Thursday, August 26, 2010

Menghitung Bintang

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Harian Joglosemar Minggu, 25/04/2010)

Farah, anak tujuh tahun itu selalu saja meracau tentang ibunya. Mulutnya sudah teramat fasih berucap, ”Ibu kalau pulang akan membawa duit banyak. Aku dibelikan boneka, baju baru, dan mainan yang aneh-aneh.” Kuntari semata tersenyum seadanya mendengar cucunya yang selalu seperti itu; merancang angan tentang ibunya sebelum tidur. Lagi, dan lagi, yang terpercik di hati Kuntari adalah rasa ngilu dan pesakitan. Diam-diam Kuntari selalu menekan dadanya saat Farah merenda mimpi manis dengan ibunya. Dan, ketika Farah menjadi-jadi ingin bertemu ibunya, Kuntari hanya mampu menjawab, ”Ibumu belum punya banyak uang, jadi belum bisa pulang. Tunggu besok, Nduk. Ibumu bakal pulang dengan uang satu kopor.”
Farah bukan anak yang akalnya ciut lagi. Pikirannya perlahan-lahan mampu menalar ucapan neneknya yang ajeg itu. Ia bosan setiap malam neneknya berkata, ”Tunggu besok, Nduk.”

Malam ini Farah tak mau tidur di kamar. Ia merengek minta tidur di halaman rumah. Kuntari hanya bisa menuruti cucunya itu dengan segera menggelar tikar pandan. Ini bukan kali pertama anak ini tidur menentang hawa dingin yang disusupkan angin sampai ke tulang.

”Nek, bintangnya banyak ya. Kapan ya, Nek, aku bisa ke langit? Nenek sudah ke sana?”

”Nenek belum. Ibumu yang sudah. Ibumu pernah ke langit naik pesawat terbang saat pergi ke Saudi Arabia.”

Farah diam sejenak. ”Kalau begitu besok aku akan naik pesawat. Begitu sampai di langit aku akan mengambil bintang-bintang itu.”

”Ya, naik pesawat kalau ibumu pulang dari Saudi membawa banyak uang.”

Seperti biasa, Farah kemudian menghitung bintang-bintang itu. Jari telunjuknya menuding ke angkasa, mengikuti gerakan matanya menyapu pandang langit malam itu.

”Satu… dua… tiga… empat…...” ”…duapuluh......” ”…sembilanpuluh sembilan..." Lalu
Farah tertidur. Terburu-buru lelah terbujuk lelap sebelum bintang-bintang itu habis terhitung. Kuntari baru memindahkan Farah ke kamar kalau anak itu sudah nyenyak.

***

Kuntari menarik selimut yang kena ompol. Juga melucuti baju cucunya yang bau pesing itu. Sudah enam tahun Kuntari mencuci ompol cucunya. Farah ditinggal ibunya menjadi TKI ke Saudi Arabia saat usianya masih sebelas bulan. Sampai sekarang Farah masih ngompol.

Meski begitu Kuntari tetap sepenuh hati merawat Farah. Siapa lagi kalau bukan Kuntari? Toh, Kuntari cukup senang mempunyai teman bercanda. Sudah lama ia hidup sendiri. Ia janda sejak Farah berumur dua tahunan. Suaminya mendahuluinya mati.

Samuin, ayah Farah, lebih sering di tanah rantau. Lelaki seperdua baya itu kerja keras banting tulang untuk menunjang kebutuhan hidup Farah dan Kuntari.

Kerja Samuin membuahkan hasil lebih. Bulan lalu ia pulang dari rantau. Penghasilannya ditambah uang tabungan dibelikan sepetak sawah di sudut desa. Orang-orang kampung mengira itu uang kiriman istrinya yang bekerja di Saudi Arabia. Samuin dan Kuntari hanya tersenyum ketika orang-orang bilang, ”Wah istrimu habis berkirim banyak uang ya, Sam?"

Meski setelah itu, baik Kuntari maupun Samuin, membekap dada. Menekan rasa sakit yang bersemayam di ulu hati masing-masing. Betapa tidak, bergaji 900 riyal per bulan selama enam tahun, tapi istri Samuin tak pernah sama sekali berkirim uang. Dulu-dulu, ia beralasan kalau uangnya dikirimkan akan habis untuk foya-foya orang rumah. Kuntari berteriak saat itu, ”Apa? Apakah ia tahu selama ini Farah menghabiskan susu tiga kaleng tiap minggu?”

Entah, sekarang tampaknya sudah jarang ada kabar dari istri Samuin itu. Sementara para tetangga selalu bertanya-tanya mengapa istri Samuin tak kunjung pulang.

***

Samuin mendadak pulang. Padahal ia baru satu bulan di rantau. Biasanya ia bertahan untuk empat sampai enam bulan. Wajahnya kuyu, tubuhnya kelihatan agak ringkih berbalut jaket katun tebal.

”Sedang banyak pikiran, Mak. Aku ingat Farah terus.”

”Sebenarnya ada apa, Sam? Apa yang mengganggu pikiranmu hingga tidak kerasan di rantau? Tak biasanya kamu seperti itu.”

”Istri saya tidak mau pulang dari Saudi,” Samuin menghentikan pembicaraannya. Kuntari menekan dadanya yang mendadak terasa berat.

”Istriku meminta talak, Mak.”

Samuin menunduk. Mata Kuntari berkaca-kaca seketika, airmatanya roboh ke pipinya yang keriput.

”Owalah Gusti… Lakon hidup apalagi, Gusti…” ratap Kuntari.

”Benar kan ia kepincut orang Arab?”

”Katanya ia ingin cepat-cepat dinikahi majikannya di Saudi.”

Air muka Samuin tampak pasrah. Ia tak menggugat, apalagi menghujat. Kuntari mengisak dalam desah nafas yang patah-patah.

”Nista benar istrimu, Sam. Kenapa dulu kau izinkan ia pergi ke Saudi. Pantas saja sudah enam tahun ia tak pulang-pulang. Bukankah seharusnya kontrak kerjanya sudah habis tiga tahun lalu?” kata Kuntari menahan sengguk.

”Sudahlah, Mak. Jangan ungkit-ungkit soal dulu lagi. Bukankah Mak sendiri tahu istriku keras kepala. Apa Mak lupa ia mengancam akan minggat dari rumah kalau tidak diberi izin ke Saudi?”

”Nasibmu, Rah… Farah…” ratap Kuntari.

”Soal Farah nanti aku yang urus."

”Tak segampang itu, Sam! Farah selalu menanyakan kapan ibunya pulang. Kamu menganggap enteng karena jarang di rumah. Aku yang selalu gagap ditanya anakmu kapan ibunya pulang.”

***

Kuntari memandang pelas pada cucunya berjalan dengan seragam merah putihnya. Samuin baru saja pergi hendak mengurus perceraiannya di KUA. Selesai nanti surat cerai itu akan diberikan ke mertuanya. Biar mertuanya yang melayangkan surat cerai itu ke Saudi Arabia untuk keperluan pernikahan anaknya dengan sang majikan. Urusan cerai Samuin dan istrinya sudah beres.

Esok harinya, Musrini, tetangga Kuntari, pulang dari Malaysia. Galib, anaknya yang semata wayang, tergiak-giak dibawakan banyak jajan dan mainan. Farah melihat semua mainan baru yang dimiliki Galib. Farah melihat Galib begitu lengket bersimpuh di ketiak ibunya usai pisah selama tiga tahun.

Dan, entahlah, anak sekecil itu merasa hatinya amat pedih. Farah menghambur pulang ke rumah dengan menitikkan airmatanya yang masih amat bening. Di tangannya tergenggam selembar uang puluhan ribu pemberian Musrini. Orang-orang tahu kerinduan Farah pada ibunya membuncah melihat Musrini pulang.

Malam harinya Farah tidak mau tidur di kamar. Ia memaksa Kuntari menggelar tikar pandan di halaman rumah.

”Aku ingin menghitung bintang, Nek!”

”Tapi, Nduk… Langit sangat gelap. Tak ada bintang malam ini. Ayo kita tidur saja.”

”Ada, nenek jangan bohong!”

Samuin turut serta menduduki tikar pandan itu. Farah telentang menghadap angkasa. Sementara Kuntari dan Samuin duduk menyebelahinya. Jari telunjuk Farah masih menuding-nuding, mencari-cari bintang di sela-sela mendung hitam.

"Satu… dua… tiga……" "…sepuluh…" "…duapuluh satu……." Farah terus menghitung. Padahal hanya ada satu bintang yang tak terhalang mendung. Ya, satu bintang itu pula yang dihitung Farah hingga puluhan kali. Dada Samuin terasa memar lantaran menangkap isyarat bahwa jalan pikiran Farah amat merindu ibunya.

Farah lelah berhitung. Melintas diingatannya dekapan hangat Musrini pada Galib siang tadi.

”Galib enak ya, Nek, ibunya sudah pulang. Kapan kopor ibu-ibu penuh uang?”
Kuntari tergeragap. Sementara ujung lambung Samuin yang berbatasan dengan dada serasa dilipat-lipat, diremas-remas. Perih.

”Aku sudah lelah menghitung bintang. Kenapa ibu tak pulang-pulang.”
Samuin mendenguskan nafas. Kuntari mengusap sudut matanya yang basah dengan jarik yang membelit tubuhnya.

”Ibumu sudah mati, Sayang,” kata Samuin tiba-tiba, sembari tangannya mengusap kepala Farah.

Kuntari terperanjat mendapati Samuin bicara ngawur macam itu.

"Sam!"

"Benar, Nek, ibu sudah mati?"

Kuntari meraih Farah dan memasukkan anak kecil itu dalam ketiaknya. Farah mengisak dengan desahan nafas yang membata-bata. Toh, isak tangis anak itu akhirnya meraung juga.

"Ya. Benar," kata Samuin, matanya menyala-nyala. "Ibumu sudah mati di Saudi, dikubur di sana."

Lalu, anak sekecil itu harus merasai ulu hatinya dicincang pedang. Hati sejernih itu timbul tenggelam dalam ketidakmengertian. Kepolosannya tidak bisa menalar kebenaran yang dihadapkan padanya. Tak ada lagi bintang yang bisa dihitung Farah.

Soeketteki, 2009
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment