Sunday, February 13, 2011

Relasi Gender dalam Omah Jawa

2
(Suara Merdeka, 9 Februari 2011)
Oleh Musyafak Timur Banua

RUMAH tak semata-mata hunian atau tempat berteduh dari panas dan hujan. Rumah menjadi ruang fundamental untuk merumuskan dan menerapkan relasi keluarga. Relasi di dalam rumah memuat praktik kuasa tertentu yang menimpakan hak dan kewajiban berbeda-beda bagi setiap individu, seperti suami, istri, dan anak.

Imajinasi orang Jawa sangat melimpah dalam memandang omah (rumah) sebagai ruang domestik yang paling intensif berinteraksi dengan penghuni. Omah meliputi keseluruhan imaji tentang penataan dan pengintegrasian ruang, juga memproduksi makna sampai menyediakan kondisi selaras hingga memungkinkan para penghuni berekspresi dan berinteraksi secara harmonis. Ikhtiar memaknai omah adalah sekaligus upaya merumuskan identitas penghuni.

Pembagian Ruang

Tak pelak, membicarakan rumah acap dibayangi asumsi bias gender. Sebab, rumah menjadi representasi ruang domestik paling memadai. Pembedaan ruang dan peran berdasar jenis kelamin (lelaki atau perempuan) di dalam rumah sering disasar sebagai wujud ketimpangan relasi gender di dalam rumah.

Kemunculan paraban (julukan) stereotipikal kanca wingking bagi perempuan tak lepas dari konsepsi spasial di dalam rumah. Umumnya bagian belakang rumah adalah lahan garapan yang menghabiskan sebagian besar waktu perempuan.

Di antara ruang belakang itu adalah senthong (kamar), pawon (dapur), sumur (kamar mandi), dan sebagainya yang menjadi pusat keseharian perempuan dalam mengemban tanggung jawab sebagai pengurus rumah.
Ruang depan seperti pendapa dan ruang tamu berfungsi sebagai tempat resmi, misalnya rapat keluarga, menerima tamu, atau tempat berkumpul tetangga. Ragam aktivitas di ruang depan itu lazimnya didominasi lelaki dan memberi peluang terbatas bagi perempuan. Ruang depan menjadi medium penghubung antara wilayah domestik (inti rumah) dan publik. Di sana kerap terjadi interaksi dan negosiasi yang melibatkan struktur sosial lebih luas.

Karena itu, pembagian ruang di dalam rumah memiliki efek segregasi —pemisahan, pengasingan, dan pengucilan — gender. Di satu sisi, perempuan terkucilkan dan cenderung menjadi liyan di ruang depan. Di sisi lain, laki-laki juga terpinggirkan dari ruang belakang yang sebenarnya menjadi inti ruang domestik dari rumah.

Relatif

Stigma pengurungan perempuan di ruang domestik (rumah), sementara lelaki menikmati kebebasan dan prestise di hadapan publik secara luas, menjadi bahasan gender yang belum tuntas sampai hari ini. Namun asumsi bias gender yang meminggirkan perempuan dalam relasi omah tentu berlaku relatif dan perlu disikapi secara kritis dengan wacana tanding berlandaskan gejala-gejala yang tampak di ruang-ruang domestik Jawa.

Revianto Budi Santosa dalam Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (2000) menyatakan lelaki menyandang kapasitasnya ke luar untuk mewakili keluarga di wilayah publik. Adapun perempuan yang diidentifikasikan ke dalam atau rumah itu menjaga kapasitasnya dengan cara mengendalikan sumber-sumber domestik yang inti dalam keberlangsungan rumah, sebagaimana mereka mengelola keuangan keluarga. Perempuan rumahan bergelut dengan bulir-bulir padi untuk merawat keluarga, sedangkan perempuan keraton merawat dan menjaga pusaka keramat yang jadi sandaran kekuasaan kerajaan. Perempuan dalam dua setting ruang berbeda itu sama-sama menunjukkan eksistensi sebagai pelestari kekuatan domestik.

Revianto justru membeberkan kuasa tak terbatas perempuan di ranah domestik yang diinternalisasikan ke ranah nondomestik dengan menyandingkan gagasan rumah dan pasar. Perempuan Jawa tampaknya menemukan pasar sebagai tempat alternatif untuk menerapkan kapasitas secara penuh, terutama “keterampilan finansial” dalam mengalokasikan uang belanja dan mengatur keuangan keluarga. Berbeda dari lelaki yang cenderung enggan mendekati pasar.

Asumsi itu tentu tak lepas dari satu pertanyaan dasar: siapakah sebenarnya yang memiliki keputusan membeli? Barangkali laki-laki punya andil besar dalam menentukan barang-barang yang akan dikonsumsi keluarga. Namun memang sulit dimungkiri perempuan Jawa memang menjadi subjek utama di dalam pasar, tidak hanya sebagai pembeli, tetapi juga pedagang, bahkan terlibat langsung dalam produksi barang dengan menjalankan industri rumahan.

Dominasi perempuan terhadap ruang domestik di sisi lain mempertontonkan keterpinggiran laki-laki dari inti rumah. Sebenarnya lelaki hanya menguasai ruang sempit, berkait relasi rumah dengan struktur sosial yang lebih luas.

Sementara perempuan berperan besar menjaga martabat rumah dengan pelbagai cara. Menjamu tamu, misalnya, atau mendekorasi tempat ritual perkawinan dan semacamnya secara lebih pantas agar dihargai para tetangga. Meski pada kesempatan-kesempatan publik lelaki lebih tampil sebagai representasi “sang rumah” sekaligus isinya. Jika direnungkan lebih dalam, sebenarnya rumah adalah ruang untuk membangun martabat lelaki yang berharga, tetapi amat rapuh. Karena unsur pembangun kemartabatan lelaki bertumpu pada kearifan perempuan.

Jadi relasi gender di dalam rumah orang Jawa berlaku relatif. Membacanya dari kacamata feminisme positivistik hanya menyemai ambivalensi identitas individu di dalam keluarga, baik laki-laki maupun perempuan: siapa menguasai siapa? Sementara Jawa yang memberi perhatian lebih pada “rasa” melihat pembagian ruang di dalam rumah semata-mata untuk menjaga kesetimbangan hubungan di dalamnya. Rumah mengajari manusia Jawa untuk memaknai ruang, sekaligus “mengada” di dalam ruang, untuk kemudian manjing ing kahanan —masuk dan berperan di dalam keadaan — secara utuh. (51)

- Musyafak Timur Banua, pengaji sastra budaya pada Openmind Community Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

2 comments:

  1. Bukankah lebih indah suatu rumah ketika suami dan istri sama-sama berbagi peran baik diranah domestik maupun publik? Bukankah lebih indah ketika urusan keluarga diputuskan secara bersama dan tidak ada yang dominan dalam keluarga tersebut?

    ReplyDelete
  2. Ya. Mestinya memang begitu. Berbagi peran baik di ranah publik maupun domestik baik lelaki maupun perempuan tanpa ada dominasi. Tetapi konsepsi domestifikasi rumah jawa juga tak harus selalu dipandang ala feminisme positifistik yang selalu menganggapnya sebagai bias gender. orang jawa punya spirit filantropi yang tinggi, kedermaan. makasih sudah mampir dweedy..

    ReplyDelete