak sekuat laki-laki seharusnya mendapat fasilitas akomodatif di ruang tahanan. Bahkan dalam hal pelayanan medis.
Sudah semestinya layanan kesehatan antara tahanan perempuan dan laki-laki dibedakan. Khususnya layanan pemulihan kesehatan.
Kebutuhan spesifik perempuan ini seperti pemulihan kesehatan reproduksi, keluarga berencana, pelayanan untuk kehamilan serta masa melahirkan, dan perawatan setelah mengalami kekerasan atau penyiksaan seksual.
Lebih memprihatinkan, menurut pemantauan Komnas Perempuan, aparat pelaku penahanan tidak menjalankan kewajiban melindungi tahanan perempuan. Bahkan, Komnas Perempuan menemukan kasus-kasus kekerasan terhadap tahanan perempuan yang justru dilakukan aparat pelaku penahanan.
Temuan tersebut menggambarkan bukan hanya di penjara Guantanamo yang terjadi penganiayaan dan penyiksaan. Pun di negeri ini, perilaku tidak manusiawi menimpa tahanan perempuan dan tahanan lain pada umumnya.
Manfred Nowak, pengacara hak asasi manusia sekaligus pelapor khusus PBB bidang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, melaporkan adanya perlakuan tak wajar di penjara-penjara di Indonesia.
Penjara di Indonesia, seperti laporan Nowak (www.canada.com, 21/10/2009) masuk dalam daftar ''horror'' PBB. Menurutnya, tahanan di Indonesia kurang mendapatkan makanan dan obat-obatan. Bahkan, tahanan dipaksa membayar uang harian untuk akomodasi yang diterima selama di penjara.
Semasa menjalani masa hukuman, tahanan perempuan rawan sekali tertimpa pelecehan seksual. Untuk mengantisipasi hal itu, aparat penahan di lapas atau rutan perempuan harus didominasi oleh perempuan.
Peluang untuk melakukan tindak kekerasan maupun pelecehan seksual di rutan atau lapas perempuan menjadi sempit jika aparat yang bertugas menjaga dan membina adalah perempuan.
Penyiksaan fisik yang berujung pada psikis pun menjadi momok. Mengapa? Konsep hukum kita masih memandang pemidanaan adalah hukuman. Ini bertolak dari paham orang yang bersalah harus dihukum untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya.
Karenanya, penyiksaan dianggap benar oleh aparat dengan tujuan mengubah perilaku tahanan. Dalihnya, agar sadar dan kapok. Pandangan demikian bertolak belakang dengan konsep rehabilitasi: yakni memperbaiki manusia secara manusiawi.
Sayang sekali, perhatian pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap kondisi tahanan perempuan di negeri ini masih terbilang minim. Perlu usaha bersama untuk memanusiakan tahanan perempuan.
Paling tidak hak-hak dasar dan kebutuhan spesifik tahanan perempuan terpenuhi. Karena itu, perlu tata aturan baru sebagai garis perlindungan perempuan saat di dalam tahanan. Jika tidak, rutan atau lapas tetap saja memungkinkan menjadi ''lingkaran setan'' bagi tahanan perempuan.
Musyafak Timur Banua, pemimpin umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo Semarang
Lihat link terkait di Harian Suara Merdeka