Thursday, August 26, 2010

Cerita Pernikahan

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Jurnal Bogor 25/07/2010)

MENDADAK aku menjadi laron yang berpusing-pusing di kitar lampu seribu watt. Dengan sayap nyaris terbakar. Hendak jatuh dan rebah di tanah. Rasanya kedua sayap mau tanggal. Kiranya!

Begitu juga Sum, istriku.

Sum memang masih istriku. Setidaknya sampai hari ini. Entah dua hari lagi ketika hubungan suami-istri yang telah sah sejak tiga tahun silam akan diputus ulang oleh hakim Pengadilan Agama di kota kelahiranku. Ah, bukan hakim yang memutuskan! Tetapi tata hukum yang dialasi perundang-undangan formal dengan konsekuensi sanksi. Meski pada kasusku dan Sum, kelak bukan putusan sanksi pemenjaraan.

Di meja makan, aku bergeming. Tetapi mataku terus terpaut pada wajah Sum yang ranum. Tapi kesegaran telah berguguran dari raut mukanya. Melainkan aura pucat yang berlipat-lipat. Sementara Sum sibuk menuang nasi ke piring yang lalu diangsurkan mendekat hadapanku dengan seolah menampikkan pandangan dariku. Tanpa bicara Sum mendahului makan. Karena aku sendiri tidak segera mengawalinya.

Harusnya sup bakso membuat selera makanku meninggi. Sum tahu persis masakan kesukaanku, hingga malam ini ia memasak menu favorit ini untukku. Lengkap tempe goreng dan sambal terasi.

Tapi lidahku begitu tawar. Mungkin juga Sum merasai hambar pada masakannya sendiri. Baru beberapa sendok kutelan, rasa sup terasa jadi sangat asin. Seolah yang kulahap adalah airmata Sum. Bukannya sambal memedas di lorong usus atau kantung lambung. Tapi menusuk-nusuk pedih di ulu jantung.

Dan tiba-tiba saja perutku terasa penuh. Padahal nasi masih setengah menggunung di piring. Aku harus menghabiskannya, pikirku. Demi tidak menambah kesedihan Sum. Setelan demi setelan, terasa kian empedu yang melewati rongga kerongkonganku.
Usai makan, Sum masuk kamar. Tapi aku mengempaskan tubuh di sofa ruang tamu. Lalu tenggelam di pikiran-pikiran yang melintas di batok kepala tanpa bisa kukendali. Adalah bayangan esok hari yang menyeramkan. Sebuah kemungkinan yang hampir pasti-yang tidak pernah kami perhitungkan selama memutuskan menikah. Aku dan Sum harus bercerai. Tepatnya diceraikan!

Pelan-pelan, lemas di badan tak bisa kutampik. Dan Sum?

Kulihat tubuh Sum rebah menyamping dengan bantal tertindih di peluknya. Gaun tidurnya tersingkap dan menampakkan betisnya yang pualam. Kelelakianku berdebar. Mengalahkan kecemasan yang tadi berkecamuk.

“Baiknya jangan lagi kamu menggauli istrimu, Wan. Lebih baik tidak melakukan hubungan suami-istri selama ikatan perkawinan menjadi syubhat-samar-samar. Bisa-bisa hubungan itu menjadi sebuah perzinahan.”

Ucapan Haji Karim, pemuka agama di kampungku, dua hari lalu itu begitu saja melintas di ingatan. Seolah menjelma bendungan besar yang menahan gelombang kelelakianku. Bukankah nasihat itu tidak beda dengan sebuah putusan hukum yang melarangku? Paling tidak, putusan yang dinalari dengan dalil-dalil sah, tapi dijatuhkan dengan cara tidak formal.

Aku rebah melentang di samping Sum. Lalu Sum membalik badannya hingga miring menghadapku. Sekian waktu kami bertatapan. Dadaku seperti runtuh pelahan-lahan melihat mata Sum yang memeram sesuatu yang amat berat. Mata yang kelelahan memendam pelbagai pertanyaan soal rumah tangga. Mata yang akhir-akhir ini menjadi entah. Rancu dan resah!

Tanpa banyak perhitungan, aku dan Sum menggeliat. Lalu kudapati kami tengah bercumbu. Sempat terpekik lenguhan kecil. Namun tiba-tiba kulihat airmata Sum meleleh. Mendadak rasa getir yang berbuah dari percumbuan. Seperti kami saling mencucupi dan menjilati luka.

Lantas aku dan Sum dengan tidak sadar membuat jarak, makin menjauh, sekalipun berkelindan asa untuk saling merengkuh, sebelum kemudian tangis seorang bayi memecah hening yang tercipta di antara kami. Tempurung kepalaku yang padat sedikit mencair oleh tangis bayi itu. Sum bangkit menyusui Bila-Salsabila putri kami yang baru berumur enam bulan tujuh belas hari.

Melihat Sum menyusui Bila, kecamuk cemas kembali menyergapku. Bukankah gara-gara susu-menyusui kita terancam cerai, Sum?

“Andai, waktu kau kecil tak sekali-kali menyesap susu ibuku, Sum…”

“……”

***

KETIKA usiaku sekitar enam tahun, adik perempuanku lahir. Sum yang saat itu berusia empatbelas bulan sering ditinggal ibunya berjualan di pasar. Mbah Dinah, nenek Sum, dipercaya untuk memomongnya. Dalam mengasuh Sum, janda tua itu kerap mengajaknya keluar rumah, termasuk ke rumahku. Saat Sum rewel dan menangis, ibuku tak segan menggendongnya. Jika gendongan tak mempan menenangkan Sum, ibuku lantas menyusuinya.
Memang begitu kebiasaan di kampungku. Seorang anak yang ditinggal ibunya bekerja bisa mudah mendapat susuan dari tetangga yang dalam masa menyusui. Kebiasaan yang terjadi secara alami. Banyak ibu tak tega melihat bayi menangis ketika ditinggal ibunya hingga merasa terpanggil memberikan susunya.

Aku tidak tahu persis kejadian itu. Andaipun dulu pernah melihatnya, mungkin aku sudah lupa. Namun cerita Wak Tipah-yang saat itu juga memomong anaknya dan sering main ke rumahku-beberapa hari lalu bisa kupercaya. Ibuku sendiri mengakuinya.
Demikianlah sehingga Sum terbilang sebagai anak radla’ atau saudara sesusuanku. Boleh juga dikata anak sesusuan. Saudara sesusuan termasuk orang yang haram dinikahi.
Kini aku merutuki cerita itu. Begitu juga Sum, tampak menyalahkan masa kecilnya yang terjadi begitu saja. Lantas kupandang keliru pada perilaku Wak Tipah yang baru menegur setelah tiga tahun kunikahi Sum hingga lahir si Bila yang mengukuhkan aku sebagai lelaki jantan itu. Apalagi aku sedang senang-senangnya setelah sekian tahun menanti kedatangan anak.

Ah, tidak cuma Wak Tipah yang salah. Bahkan ibuku sendiri yang secara langsung menyusui Sum harusnya tidak pernah lupa. Bahwa pelupaan macam ini akan berakibat sangat fatal bagiku dan Sum. Juga Bila, entahkah dia akan menjadi anak ternista karena kesalahan ini. Pada akhirnya aku sendiri tidak puas terhadap orang-orang sekitar. Hingga satu per satu dari mereka kuanggap salah dan harus turut menanggung akibat.

***

SIDANG digelar pagi ini. Sebenarnya, tanpa sidang pun aku dan Sum bisa memastikan pernikahan kami difasakh-dibatalkan atau dihapus.

“Ya, aku memang pernah menyusui Sum, menantu saya,” terang ibuku.

“Mengapa Anda tidak melarang pernikahan saudara Wandi dan Sumiyati?” hakim tampak mendesak.

“Saya lupa. Ah, sebenarnya saya tidak tahu kalau hal begitu tidak diperbolehkan oleh agama. Sebab di antara ibu-ibu di kampung saya tinggal, itu biasa, Pak!”

Setelah ibu memberi kesaksian, ganti Wak Tipah dikorek keterangan. Orang-orang di ruang sidang ini makin jelas memeperkirakan apa hasilnya. Sementara Sum diam. Kepalanya menunduk. Kulihat airmatanya sempat leleh.

“Saya yakin, Sum lebih dari lima kali disusui Mbok Dar,” kata Wak Tipah menjawab pertanyaan hakim.

Bila menangis di gendongan ibu mertuaku. Suasana menjadi hening ketika itu. Semua perhatian tertuju pada Bila. Mendengar tangis itu, ulu hatiku seperti dirajam. Serta merta Bila menempati porsi paling besar di pikiranku.

“Betapa malang nasibmu, Bila. Jika ketuk palu sang hakim nanti menceraikan orangtuamu,” ratapku dalam hati.

Bila diam setelah ibu mertuaku memberinya susu lewat kaleng dot.

***

“AKHIRNYA, demi tegaknya hukum dan syariat Islam, pengadilan memutuskan fasakh. Pernikahan saudara Suwandi dan saudari Sumiyati dihapus atau dibatalkan. Dengan demikian, mulai saat ini status keduanya bukan suami-istri lagi.”

Hakim mengetukkan palu. Derak suara tiga kali itu sontak meruntuhkan pancangan gunung di kedirianku. Barulah Sum tidak bisa menyembunyikan tangis yang sejak tadi ditahan-tahan.

Sidang yang menceraikan kami telah sempurna. Pengunjung dari kalangan tetangga dan kerabat membubarkan diri dengan pandangan mengiba padaku, juga pada Sum.
Bila begitu anteng berada di gendongan Sum. Betapa batinku amat pelas dan tidak tega melihat anak sekecil itu harus menanggung beban hukum orang-orang dewasa.

“Sum, aku ingin menggendong Bila,” pintaku.

Sum mengecup kening Bila sehingga kulitnya memerah tertekan hidungnya. Tampak bercak bening di kening Bila yang ternyata tetesan airmata Sum.

Sum memberikan Bila padaku. Kutimang-timang Bila dengan gerakan yang agak canggung dan galau.

“Kang, sungguh aku masih mencintaimu. Sungguh…” kata Sum pelan.
Sum mengisak.

Kutatap matanya dalam-dalam. Sum juga menautkan matanya beberapa saat tepat ke mataku hingga kami saling meneliti.

“Tapi apa kuasa cinta kita di hadapan hukum? Syariat agama itu? Kita sudah kalah di hadapan dalil megah itu. Ah, sebenarnya Bila yang kalah telak dalam soal ini. Bagaimana kelak ia menerima ini sebagai kekeliruan kita yang abadi, meski ini tidak kita sengaja.”

“Mengapa, Kang? Tuhan tidak berbicara apa-apa saat palu hendak diketok hakim? Patutnya kita harus tetap dihukumi suami-istri demi Bila. Mengapa tak ada siasat arif untuk kita dan Bila?”

“Ujung palu lebih berkuasa dari segalanya, Sum.”
Tiba-tiba Wak Tipah berjalan sempoyongan ke arah kami. Matanya menyala merah.

“Maaf, Sum! Aku terlalu dungu memberitahukan persoalan ini. Baiknya kutanggung sendiri ketahuanku tentang Sum dan susu yang pernah disesapnya dari ibumu, Wan. Demi kebaikan kalian, baiknya aku tak menguak cerita ini, bukan?”
Wak Tipah menangis. Tambah pedih hatiku.

“Baiknya kalian tak bercerai. Sebab Tuhan sangat membenci cerai. Berlapis-lapislah dosaku menyebabkan amal yang dibenci Allah ini, Sum!”

***

MESKI sudah tidak serumah, tapi masih setiap hari kulihat Sum dan Bila. Tiap kali, aku dan Sum masih saling bercuri pandang seraya memendam rasa masing-masing. Justru rasa luka yang kian dalam ketika melihat Sum. Sakit yang selalu mendekatiku. Itulah yang membuatku tidak kuat hingga pergi meninggalkan kampung halaman. Aku bertaruh di kota perantauan masa muda dulu. Demi perasaanku menjauh dari Sum. Demi perlahan melupakan kenangan tentang perkawinan yang kandas akibat susu masa lalu itu.
Tiga bulan di perantauan, kudengar kabar dari seorang tetangga bahwa Sum meninggalkan kampung. Orang-orang, bahkan keluarganya sendiri, tak tahu ke mana Sum pergi. Jantungku meneratap.

Sepertinya aku harus mencarimu, Sum…

Mei, 2010
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment