Oleh Musyafak Timur Banua
(Suara Merdeka 13 September 2010)
PERGULATAN hidup manusia tak pernah terhindar dari ketergodaan. Keadaban manusia selalu berhadapan-hadapan dengan pelbagai tantangan, yang jika tidak diatasi niscaya menimbulkan kehancuran.
Barangkali benar tesis Jean Baudrillard (1990), filsuf asal Prancis yang tersohor dengan teori hiperrealitas, bahwa segala sesuatu adalah rayuan. Rayuan adalah segala sesuatu yang merayu, yang menarik hasrat manusia ke dalam ruang memabukkan. Rayuan yang akhirnya melarung manusia ke ketergodaan yang tidak habis-habis itu, seperti dijelaskan Baudrillard (1988), beralas kredo pembebasan hasrat yang digagas oleh imajinasi tak terbatas manusia.
Peradaban modern yang ditopang teknologi adalah panggung yang nyaris sempurna merepresentasikan rayuan dan ketergodaan. Di hadapannya terbentang perangkap besar, yang seolah-olah menawarkan kenikmatan. Namun, di sebaliknya, menarik manusia ke dislokasi atau ketercerabutan jati diri karena tidak berada di ruang hidup sebenarnya. Tepatnya, tidak menghimpun kesadaran penuh saat berkecimpung di ruang tidak nyata yang penuh simulasi artifisial.
Teknologi Informasi Salah satu penanda peradaban modern adalah teknologi informasi sebagai produk ilmu pengetahuan dan imajinasi manusia yang tak terbatas. Sebuah pencapaian sekaligus kemenangan tentu. Ia merombak tatanan hidup menjadi saling terhubung. Jarak yang semula amat mahal telah diruntuhkan teknologi informasi yang berbasis internet.
Ya internet, dunia yang berada dalam kepalan tangan manusia. Dunia yang memungkinkan manusia memenuhi berbagai kebutuhan — selebihnya adalah keinginan bernama hasrat.
Dan, kini, manusia benar-benar telah masuk ke dalamnya. Sebuah ruang baru yang tak dapat dihindari dan seolah-olah tanpa pintu keluar. Kehadiran jejaring sosial seperti friendster, twitter, facebook, KasKus, Koprol, dan semacamnya adalah jelmaan dari ruang baru yang menampung segala individu. Individu diberi hak memakai atau melepas identitas secara bebas. Jejaring sosial hanya meminta registrasi akun yang dijadikan representasi kehadiran individu sekaligus identitas barunya. Lantas, mereka dipersilakan berinteraksi di kerumunan maya itu.
Pintu Katastropi Kita tak patut menjustifikasi secara biner: internet adalah pintu katastropi atau kehancuran kehidupan nyata. Di satu sisi memang berefek negatif, yakni meniscayakan manusia lalai terhadap realitas di sekitarnya. Memungkinkan anomali, manakala manusia berpotensi menjadi individu yang terasing dari ruang nyata. Jadi makhluk alien, makhluk yang asing terhadap dunianya sendiri.
Di sisi lain, kemunculan jejaring sosial bisa menjadi modal bagi penguatan interaksi manusia di komunitas nyata yang bernama masyarakat. Jejaring sosial memberikan pilihan beragam dengan keberadaan kode-kode ikatan hubungan, semisal pertemanan, keturunan, dan grup. Representasi individu di dalamnya, jika diorganisasikan dengan landasan kebaikan, niscaya bisa ditransformasikan menjadi nilai-nilai dalam kehidupan nyata yang lebih bermartabat dan beradab. Kita merasakan efek positif macam itu pada beberapa penyikapan persoalan sosial kemasyarakatan secara masif yang dipropagandakan melalui jejaring sosial. Misalnya, gerakan koin untuk Prita Mulyasari, tuntutan ketegasan hukum atas kasus cecak versus buaya, koin untuk Melati.
Internet hanya medium yang terbentuk dari serangkaian kode relasi — bukanlah makna atau masalah. Masalahnya, bagaimana manusia memahami medium penjangkau interaksi berskala luas itu. Apakah individu mampu menjaga tetap teguh pada identitas kemanusiaannya, yang tidak tidak abai atas peran yang harus dilakukan di ruang nyata?
Tak bisa ditawar, setiap individu selayaknya berbekal keteguhan jati diri yang merupakan sumbu identitas. Manusia yang dititahkan sebagai makhluk sosial bisa memaknai jejaring sosial sebagai ruang lain untuk berbagi dengan siapa saja, bahkan dengan individu yang tak dikenal.
Jika tidak, teknologi informasi dan komunikasi hanya menjadi media penghiburan yang hilang dalam sekerjapan mata. Alias, kepuasan sesaat yang amat sementara. Sebab, interaksi di dalamnya tak dilengkapi mekanisme refleksi diri lebih mendalam.
Musyafak Timur Banua, peminat kajian budaya