Friday, December 17, 2010

Saya Hendak Mencangkul Bersama Gema

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Laku hidup niscaya membentuk berbagai fragmen perjalanan. Di antara serpihan-serpihan itu, ada yang tertemukan. Di sebaliknya, pula ada yang tak sampai, tersembunyi. Bahkan, yang sudah tergenggam sangat mungkin menjadi tercecer kembali, merucut, dan hilang.

Dan hidup, akhirnya menjadi pengejaran yang tak pernah tuntas. Tak selesai. Namun, seiring ketakterselesaian itu, manusia bisa mengendapkan dirinya, lalu membutirkannya menjadi kepadatan yang dimasak matang, di dalam dan oleh dirinya sendiri.

Tampaknya, keniscayaan hidup semacam itulah yang hendak digelar Gema Yudha dalam puisi Perjalanan dan Pertemuan Pertemuan yang Tak Usai. Baiklah kita turun sejenak ke puisi penyair yang sering menyanggul rambutnya tinggi-tinggi ini.

lampu jalan memang selalu redup bukan?
tapi kita sepakat memilih jalan setapak
menyabit tangis dan tawa bersamaan
meski arah masih genap dalam purdah
gelap tumpah

kita tahu ladang gembur itu
ke sanalah gurat mata kita bertutur

yakinkah kau kita lebih pintar
berjalan memutar
menyamun dalam halimun
sebab guguran daun dan tetesan embun
serupa kunang kunang merajah muka angin
tanah rekah menjaga ingin

cadas yang menindih nadimu
adalah gerimis manis
mengabarkan kehidupan

semisal kau temukan lebih dulu ladang gembur itu
cukup kau eja nama kecilku
perjalanan ini memang sepi dan ngeri

lampu jalan memang selalu redup bukan?
tapi kita sepakat memilih jalan setapak
sebab dalam pekat semuanya tampak

Puisi ini melemparkan saya pada situasi yang tiba-tiba. Penanda yang terangkum secara semantikal di baris pertama itu langsung menyodorkan tubuh(puisi)nya sebagai pertanyaan. Mungkin itu adalah spekulasi penyair untuk langsung mengajak pembacanya ke suatu ruang yang lebih lebar. Nampak menyilakan ruang antara puisi dan pembacanya secara leluasa dan intim sejak awal.

“Lampu jalan memang selalu redup bukan?” kata penyair.

“Lampu” dan “jalan” di sana memokokkan diri(kata)nya sebagai pusat gerak-laku manusia yang telah terlampaui, juga sedang. Dan “redup” seperti menjadi penerimaan akan sebuah ruang yang konfrontatif—kurang mendukung perjalanan membutuhkan suluh yang gemerlap.

Jalan yang dinyatakan di sana masihlah milik orang ramai. Mungkin ia dilewati bersama-sama, lalu-lalang, hiruk dan pikuk. Di riuh itu, “aku-aku” manusia bisa menemukan sesuatu yang sementara. Sebab pertemuan, dengan dan dalam apapun, akan terdesak oleh perjalanan orang-orang yang saling desak-desakan itu.

“Tapi kita sepakat memilih jalan setapak,” kata penyair lagi.

Begitu lalu seorang yang ingin menemukan sesuatu, sekaligus dirinya, mengafirmasi sebuah jalan liyan dari orang lain. Jalan setapak itu, adalah pengkhususan gerak untuk “aku”nya sendiri. Tak orang lain, melainkan saya bersama dia: “kita”.

Mengapa memilih menepi? Sementara jalan setapak itu diselimuti cadar. Ya, purdah yang menggenggam gelapnya sendiri. Adalah suasana tepi, yang memang memungkinkan seseorang untuk menemukan sesuatu yang tak tergenggam oleh orang ramai. Orang jarang memandang ke gelap, sehingga di sanalah sebuah kutub sunyi yang menyimpan banyak hal. Kutub itulah yang tak tersimpan oleh orang-orang. Dan tampaknya ketaktersimpanan itu hendak dijumputi per satu—bisalah saya simpan di saku gamis atau celana.

Dari ujung jalan setapak itu, puisi mengantar kita pada sebuah kasunyatan. Penyair memandang kasunyatan itu dalam metafora “ladang gembur”. Adakah itu akhir perjalanan, “yang ke sanalah gurat mata kita bertutur”?

Mungkin ladang gembur itu adalah tanah yang kelak dipetak menjadi kuburan para “aku”. Benarkah yang dituju gurat mata itu benar-benar kubur?

Ah, tidak! Bukankah pelbagai pertemuan di perjalanan “kita” belum usai—dan tak pernah selesai seperti yang dijudulkan puisi ini sendiri?

Maka ladang gembur itu, adalah tempat yang niscaya diperuntukkan kepada “aku”. Mengapa kita memlilih yang gembur? Bagaimana lagi, sebab itu yang paling memungkinkan untuk kita bercocok tanam. Tentu kita lebih memilih bertanam di tanah yang lunak dan menyimpan air serta kesuburan di dalamnya. Ketimbang bercocok di tanah kering, apalagi batuan yang tak memungkinkan untuk kita cangkuli—seperti itulah yang saya lihat dari ayah saya yang selalu mencangkuli tanah gembur.

Tentu, Gema! Saya akan mengabarimu ketika kelak menemukan ladang gembur itu lebih. Dan kelak kita cangkuli bersama, kita tanami sebuah “pohon kejadian” yang di dedaunnya menuliskan nama-nama dan sejarah kita. Dan kita, di bawahnya, berlomba menunggu suatu buah jatuh di kepala kita.

Dan, andai ladang itu tak memungkinkan kita bertanam sesuatu, tak usahlah menyesal jika yang kita cangkuli itu adalah sebenarnya lubang kubur—yang kita gali—sendiri.

Musyafak Timur Banua, mengaji di sebuah subuh
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment