Hidup tak henti menggiringku pada suasana absurd. Pada kubang-kubang pengasingan. Tubuh, lalu diri, seolah berjarak amat jauh dengan apa yang terlihat, apa yang tertangkap mata, apa yang terdengar telinga.
Nyaris tak ada jawaban yang cukup memuaskan untuk memahami sesuatu. Atau, benarkah, hidup hanya menuntut untuk dirasai, dihayati?
Beriring itu, kekaburan serasa kian memanjang. Seperti bayangan yang terus lari. Tapi nyatanya, tubuh tak ke mana-mana.
Hendak apa berlaku? Mencari apa waktu sekarang ini? Adalah pertanyaan yang makin mengaburkan diri. Membuat diri tidak tertangkap momentum-momentum yang pas. Menjadikan diri makin ampas.
Aku yang bosan pada sesuatu yang itu-itu—sesuatu yang dilakukan banyak orang sebagai wajar dan rutin. Yeah, suatu malam, ketika tengah mengejar huruf, memburu kata, dan menjumputi kalimat, untuk satu tulisan yang tak tentu apap jadinya. Mendadak saja teringat pada teman-teman yang sedang menulis dan menulis. Tapi menulis mereka lain: untuk sebuah strata dan kepentingan yang sangat tinggi. Yakni, skripsi: sebuah gagasan ilmiah yang dituang untuk kemudian orang dinyatakan sebagai sarjana. O, sarjana… aku harus pula begitu, kata ibuku.
Tapi apa yang kulakukan? Aku yang sekadar menulis puisi, menulis cerita, menulis esai, menulis artikel, menulis entah dan entah. Antah!
Lalu setengah kesadaran tertarik pada tema itu: kapan ya menulis untuk karya ilmiah agung yang kelak mengantarkanku memakai toga kebesaran sarjana. Ah, apa sih sarjana? Sesuatu yang menyedihkan. Bahwa, aku kelak akan bergelar sarjana, orang pandai—mungkin jika lulus, dan harus lulus—yang namun berjarak dengan masyarakat. Sarjana yang digelari manusia pemikir, tapi tak habis hanya memikirkan diri sendiri yang suram, diri yang disuramkan keadaan.
Aku mati di gelas kopi dan asap rokok. Tersekat dalam ruang yang cukup memandang huruf-huruf berlayar, terbang, kulahap dan kucatat. Sembari pura-pura sibuk mengerjakan sesuatu. Padahal sebenarnya tidak sama sekali!
“Kamu itu, sok sibuk! Hidup hanya menulis di surat kabar mahasiswa yang kacrut itu, kau anggap kesibukan?” sergap kawanku, yang siap jadi musuh kapan saja aku meminta—bahkan sering dia meminta duluan.
Yah, benar begitu, mungkin. Begitu sombong merasa diri lebih dan mengatasi waktu dengan banyak kegiatan. Senyatanya, pagi setelah makan hanya membuahkan kantuk yang lalu membujuk untuk tidur lagi. Selepasnya baca-baca buku sedikit. Setelah itu mengurus mulut dan perut lagi. Menjelang senja menghabiskan waktu dengan bermain bola. Malam, menulis sedikit—demi sedikit.
Apa kesibukanku? Kesibukan yang hanya memikirkan persoalan yang mengambang. Dan sering tak sampai ke kedalaman. Hanya!
***
Seperti ada yang salah dalam gerakku. Tuntutan tubuhku keliru. Dan diri hanya berdiam direjam gelisah tanpa sebab. Beginikah tarikan dunia absurd?
Di medan abusrditas yang tarik menarik antara tubuh dan ruh—ruh yang mencari diri, diri yang terus sangsi—antara harapan dan ketercerabutan, mengapa aku tetap memilih gelisah? Memilih sedikit memisah, meski masih ramai.
Aku, suatu waktu harus memperlihatkan diri pada “aku”ku sendiri. Bahwa, aku adalah suatu waktu. Ya, suatu waktu yang rindu, suatu waktu yang ingin menjauh. Dan suatu waktu dua rasa bertolakan terjadi bersamaan: rindu sekaligus ingin menjauh.
Suatu waktu aku rindu melakukan shalat—sekedar melakukan, padahal perintahnya adalah mendirikan—tapi lebih memilih menulis puisi. Berjanji pada tubuh, kelak kita shola dan lalu mengambil istirah bersama. Yang terjadi apa? Tidur lebih terpilih sebagai pemanjangan kelelahan, yang sebenarnya cuma sedikit.
Suatu waktu aku ingin mendaras Alqur’an. Tapi aku lebih menguncinya di almari. Dan mulutku hanya gembar-gembor seolah-olah sedang membacakan syair di muka ribuan orang. Padahal sebenarnya aku hanya membaca untuk diri sendiri. Seperti orang menyanyi di kamar mandi.
Aku memilih membaca. Ya aku membaca seperlunya. Dan, sepertinya pemalas, enggan membaca. Lalu menulis sekemauan. Bisa puisi, artikel, cerpen, bahkan roman juga. Sambil sesekali onani. Ah, atau sebelumnya nonton film porno.
“Refreshing. Masa orang hidup harus serius terus,” bantahku pada diri sendiri.
Ternyata itu hanya alibi tubuh yang memburu sesuatu. Meski sebenarnya buruan itu juga tersembahkan sedikit untuk diri yang waswas. sebenarnya adalah, kebutuhan tubuh yang tidak bisa ditutupi dengan alasan kebohongan apapun.
Aku memilih menulis, meski tak setiap tulisan jadi dan membentuk tubuh dan dirinya—aku berkali-kali kejam pada huruf, membiarkannya membujur kaku setelah terjadi kemalasan dan kemampatan ide yang diri tak mau lagi memaksanya untuk keluar. Memilih menulis, seraya sekali-kali membayangkan bercinta dengan pacarku.
Ha… huru hara diri!
Dengan menulis, dan topangan bahan bacaan, dan sesekali berbincang dengan orang-orang tentang ini itu, aku serupa berbohong hendak mengatasi diri dengan kebajikan. Seperti mau mengatakan kebenaran dan menawarkan bagaimana mengatasi hidup dan dunia yang rasanya makin tidak menenteramkan. Tentang kegelisahan apa saja, yang aku tahu.
Tapi ternyata, aku hanya aku, yang tergulung-gulung di kepulan asap. Yang megap-megap tercelup di cairan kopi hangat. Sembari merasa, pelan-pelan mimpi lari menjauh. Tercerai dari diri. Lalu jantung yang menteratap. Seperti ada kesedihan tiba-tiba. Begitu, ia selalu datang tanpa memberi alasan.
Tapi untuk semua kekacauan itu, aku berkata, “Ha ha ha ha!”
Dunia, kukatakan kepadamu: boleh saja kau melemparkan semua kejadian untuk kurenungi lalu menjadi sedikit kewaswasan. Tapi kujamin, diriku hanya mengijinkan tubuh ini sedikit gusar dan gemetar. Lalu semua kuhilang, menjadi waswas yang lebih baru, waswas yang semakin tidak menakutkan.
Hidup, waktu, ruang, pun aku, adalah guguran yang sama, bukan?
April 6, 2010 at 5:11pm