Friday, December 17, 2010

Dari Kesaksian Sunyi ke Perayaan Ramai

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Sudah diterka acara bakal ngaret. Biasa, molor dari waktu yang dijadwalkan. Hingga pukul 16.00 WIB, baru belasan orang yang merapat di Pendopo 1 Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Jl Sriwijaya No 29 Semarang. Mustinya, sesuai undangan, acara Celebration of Reading #1 yang digelar Open Mind Community bekerja sama dengan Dewan Kesenian Semarang (26/07/2010) sudah dimulai sejam sebelumnya.

Vivi Andriani, yang sejak mula menyambut tamu, bersabar menunggu bakal peserta berikutnya. Peserta disilakan setelah mengisi buku tamu, sekaligus menyumbangkan satu baris kalimat sebagai tiket mengikuti acara. “Diutamakan kalimat dari puisi yang pernah anda tulis,” kata Vivi.

Selain pegiat Open Mind Community, banyak peserta hadir dari luar seperti Nugroho Wahyu Utomo, Kajitow Elkayeni, Hartoyo, Arif Sipilis, Ridho Sang Rajawali, Sulung Pamanggih, dll.

Acara mulai setengah jam kemudian. Purwono Nugroho Adhi bertindak sebagai fasilitator. “Puisi tidak sekadar rangkaian kata indah,” ujarnya. Lelaki gempal yang akrab disapa Mas Pung ini menambahkan, kata-kata dari puisi memiliki arti penting bagi seseorang sebab ia mewakili perasaan, sekaligus pengalaman.

Pernyataan Mas Pung itu niscaya jauh dari penyangkalan kontradiktif. Karena memang benar, kata-kata telah lazim menjadi sebuah kesaksian bagi hidup seseorang—dalam konteks ruang individu kesaksian itu bersifat sangat subjektif. Kesaksian yang sunyi. Kesaksian itu, salah satunya, adalah puisi yang makna dan misterinya kadang tak dapat dijangkau dengan mudah.

Berangkat dari tesis itulah Open Mind Community menggelar perayaan puisi bertajuk “Membaca Dunia Membaca Kata”. Di mana, satu baris kalimat dari puisi seseorang hendak ditarik dari ruang subjektifnya. Menuju ruang baru yang lebih lebar. Di mana penggalan-penggalan puisi dari banyak orang dipertemukan. Upaya penyatuan, sekaligus pembentukan jika niscaya, sebuah puisi baru dari penyampaian makna, latar belakang, dan cerita yang berbeda-beda. Ya, tarikan itu diupayakan menjadi sebuah common sense. Adalah being (mengada) yang subjektif tadi hendak dijelmakan sebagai belonging (kebersamaan).

Sebuah kebaruan dalam diskursus poetry performance, bukan? Mungkin!

Karenanya masing-masing peserta dimintai pertanggungjawaban memaparkan tentang sepenggal kalimat yang diberikan—kecurigaaan utama adalah kalimat itu mempunyai kesan mendalam bagi pemiliknya. Baik dari sisi makna maupun latar belakang cerita yang memberangkatkan ia dituliskan.

Lantas Nugroho Wahyu Utomo memberikan penjelasan tentang larik puisinya. “Wahai manusia modern, dekaplah si empat agar kau tak dihujat,” begitu larik puisi dari seorang yang di facebook menamakan dirinya NWU Gabriel Genesis ini.

Lelaki pecinta kereta api ini mengatakan, puisi itu adalah olok-olok bagi para pejalan kaki. Di saat manusia modern memuja kemewahan roda empat atau mobil, maka pejalan kaki seolah-olah manusia asing di jalan.

Janoary M Wibowo menyusul. Mahasiswa yang berangan-angan mendirikan lembaga kursus Bahasa Perancis menjelaskan cerita di sebalik kalimat “Kau pulang dengan cantik”.

“Itu bukan dari larik dari puisi saya. Namun kalimat itulah yang hari ini saya punyai. Bahwa saya mendapat teguran dari Tuhan. Salah seorang temah mengalami kecelakaan dan tidak tertolong saat dioperasi di RS Karyadi,” jelasnya. Kenapa kau pulang dengan cantik? Sebab, kata Janoary, jenazah temannya itu dilihatnya tersenyum cantik. Masih dilihatnya tawa-tawa saat masih bercanda di warung kucingan semalam—Duh, Jan… turut berduka cita, kawan.

Untuk setiap penyingkapan, baik makna maupun cerita yang dibentukkan dalam kalimat sebuah puisi, satu peserta didengarkan dan diapresasiasi oleh peserta lainnya. Sebuah penerimaan atas perasaan dan pengalaman individu sebagai bagian dari pengalaman dunia—bahwa itu mengada di dalam kenyataan hidup yang pribadi.

Maka keniscayaan bertransformasinya kesaksian individu menuju kesaksian bersama terjadi. Dari subjektif ke common sense, itu!

***

Wahai insan modern, dekaplah si empat agar kau tak dihujat
Sesungguhnya aku tak memiliki diriku sendiri, bagaimana mungkin kita saling memiliki?
Tak perlu orgasme setiap waktu
Kau ceritakan kepadaku tentang jatuh
Darah yang lambah-lambah ini adalah hasil perbuatanku sendiri
Padamu kuikatkan luka
Memandang dari lubang ventilasi bersama angin yang pergi pulang tak terbaca
Kau pulang dengan cantik
Ijinkan aku merapat ke dadamu
Rindu, aku menamainya jarak yang mahal
Kau dan aku sama pendekar sisa-sisa
Saat proses pembelajaran menjadi beban bagimu, aku bakal berkata: selamat datang di kenyataan bung.
Kutitipkan sajak kerinduan yang menggebu di sepertiga malam terakhir
Aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita adalah atom-atom yang bersatu
Menanti kehidupan yang sempurna
Kerinduan yang bijaksana
Jiwaku tersandera di sepertiga malam
Hidup hanya sebuah puzzle yang tidak beraturan
Dalam mimpipun aku tertidur begitu pulas
Tak ada satupun kata yang aku punya
Oh sapu jagat… minggat segala anasir jahat yang bikin hidup tak selamat
Merangkak keluar dari cangkang
Jadilah seperti bumi, tegar tapi tak angkuh, kelam tapi berpendar mimpi
Aku adalah pemulung.
Di sana aku mendengar suara tawa yang selalu membuatku ikut tertawa
Tapi aku maunya begini saja

Begitulah kumpulan penggalan kalimat puisi yang terhimpun.

Sebelum didiskusikan, penyair Kurniawan Yunianto—yang akhir-akhir ini gokil, genit, bahkan metroseksual (ha ha!)—memembacakannya sebagai “seolah puisi” yang sempurna. Selalu begitu, KY sapaan lirisnya, tenang dalam membacakan puisi. Namun dengan vokal, irama, dan aksentuasi yang penuh perhitungan akan ketepatan. Penasaran? Undang saja dia untuk membacakan puisi (he he).

Diskusi dimulai dengan pelontaran pertanyaan telak oleh Mas Pung. “Apakah ini bisa disebut puisi?” pancingnya.

Pertanyaan itu, sepertinya tidak terlalu berjarak dengan uneg-uneg sebagian peserta saat membaca teks itu utuh. Adalah sebuah pertanyaan yang awalnya diperam dalam benak: apakah puisi ini pantas—jika memang sejak awal disebut puisi?

Kajitow Elkayeni menilai teks di atas masih didominasi kekacauan. Tidak terstruktur, dan nyaris tidak mengejar sebuah makna yang berkesinambungan. “Ini belum pantas disebut puisi,” tegasnya.

Tampaknya, kekacauan teks dalam arti banyak ketidaktersambungan ide bahasa sehingga seperti tidak mengejar sesuatu yang satu membuat kesangsian untuk menyebutnya sebagai puisi. Namun, sebagian menilai bahwa teks itu menjadi puisi ketika dibacakan oleh KY.

“Sebelumnya, ketika saya amati larik-lariknya, ini belum menjadi puisi,” tanggap Haryoto yang jauh-jauh datang dari Blora. Senada dengannya, Gema Yudha menambahkan, KY telah berhasil memproduksi bunyi, irama, dan naik-turun nada, dalam membacakan puisi itu sehingga lebih hidup.

Sedang Adin Mbuh menilai, sebuah puisi tergantung siapa yang memegang. Standar dan konteks turut bermain. “Jika ini dibacakan SBY, maka ini tidak lagi menjadi puisi, kecuali menjadi slogan politik,” katanya.

“Hahahahaha…”

Arif Sipilis memandang, puisi tidak musti terstruktur rapi. Puisi, baginya, adalah luapan kata-kata yang muncul secara spontanitas. “Maka teks ini adalah puisi. Justru keindahannya terletak pada kekacauannya,” kata Arif.

Mulailah Janoary berpandangan dekonstruktif. Agaknya ia keberatan untuk berputar-putar pada persoalan definisi puisi. Batasan atau teori siapa yang hendak digunakan?

“Ya, inilah puisi. Bahwa cerita-cerita di sebaliknyalah yang membuat ia dikatakan puisi. Maka puisi itu adalah hidup itu sendiri,” katanya.

Penulis, saat itu hanya menekankan bahwa kita harus menatap keluar jendela. Selama ini, katanya, kebanyakan kritik sastra masih bersifat formalis. Struktur dan teks menjadi nukleus pendedahan puisi. Misalnya fenomenologi yang digagas Edmund Husserl, pengkajian tidak memungkinkan berpaling dari teks itu sendiri.

Bukankah ada kemungkinan lain? Melihat dari sisi selain itu?

“Sebab ia bukanlah ciptaan satu orang penyair yang sadar akan pengejaran makna tertentu, sadar dan siap meletakkan kata, juga sadar membentukkan strukturnya—demi pengejaran keindahan estetik tertentu. Ini adalah bentukan bersama. Maka, ya inilah puisi yang entah bagaimanapun harus kita affirmasi,” kata penulis.

Berbagai perbedaan pandangan tidak membuat diskusi ini kaku dan tegang. Banyak celetukan dan gurauan muncul.

“Ini akan layak disebut puisi jika laku,” cetus Haryoto yang lantas mengundang tawa. Ya, ya, ya, laku di koran, laku di penerbitan. Cerdas, Bung!

Haryoto menimbang-nimbang, puisi ada yang mbeling. Nah, kekacauan-kekacauan teks itu mungkin bisa dikatakan sebagai ‘pembangkangan’. Tidak mau nurut pada konvensi puisi yang ada.

“Jika mau kita telisik secara struktur, ini tidak akan pernah rampung. Bahwa, pada konteks ini, kita mencoba menghadirkan sebuah kebersamaan. Inilah yang bagi saya membahagiakan. Masing-masing merasa terhargai. Dan pertemuan ini mungkin akan memperkaya kita.” Begitu kata-kata bijak KY sore itu.

Purwono terus saja mengejar argumentasi-argumentasi peserta dengan provokasinya. Diskusi makin hangat ketika ditawarkannya soal perlukah puisi itu disunting untuk satu pengejaran struktur, makna, dan keindahannya.

Reaksi beragam muncul. Pertama, puisi bersama itu perlu diedit. Namun ini terbentur pada persoalan siapa yang punya otoritas untuk melakukan pengeditan. Sebab semua bergerak dari dalil subjektifitas masing-masing.

Kedua, pengeditan hanya bisa dilakukan dengan cara menata urutan kalimat hingga tersusun bait-baitnya. Ketiga, puisi bersama itu tidak perlu diedit. Sebab, pertanyaan mendasarnya adalah, apakah pengeditan akan menjamin kebersamaan tetap ada. Bahwa pengeditan akan niscaya menghilangkan beberapa kata bahkan kalimat. Nah, seseorang yang kata atau kalimatnya terbuang apakah masih terwakili kehadirannya dalam pesta kebersamaan puisi ini?

Menanggapi itu, Adin melontarkan wacana konsensusnya. “Jika memang harus ada kata atau kalimat hilang atas dasar pemikiran logis dan disepakati orang banyak mengapa tidak? Terjadilah konsensus ketika sebuah pemikiran bisa diterima atas dasar alasan-alasan logisnya. Paling tidak itulah kebenaran sementara yang bisa kita yakini,” kata punggawa Komunitas Hysteria ini.

Gema, penyair yang kini mulai kesohor keahlian meramal dengan tarotnya ini, lebih sepakat jika puisi dibiarkan apa adanya. “Keindahan itu adalah keragaman pandangan itu,” katanya.

Ia menceritakan ingatan masa kecilnya tentang kisah orang-orang tunanetra yang diajak ke kebun binatang. Di sana para tunanetra bertemua gajah. Salah satu bilang gajah bentuknya tipis karena hanya menyentuh daun telinganya. Salah satunya lagi bilang gajah itu bulat panjang karena yang dipegang saat itu adalah ekornya. Yang lain lagi bilang gajah itu bundar dan besar sebab tubuh gajah yang dipeluknya.

“Artinya apa, justru dari pandangan-pandangan berlainan itulah yang membuat sesuatu jadi lengkap. Utuh,” kata Gema.

Agung Hima, juru kunci TBRS, yang semula hanya diam sambil tersenyum-senyum, mengajukan sebuah pertanyaan yang makin menambah keragu-raguan. Kumpulan dari larik-larik puisi itu bisakah mejadi puisi?

Untuk sementara puisi dibiarkan mempertahankan dirinya sendiri. Bahwa itulah kesaksian orang ramai dalam sebuah ruang kreatif puisi.

Tidak sempat pula himpunan kalimat yang dianggap sebagai puisi—bolehlah, biarlah, para kritikus sastra kelak melabeli haram puisi ini—dalam perayaan membaca ini. Namun, dapat ditarik satu generative theme (tema umum) yang dapat membingkai himpunan baris puisi itu. Seperti dikatakan Nugroho Wahyu Utomo, puisi ini bertema tentang kenyataan hidup. Benar pula Kajitow yang melihatnya sebagai tema isyarat hati. Sebab masing-masing dihadirkan dari keluh-kesah persaan orang per orang.

***
Lantas apa hasilnya pertemuan sore itu? Ah, masing-masing orang sudah menetaskan prejudice-nya (prapaham) sendiri-sendiri yang telah berhadapan dengan banyak prapaham orang lain.

Purwono menegaskan, Celebration Of Reading ini adalah salah satu cara merayakan puisi. Niatan yang arif, tentunya. Jika lantas itu menjadi puisi, dan indah, adalah ketika sesuatu cerita di balik kata-kata itu dipaparkan. Akhirnya, sebenarnya puisi akan benar-benar menyentuh kita jika ada laku—pengalaman pencipta maupun pembaca.

Mengapa membaca kata membaca dunia—maaf ini secara pribadi saya balik dari peristilahan Mas Pung yang mengatakan “membaca dunia membaca kata”?

Andai kata-kata itu tidak pernah diceritakan, tidak pernah dihadirkan pada kita dan lantas tidak kita baca, maka mustahil bagi kita bisa membaca dunia orang-orang. Ya, dunia luas ini. Mungkin kita sekadar akan kepengalaman sendiri tanpa tahu sebenarnya diluar ada sesuatu yang menarik, bahkan berarti bagi kehidupan kita.

Hingga terjadilah bentukan kata-kata tadi. Berangkat dari kesaksian sunyi masing-masing orang. Menuju sebuah ruang perayaan yang ramai. Ruang bersama itu.

Dan kata-kata di sana, akan mengalami dialektikanya sendiri. Negasi, kontradiksi, juga penguatan satu sama lain, akan menemukan chemistry-nya tersendiri. Meski memang, kata-kata yang lari kesunyiannya sendiri itu seolah mengalami dislokasi ketika tiba di ruang baru yang asing sama sekali. Ruang yang tak pernah diperkirakannya.

Meski memang, kata-kata itu mengalami sebuah krisis identitas dan seperti berhenti pada dirinya sendiri. Kata-kata yang tidak bisa menarik kata-kata lainnya untuk mengejar sebuah persoalan sekaligus maknanya. Namun begitulah adanya, seperti di baris pamungkas puisi itu: “Tapi aku maunya begini saja.” Tidak menjadi soal lagi pelbagai kekacauan dan kerisauan (mungkin kekacauan dan ketidakteraturan puisi itu sendiri) hidup. Sebab kita telah bersepakat menyamankan diri pada kondisi demikian.

“Saat ini kita tidak sedang membuat puisi. Tapi kita sedang merayakan puisi,” kata Vivi memungkasi.

Salam grak grek…

Jika masih ada pertanyaan dan ganjalan mengenai ini, tanyakanlah kepada mereka—para sastrawan dan kritikus sastra. Itu!

Musyafak Timur Banua,
catatan ini berangkat dari notulensi acara Celebration of Reading #1, Poetry Performance, yang digelar Open Mind Community di TBRS Semarang pada 26 Juli 2010
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment