Oleh Musyafak Timur Banua
(Jurnal Nasional 31 Desember 2010)
TAHUN baru tidak sekadar momentum peralihan almanak atau pergantian kalender. Tahun baru memiliki makna khusus, sebagai momentum merefleksikan masa lalu dan merumuskan orientasi kehidupan masa depan.
Hampir di seluruh penjuru dunia merayakan tahun baru dengan kegembiraan, suka cita, bahkan euforia. Pesta kembang api dan pelbagai hiburan digelar menyemarakkan selebrasi pergantian tahun. Lebih dari sekadar festival itu, tahun baru menyimpan pelbagai kebajikan. Tahun baru ibarat waktu senggang untuk koreksi diri dan membayangkan realitas mendatang.
Kini, masyarakat hidup di tengah kebisingan, kerutinan, dan pelbagai kesibukan yang menguras banyak waktu. Kehilangan waktu senggang yang dialami manusia modern sama dengan kehilangan sarana berkontemplasi dalam memaknai segala laku yang berlalu dari detik ke menit, jam, hari, bulan, dan seterusnya. Seseorang tidak memiliki waktu menilai diri sendiri: apakah lahir suatu nilai tambah, atau justru langkah mundur di dalam kehidupan material, intelektual, dan spiritual.
Tahun baru tepat menjadi waktu jeda menilik ulang harapan yang pernah dirumuskan di awal tahun lalu. Barangkali ada beberapa pemenuhan signifikan terhadap sebagian daftar harapan itu. Perlu mempertanyakan kembali hakikat pencapaian yang telah di genggaman tangan. Lantas membenturkan pada aras kebutuhan transendental: kebajikan atau nilai kemanfaatan pencapaian-pencapaian itu bagi diri sendiri maupun sesama. Sekaligus menyadari berapa banyak harapan masih terbengkalai yang tidak perlu dilupakan secara permisif, tetapi diunduh hikmah dan kearifannya.
Refleksi Kebangsaan
Hassan Hanafi dalam Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme (2004) menyatakan, masa lalu (al-madli) merupakan elemen kritis membangun masa depan (al-mustaqbal). Tesis pemikir Islam kontemporer itu menisbahkan masa lalu sebagai rajutan simbol atau tanda yang memiliki kontribusi positif masa depan. Seremeh temeh apa pun masa lalu, jika disikapi kritis, tak beda dengan sejarah yang kaya makna berguna dalam pengondisian masa kini dan mendatang.
Refleksi kebangsaan secara kritis patut dilakukan seluruh elemen masyarakat menyongsong tahun baru 2011. Betapa tahun 2010, sebentar lagi terlewati telah menimpakan banyak tragis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya yang seolah meramalkan suram masa depan bangsa. Pemberantasan korupsi belum tuntas. Kasus Gayus, misal, masih menyimpan sejumlah tanda tanya terkait pihak-pihak “pemain” di dalam perkara pajak yang sampai saat ini belum ditelusuri secara jelas. Kasus rekening gendut perwira Polri makin samar terdengar oleh telinga publik. Dugaan korupsi di Mahkamah Konstitusi menambah pesimisme publik. Semua itu menjadi pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan secara hukum demi tegaknya hukum dan keadilan, serta martabat bangsa.
Tragis bencana alam di tahun 2010 tidak sepele. Banyak korban material, fisik, dan nyawa tidak sekadar menjadi angka-angka yang membujur kaku di dalam catatan kenegaraan lalu disimpan rapi di dalam “museum penderitaan rakyat” belaka. Meski di balik itu muncul berkah cukup penting berupa penguatan solidaritas sosial berupa empati dan spirit filantropi (bederma) terhadap sesama. Mitigasi bencana untuk mengantisipasi terjadi bencana serta menekan risiko korban menjadi kebutuhan mendesak yang harus dirumuskan mulai strategi, sarana, hingga aplikasi yang berintegrasi dengan kehidupan masyarakat.
Polemik keistimewaan Yogyakarta seolah merepresentasikan langkah mundur demokrasi yang melahirkan chaos (kekacauan dan keterpecahan) yang mengancam keutuhan NKRI. Kepemimpinan dan laku politik saat ini perlu mencermati pesan Gus Dur tentang model demokrasi yang berupa kombinasi integral dari berbagai entitas politik, budaya, rasionalitas, dan kekuatan kultur. Demokrasi yang dimaksudkan Gus Dur adalah suatu sistem demokrasi yang musti “dipribumisasikan” dengan kultur Indonesia (Munawar Ahmad, 2010).
Masih banyak persoalan lain, seperti lemahnya perlindungan TKI, kesejahteraan ekonomi dan pengangguran masyarakat, bentrok antarkelompok masyarakat, dan lain-lain. Pemerintah musti mengambil pelajaran membangun kembali kepercayaan publik yang sekian lama melorot, dengan pengambilan kebijakan secara tepat dan memihak rakyat. Krisis kepemimpinan musti diatasi agar tidak terjadi chaos kebangsaan lebih laten.
Imajinasi Kolektif
Jacques Lacan, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang (Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, 2003) menyatakan, individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Pembentukan subyektivitas dan ego individu selalu memiliki dimensi sosial dan kolektif. Berbicara mengenai mekanisme-mekanisme psikis individu, seperti hasrat, angan-angan, dan imajinasi, secara paralel sesungguhnya membicarakan hasrat kolektif (collective desire), angan-angan kolektif (collective ideals), dan imajinasi kolektif (collective imagination).
Lacan memetakan dua jenis hasrat. Pertama, hasrat menjadi (to be), yaitu hasrat mengidentifikasikan diri dengan liyan. Kedua, hasrat memiliki (to have), yaitu hasrat mencapai kepuasan. Keduanya niscaya bersifat konstruktif maupun destruktif, di mana hasrat positif harus digerakkan di atas tubuh bangsa secara kolektif. Tahun baru adalah titik tolak bagi transisi imajinasi kolektif. Transisi imajinasi itu adalah pola kesadaran progresif atas pelbagai kekurangan dan pesimisme di tahun 2010 untuk diformulasikan menjadi “bayangan kemajuan” di masa depan. Transisi imajinasi kolektif sangat penting, sebagai landasan pacu dalam membangun optimisme baru yang memuat keinginan dan harapan baru, bahwa kondisi nation-state (negara-bangsa) masih sangat mungkin diperbaiki. Harapan-harapan baru itulah yang memancarkan gairah baru membangun Indonesia.
Musyafak Timur Banua, aktivis di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas) Semarang