Minggu malam, ketika pertandingan final AFF Cup 2010 putaran pertama Malaysia vs Indonesia berjalan belasan menit, dunia maya jejaring sosial mulai ramai umpatan dan sumpah serapah. Laser dari para pendukung Malaysia yang ditujukan kepada pemain Timnas Merah Putih mempengaruhi konsentrasi Awak Garuda, juga membuahkan kegeraman pendukung Indonesia.
Ya, sinar laser yang disorotkan kepada wajah (lebih tepatnya mengarah mata) para pemain Timnas memang menganggu. Timnas Indonesia beberapa kali mengajukan protes kepada pemimpin pertandingan. Toh, laser itu tetap menyala, membidik dan mengejar-ngejar para pemain Timnas Indonesia. Buntutnya, pada menit 54, laser itu membuat tim kesebelasan merah putih keluar lapangan, hingga pertandingan dihentikan sementara. Pertandingan berlanjut dengan keadaan mental dan konsentrasi pemain tidak maksimal, satu persatu gol melesak ke gawang Indonesia hingga pertandingan berakhir sebagai “kekecewaan yang mengejutkan” bagi penonton dan seluruh masyarakat Indonesia. Lantas sebagian dari kita berkata, gara-gara laser Indonesia kalah 3-0 dari Malaysia.
Laser itu, jika kita sadari lebih arif, adalah kita sendiri: media, pejabat, dan masyarakat. Mata kamera wartawan selalu mengintai, mengejar, dan membidik Timnas Indonesia, telah membuat awak Timnas silau. Silau itu bersifat berganda. Di satu sisi Timnas Indonesia silau menatap dirinya sendiri, pandangannya samar-samar untuk meneliti “tubuhnya” sendiri. Bukankah cahaya-cahaya blitz kamera itu cukup membuat Timnas lupa diri? Ekspose media yang euforis dan hiperbolis membuat Timnas tidak objektif menilai dirinya sendiri. Di sisi lain, silau itu juga berlaku keluar, barangkali Timnas Indonesia telah samar melihat Timnas Malaysia. Penilaian terhadap tim lawan menjadi tidak objektif, sebab belakangan media memang merepresentasikan tim lawan sebagai “subordinat” dengan dalil kemenangan Timnas Indonesia atasnya pada laga penyisihan.
Di titik inilah peran media menjadi “destruktif”. Media merongrong dari dalam dengan melantunkan puja-puji yang tidak henti. Media juga menghadirkan sepak bola sebagai panggung selebritas yang tidak ada habisnya. Sebelum perayaan kemenangan di laga final melawan Malaysia, kita (media, pejabat, PSSI, Timnas, dan kita) telah melakukan perayaan yang kelewat naif. Perayaan itu bernama tebar pesona, baik dilakukan oleh pejabat yang karena kepentingannya mengait-ngaitkan dirinya dengan sepak bola, maupun masyarakat yang secara massif menghadiahkan puja-puja kepada Timnas Indonesia.
Puja-puji yang kita berikan justru lebih menjadi tujukan yang tajam ketimbang laser atau sinar monokromatis berintensitas tinggi yang disorotkan oleh pendukung Malaysia ke mata Timnas Indonesia. Puja-puji itu seperti menusuk mata Timnas pelan-pelan sehingga penglihatannya menjadi kabur dan buram. Tragis itu sebenarnya lebih dramatis, lautan puja-puja itu justru menenggelamkan Timnas Indonesia.
Hiper-Bola
Barangkali, belakangan ini kita tidak lagi memandang sepak bola secara utuh sebagai sepak bola. Kita telah melihat bola sebagai realitas yang lain, realitas yang berlebih, bahkan tercerabut dari fakta bola. Final AFF Cup 2010 antara Indonesia vs Malaysia tidak kita pandang sekadar pertandingan sepak bola. Lebih dari itu, kita telah memindahkan sepak bola dari ruangnya, menyeretnya hingga wilayah politik Indonesia-Malaysia secara lebih luas. Karena seteru politik dan kebudayaan yang sekian lama melingkari Indonesia-Malaysia, masyarakat secara tidak sadar menempatkan bola sebagai arena pembalasan atas semua kekalahan Indonesia dalam segala aspek: politik, batas wilayah, TKI, dan klaim-klaim aset budaya seperti lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo dan sebagainya.
Situasi itu sebenarnya telah sampai pada hiper-bola (melampaui bola). Kita mencerabutkan bola dari realitas aslinya. Bola tidak lagi memadai aspek olahraga yang menebarkan pesan sportivitas dan persahabatan, tetapi menjadi “medan tempur” politik-budaya yang kemenangannya diimpikan menjadi modal untuk saling mencitrakan posisi satu sama lain. Kondisi ini menciptakan beban lebih bagi Timnas Indonesia. Sepak bola tidak sekadar menuntut mereka sebagai pembelaan bangsa atas nama prestasi olah raga, tetapi pembelaan atas hal-hal di luar itu, yakni kehormatan politik dan kebudayaan bangsa yang sebenarnya terlalu besar untuk dipikulkan kepadanya.
Barangkali, Alfred Riedl telah merasakan gentayangan “laser” sorotan media dan publik yang berlebihan jauh-jauh hari sebelum laga final melawan Timnas Malaysia. Riedl sadar penuh, Timnas Indonesia butuh ruang hening untuk melakukan refleksi dan menjernihkan pikiran untuk meraih kemenangan puncak. Tapi pesan di balik penolakan Riedl atas undangan makan malam Menpora Andi Malarangeng menjelang laga final itu tidak kita serap dengan baik, sebab situasi yang penuh euforia membuat kita lupa dan alpa. Kepada Riedl, mungkin kita harus mengakui sebenarnya kitalah laser-laser itu!
Musyafak Timur Banua,