Thursday, August 26, 2010

Nisan yang Hilang

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Harian Joglosemar, 25/07/2010)

Kepulangan Gothe pada minggu ketiga bulan Desember ini disengaja. Menjelang Natal, dia ingin ziarah ke makam ibunya. Sudah tiga tahun belakangan dia tidak mengunjunginya. Di Paradise, sebuah pekuburan di sisi pusat kota kelahirannya itu, Gothe kerap menyelenggarakan kunjungan beserta doa-doa agar arwah ibunya bahagia di alam keabadian. Rutinitas itu dilakukannya sekurang-kurangnya tiap sebulan sekali, setelah kematian ibunya, tujuh tahun silam.

Tiga tahun lalu Gothe memutuskan pergi menyeberang pulau untuk sebuah pekerjaan. Karenanya dia tidak bisa menziarahi makam ibunya. Kini, rindu. Dan Gothe harus menebusnya sebelum perayaan Natal nanti. Dia sudah merencanakan sebuah karangan bunga istimewa buat ibunya. Satu karangan bunga terbesar yang pernah dihadiahkan pada ibunya.

Gothe juga berencana menemui pamannya yang tinggal sebatang kara di kota. Dia menaruh hormat dan budi kepada kakak ibunya itu. Sebab pamannya sangat berjasa dalam kehidupan keluarganya. Dalam soal ekonomi, Gothe banyak terbantu oleh pamannya itu.

Gothe berjalan menyisir di antara barisan nisan. Langkahnya menuju penjuru tenggara area pamakaman Paradise. Sekali-kali, dia tidak pernah lupa di titik mana makam ibunya. Karangan bunga yang cukup besar itu diselipkan di ketiaknya.

Pada titik yang dia yakini sebagai makam ibunya, Gothe tiba-tiba kebingungan. Tak ditemuinya makam ibunya. Nisan bertuliskan nama ibunya yang selama ini menjadi penanda rumah orangtua tunggalnya sejak kecil itu benar-benar tiada.

Gothe menimbang kesadarannya, bertanya pada diri sendiri, benarkah makam ibunya di sudut tenggara pemakaman umum itu. Gothe meyakinkan diri bahwa dia tidak salah ingat, makam ibunya berada di titik terjauh dari pintu masuk pemakaman. Karena saat kematian ibunya, Gothe tidak punya cukup uang untuk menguburkan ibunya di kaveling depan (dekat dengan pintu masuk) yang harganya lebih mahal ketimbang kaveling belakang. Tapi keyakinan Gothe kembali patah ketika dia membaca sederetan nama yang tertera di barisan nisan di sekelilingnya tidak tersua nama ibunya.

Mungkin aku salah tempat, pikir Gothe. Dia berdamai dengan pikirannya. Lalu dia berjalan menuju barat daya dengan rasa waswas yang menyemut di dalam dirinya. Sampai di sudut itu, tubuhnya melemas. Tenaganya seperti dipeloroti oleh getaran-getaran rasa takut dan curiga yang riuh di dalam benaknya.

Gothe berjalan sempoyongan bolak-balik dari sudut tenggara ke barat daya. Namun tetap saja dia tak menjumpai makam ibunya. Sebuah karangan bunga terlempar ke tanah sepi di sisi pintu masuk pemakaman. Kelak, karangan bunga itu memar selama berhari-hari sehingga kering.

Gothe berada di Kantor Pemasaran Pemakaman Paradise. Di sana dia menemui seorang pegawai yang tugas sehari-harinya melayani orang-orang yang hendak membeli sepetak tanah kuburan buat sanak-familinya.

”Apa yang bisa saya bantu, Tuan?”

Gothe menaut wajah pegawai itu dengan tatapan sinis. Namun pegawai tetap menunggu jawabannya dengan raut ramah.

”Saya butuh penjelasan tentang makam Nyonya Maria Jasmine, Ibu Saya.”

”Adakah masalah yang menimpa makam Ibu Anda?”

Pegawai itu segera membuka buku catatan inventarisasi kaveling makam. Dia mencari nama Maria Jasmine di antara ribuan daftar nama.

”Ya! Makam Ibu Saya tidak ada lagi di Paradise!” jawab Gothe dengan tetap berusaha mengendalikan diri.

Pegawai itu tidak terkejut sedikit pun atas jawaban Gothe. Kasus demikian sudah sering dilampauinya. Sesaat kemudian pegawai itu menemukan nama yang dimaksud.
Sebuah tulisan nama yang telah diberi tanda silang di nomor urutnya. ”Maaf, Tuan, makam ibu Anda telah digantikan oleh orang lain.”

”Apa sebab hingga pihak pemasaran Paradise melakukan hal ini?!” nada Gothe meninggi. Tampak semburat matanya memerah.

Pegawai itu tetap tenang. ”Pihak kuasa tidak bisa membayar retribusi selama dua tahun terakhir. Adalah Tuan John Murquez yang memiliki kuasa atas makam itu menyatakan tidak sanggup lagi memenuhi biaya pajaknya. Kami terpaksa mencabut nisan mendiang Nyonya Maria Jasmine. Setelah itu ada orang membeli kaveling di titik itu.”

Gothe lemas. Pegawai itu memperlihatkan surat resmi berkenaan pencabutan nisan yang berarti tak ada hak lagi di Paradise untuk makam ibunya.

”Mengapa pihak pemasaran tidak memberitahukan tindakan ini kepada saya?” tanya Gothe dengan nada lemah. Pelas.

Dengan agak bersimpatik, pegawai itu menjawab, ”Maaf, kami sudah memberitahukan kepada Tuan John Marquez atas tindakan ini.”

Gothe mengendalikan diri sekuat-kuatnya. Dia memeram panas di dadanya yang seolah dituangi bara api. Namun tenaganya terbekukan oleh ketidakberdayaan dirinya menerima kebenaran itu.

”Sebentar, saya ambilkan nisan dan tulang-belulang Ibu Anda. Masih kami simpan rapi di gudang. Anda bisa membawanya nanti.”

Tubuh Gothe terasa sunyi. Tapi pikirannya serupa layang-layang yang terbang resah dan tak keruan oleh terpaan angin yang kencang. Serta perasaan marah, Gothe berniat menemui John Marquez, pamannya, yang dirasanya terlalu gegabah dengan tidak mengupayakan biaya retribusi makam ibunya dengan sungguh-sungguh. Sempat melesat di pikirannya hendak menghajar pamannya itu.

Sesampai di sebuah rumah kecil, Gothe merasa asing, selain dia tidak menemukan tanda-tanda Marquez berdiam di rumah itu. Gothe mengetuk pintu dengan ramah. Tampak sekali dia begitu memperhitungkan seandainya dirinya salah alamat.

Seorang perempuan setengah baya membukakan pintu untuknya. Gothe sempat berpikiran macam-macam ketika menatap perempuan yang menurut ukurannya cukup cantik itu. Disangkanya perempuan itu adalah istri baru Marquez. Atau, sekali-kali, perempuan itu adalah perempuan simpanan Marquez. Namun Gothe menepis pikirannya sendiri.
Rasanya tidak mungkin kalau Marquez yang sudah tua dan beruban penuh itu bisa mendapatkan perempuan secantik ini, pikir Gothe.

”Nyonya, apakah Anda tahu Tuan Marquez yang mendiami rumah ini?”

”Maaf, Tuan, Tuan Marquez sudah tidak tinggal di sini. Setahun lalu kami membeli rumah ini. Konon Tuan Marquez saat itu sangat butuh uang untuk pengobatannya,” jawab perempuan itu seraya tersenyum.

Gothe kembali menemukan kesunyian. Rasa marah yang sedari tadi berkecamuk di dalam dirinya kini baur. Menjadi perasaan yang entah. Tepatnya kekhawatiran dan ketakutan yang makin patgulipat.

Malam lalu, Gothe pergi menemui teman-teman sepantaran Marquez di sebuah bar yang dulu Murquez sering menghabiskan waktu di sana. Hampir tiap malam, sepulang kerja Marquez minum-minum dan merokok di sana. Seraya berbincang dengan kawan-kawannya yang kebanyakan para duda. Sebagian dari mereka adalah pemburu perempuan-perempuan muda. Namun Marquez sendiri lebih tergiur oleh perempuan seusianya. Karenanya Marquez rela separuh uang penghasilannya habis untuk bersenang-senang dengan seorang janda baya di kota itu. Sebenarnya Marquez pernah menawarkan diri untuk menikahi perempuan itu, namun dia ditolak dengan sebuah alasan pernikahan akan membuat diri saling terkurung. Meski begitu, baik Marquez dan perempuan itu selalu menikmati gairah bercinta selama beberapa waktu setelahnya. Sebelum kemudian perempuan itu menderita penyakit neurosis.

”Coba temui pamanmu di Panti Heaven City. Moga dia masih ada di sana,” kata lelaki bercambang lebat dan putih. Lelaki itu adalah teman dekat Marquez.

Natal di Heaven City tidak begitu bergairah. Tak ada lampu hias yang gemerlapan. Kecuali hanya lilin-lilin yang dipasang menyisi di kanan-kiri jalan masuk. Pohon natal pun sedang-sedang saja.

Gothe mendapati seorang lelaki lanjut duduk di gazebo pelataran panti. Tampak lelaki itu sedang termenung. Entah, mengapa lelaki itu cerai seorang diri. Sementara di teras panti terbentuk sebuah kerumunan yang sedang melakukan doa bersama. Dilihat dari perawakannya, Gothe yakin lelaki itu adalah Marquez.

Benar! Gothe menatap wajah pamannya itu sesaat dia sampai di hadapannya. Di mata Gothe, Marquez telah digerogoti oleh penuaan yang begitu ganas. Keriput di muka lelaki tua itu kian menegas. Pula tubuhnya yang makin kurus dan kering. Tak mengherankan sehingga wajah Marquez terlihat kuyu dan layu. Ringkih.

Namun tidak ada tanda-tanda Marquez hendak menjawab teguran Gothe yang sudah diulang dua kali dengan nada girang. Lelaki tua itu justru bergeming dan sibuk menggambar sesuatu di secarik kertas yang berbekas lipatan-lipatan sehingga kelihatan lusuh. Dengan agak memaksakan diri, Gothe mengguncang-guncangkan tubuh lelaki tua itu. Namun Marquez tetap bergeming.

“Percuma saja, Tuan. Dia sudah hilang akal dan ingatan,” kata seorang perempuan muda berseragam perawat yang tiba-tiba berada di belakang Gothe, serta menepuk bahunya.
Gothe tersentak. Betapa dia tidak pernah mempersiapkan diri untuk menerima kebenaran demikian.

Seraya mematung memandangi Marquez yang tidak menampakkan perubahan air muka, Gothe menyontek kertas yang sedang diarsir oleh lelaki itu dengan pena. Gothe melihat gambar makam lengkap dengan sebuah nisan yang tegak di atasnya. Nama Maria Jasmine tertulis di gambar nisan itu.

Mei 2010
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment