Friday, December 10, 2010

Cermin

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Harian Joglosemar Minggu 29/08/2010)


SETIAP kali bangun tidur, yang pertama-tama saya cari bukanlah air putih untuk membasahi tenggorokan yang kering. Tidak pula saya terbirit-birit ke kamar mandi untuk buang hajat kecil yang sekian waktu tertahan di kandung kemih.

Cermin. Cermin. Dan cermin!

Ya, cermin. Benda itu amat berharga dalam hidup saya. Tanpa itu, mustahil saya bisa yakin pada keberadaan diri saya.

Ke manapun pergi, benda itu harus saya bawa. Entah di tas yang senantiasa mengampai di ketiak. Atau, jika saya tidak membawa tas, maka kaca kecil harus dipastikan ada di dompet.

Matahari pagi ini sudah menanjak tinggi. Tapi saya nyaris tidak peduli. Padahal ini hari Senin, jalanan tentu akan sangat padat. Mustinya saya berangkat kerja lebih pagi.

Saya masih berlama-lama berhadapan cermin!

Tentunya, seperti biasa saya tersenyum sendiri di hadapan kaca yang memantulkan citra saya. Pun citra itu tersenyum pada saya.

Ow, cantik benar rupa saya. Kecantikan yang sempurna, pikir saya.

Tambah hari, makin saya yakin, tampang saya benar-benar memuaskan. Dan diam-diam, saya menobatkan diri sendiri sebagai perempuan paling cantik. Benar-benar saya sering mengatakan soal itu tiap kali bercermin.

***

SAYA lebih memilih mengendari sepeda motor. Ketimbang naik bus kota yang sumpek dan pengap. Dan yang lebih menyenangkan bagi saya adalah spion sepeda motor. Hingga saya memasang spion yang lebih besar dari aslinya. Agar setiap waktu saya bisa menyontek wajah sendiri dari kaca spion itu.

Kedua spion di sepeda motor saya tidak sempurna menghadap arah belakang. Tapi spion itu saya arahkan tepat ke wajah saya. Jadilah spion bukan alat bantu melihat situasi jalan di belakang saya. Melainkan cermin bagi saya.

Spion itu, berkali-kali memastikan pada diri saya bahwa saya masih benar-benar cantik selama di perjalanan. Meski kadang, saat perjalanan pulang, wajah saya agak suram dengan balutan debu dan keringat.

“Kamu tetap cantik.” Seolah spion mengatakan hal itu pada saya berkali-kali—ah, sebenarnya saya sendiri yang selalu mengatakannya.

Jalan yang ramai memaksa saya berkendara pelan-pelan. Pikir saya, ini sebuah kesempatan untuk lebih sering memandangi muka saya di spion kanan-kiri.

Karena itulah pikiran saya tidak sepenuhnya terpusat pada jalan. Hingga ketika saya tengah menyalip bus kota yang melambat di depan sebuah halte, saya tidak tahu di belakang ada pengendara sepeda motor yang lebih dulu berupaya mendahului. Saya yang saat itu sedang menyerong terlalu banyak, akhirnya…

“Brakk….”

Tubuh saya terpental beberapa meter. Dua motor masih bergerak dan terseret di muka aspal. Orang-orang melambatkan kendaraan masing-masing. Mereka berhenti demi menyaksikan kejadian setengah ngeri ini. Tepatnya mengejutkan!

Sesegera jalan menjadi sebuah kerumunan besar. Tak ada lagi yang melanjutkan perjalanan. Kecuali melihat saya yang sedang dipapah beberapa orang lelaki untuk ditepikan. Saya lihat motor yang tadi terseret juga dipinggirkan orang-orang.

“Ayo cepat bawa ke tepi jalan. Sebelum polisi datang, urusannya nanti jadi runyam!” kata salah seorang dari mereka.

Saya melihat betis saya yang lenjang berbilur-bilur merah dan biru. Lutut saya berasa perih. Ada darah merembes dari sebalik kain celana. Saya lantas menjadi sangat gentar andai terjadi luka serius di tubuh saya. Saya geragapi seluruh tubuh: masih utuh.

Saat itu saya menyadari pandangan orang-orang terpusat kepada saya. Lalu yang mendadak saya khawatirkan adalah wajah saya yang belum saya periksa keutuhannya.

Lantas saya menutup wajah dengan dua telapak tangan.

“Aduhai wajah saya, wajah saya, wajah saya…”

Orang-orang mengernyitkan dahi melihat saya. Sementara saya masih dicekam rasa takut yang amat—andai ada cacata di wajah saya.

“Sinting!”

“Dasar gila!”

Saya dengar orang-orang mengumpat dengan kata sedemikian. Entah apa maksudnya. Lalu per satu mereka enyah dari kerumunan seraya menatap saya dengan penuh kecurigaan.

***

OLEH kecelakaan itu, saya hanya sedikit lecet-lecet di beberapa bagian tubuh. Tidak cukup menyakitkan. Tersebab wajah saya masih utuh seperti sediakala. Dan tetaplah, di hadapan cermin saya merasa sebagai wanita paling cantik. Sungguh, kecantikan ini bahkan makin memancar!

Lihatlah, mata saya putih bersih. Di tengahnya melingkar sebuah cincin hitam yang cemerlang, berkilauan. Tiap kali saya tersenyum, terbit dua buah cekungan indah di pipi kanan-kiri saya. Oh, betapa bak pauh dilayang. Hidung saya yang runcing dan tidak lebar sangat mendukung tekstur wajah saya yang oval.

Kini kian sempurna kepercayaan diri saya ketika dinding di seluruh kamar saya lapisi kaca. Tiap-tiap saya memandang, yang terlihat adalah diri saya. Sebuah kepuasan yang makin meruah di dalam diri saya. Sepertinya saya selalu mendapati orgasme luar biasa saat memandangi kaca-kaca yang dapat menangkap bayangan saya.

***

SEBUAH pagi yang celaka! Dinding-dinding kamar menggambar citra saya penuh kecacatan yang tidak terperikan. Serta-merta saya sangat tidak percaya pada diri, bahkan menganggap diri sebagai orang lain, ketika terlihat wajah saya coreng-moreng sebagai bekas cakar di wajah, leher, lengan, bahkan seluruh tubuh.

Saya kira, dinding-dinding kamar yang menjadi cermin kebanggaan saya itu sedang berbohong. Lantas saya beralih ke sisi dinding yang lain. Tetapi bayangan wajah saya justru lebih mengerikan ketimbang sebelumnya. Bekas cakar itu tengah menjadi barutan-barutan luka yang mengerikan. Lebih persis dikatakan sebagai bekas sayatan-sayatan pisau yang runcing nan tajam.

Selain ragu pada diri sendiri, saya tetap menaruh curiga pada cermin. Pada momentum ini saya merasa benar-benar asing pada keadaan. Juga pada perasaan saya sendiri yang diliputi kecemasan.

Amat kacau rasanya! Selebihnya adalah perasaan saya yang amat rancu.

Saya tatap dinding yang lain lagi. Saya menjerit. Tapi entah sekaras apa. Seperti jeritan itu justru tertelan di tenggorokan. Lalu menjelma belati yang merobek-robek usus saya.

Wajah dan tubuh saya tampak sebagai benda yang sangat menjijikan. Luka-luka menganga di wajah. Lengkap dengan nanah berleleran. Saya memutar tubuh bak gasing, seraya manamati berbagai bayangan yang tertangkap oleh semua dinding kaca itu.

Adalah tubuh rusuh dan buruk yang terekam di semua penjuru dinding. Lalu saya menabrakkan tubuh pada kaca-kaca itu. Sehingga retak dan pecah dinding-dinding itu. Semuanya! Tapi yang tampak justru makin banyak bayangan wajah dan tubuh saya yang menjijikan di serpihan-serpihan kaca itu. Tubuh saya dipenuhi luka baru akibat saya berguling-guling di remah-remah kaca itu. Mengalir darah-darah baru yang tampak segar tapi hitam warnanya.

Saya masih juga tidak percaya pada bayangan-bayangan yang pantas membuat muntah itu adalah citra saya sebenarnya. Selanjutnya, saya hanya percaya pada diri sendiri bahwa saya baru saja dilahirkan sebagai manusia paling buruk rupa sedunia.

Dalam pada itu saya masih mencari-cari sepercik keyakinan sebagai orang paling cantik yang dulu pernah tertanam kuat di dalam diri saya. Lalu saya menggerayangi seluruh isi kepala dan batin. Tapi perasaan itu tidak saya temukan.
Benar-benar perasaan itu tidak pernah tertemukan hingga mata saya amat gelap untuk melihat bayangan sendiri. Dan saya tak henti mengutuki diri.

Soeket Teki, Mei 2010
(Ilustrasi Girl Before a Mirror (Picasso) diambil dari http://muhsinlabib.wordpress.com/2008/02/25/be-careful-girls-watch-out-2/)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment