TAHUN ini negeri ini merayakan Idul Adha bersamaan dengan “perayaan” bencana. Barangkali gema takbir akan membubung di tengah-tengah rintih, tangis, dan sedu sedan di tempat-tempat atau tenda-tenda pengungsian. Banjir Wasior, tsunami Mentawai, erupsi Merapi, senarai pilu akibat agresivitas alam itu belum henti menebar ngeri, sekaligus nyeri. Mampukah hari raya kurban memberi kabar gembira bagi masyarakat yang tertimpa bencana?
Sebenarnya tiap-tiap bencana--perilaku alam yang agresif telanjur disebut sebagai bencana--selalu memberi pelajaran pada kita. Namun, ingatan sering luput, hingga bencana menjadi kerutinan duka yang melelahkan, terus-menerus tanpa putus. Bencana datang lengkap dengan ajaran survival knowledge (ilmu untuk hidup). Bencana menganjurkan kita berdialog dengan alam semesta. Untuk merajut suatu pemahaman kosmologis, bahwa gerakan dan perilaku alam saat ini mengalami pergeseran, bahkan menyimpang dari kelaziman. Mungkin perilaku alam mulai mengambil selisih dari kebiasaan-kebiasaan. Jika ditelisik lebih jauh, penyimpangan alam itu berkait paut dengan penyimpangan manusia dalam berinteraksi dengannya.
Bencana niscaya membentuk kekuatan jiwa. Represi alam terhadap manusia, secara psikologis menyediakan dua kemungkinan: keputusasaan dan makin teguh jiwa. Keteguhan inilah yang kelak tidak akan membuat manusia “kehilangan diri” begitu banyak, tapi terus memiliki harapan. Keteguhan juga menjadi daya mengantisipasi bencana yang mungkin datang di masa depan, daripada pasrah tanpa upaya seperti manusia yang putus asa.
Bencana juga mengajarkan berempati terhadap sesama (korban). Di mana empati menuntut suatu pengorbanan. Pengorbanan itu berupa uluran tangan meringankan beban para korban bencana. Uluran tangan itu bisa berbentuk tenaga, pikiran, maupun materi. Namun jiwa juga perlu hadir sepenuhnya untuk memeluk mereka yang tengah berduka.
Pemberian TerbaikKiranya, momentum hari raya kurban tahun ini benar-benar mendorong kesadaran untuk pengorbanan dengan penuh ketulusan. Pengorbanan tidak menghitung berapa banyak yang harus diberikan, tetapi apa yang mampu diberikan. “Apa yang mampu” itulah yang akan menghadirkan pemberian terbaik.
Ibrahim AS memberi tamsil ketulusan yang tiada tara. Demi merajut iman dia rela mengorbankan Ismail AS. Dalam konteks ini, Ismail AS hanyalah perlambangan dunia yang amat dicintai Ibrahim AS, bukan semata relasi ayah-anak. Begitulah, pengorbanan menuntut sesuatu yang sepadan dengan yang mampu dan terbaik untuk diberikan. Pengorbanan adalah ikhtiar lepas dari jerat duniawi, berpisah dari wadag. Pengorbanan adalah meleburkan simbol-simbol “diri identik” menuju “diri otentik”: kembali kepada sifat kemanusiawian yang religius dan humanis. Maka, pengorbanan bukan sekadar perkara kebendaan, melainkan kejiwaan: memberi jiwa, memperkaya jiwa, dan menghidupkan jiwa.
Perlu diingat, pemberian terbaik mesti mempertimbangkan kebutuhan orang yang hendak diberi. Memberi sesuatu yang kurang dibutuhkan sama dengan membuang kesempatan seseorang memperoleh sesuatu yang tepat guna. Dalam konteks berkurban para korban bencana, ada kebutuhan mendesak yang mesti dipikirkan, seperti pakaian, selimut, obat-obatan, selain kebutuhan bahan makanan pokok. Kiranya tidak cukup membagi daging kurban yang hanya habis sehari. Namun, musti dibarengi menyediakan pasokan bahan makanan seperti beras dan lauk-pauk sederhana yang mampu memberi jaminan kelanjutan makan bagi para korban.
Setiap ritus agama tidak pernah lepas dari efek sosial. Selain berorientasi pada dimensi teosentris, ibadah mesti mampu menembus dimensi antroposentris. Teosentrisme dalam agama hanya akan menjaga hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk tunduk dan kepatuhan. Sedangkan antroposentrisme adalah kepatuhan tingkat lanjut, berupa tanggung jawab sosial manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan/pemimpin) di bumi.
Selain membangun harmonisasi manusia dengan Tuhan, ibadah berfungsi sebagai ruang bersosialisasi. Artinya, ritus agama adalah cara mengharmonisasikan hubungan antarmanusia, juga manusia dengan alam. Begitu pun kurban, memuat makna simbolis untuk berbagi kepada kaum daif, kaum yang membutuhkan. Perspektif kurban tidak hanya ibadah menumpuk pahala di hadapan Tuhan, tetapi mengentaskan kaum yang terbelit kesulitan.
Untuk para korban bencana Merapi maupun Mentawai yang masih dibelit luka, marilah kita “berkorban” sedikit mengembuskan kabar sukacita bahwa seluruh masyarakat Indonesia ada bersama mereka. Tengah bersama-sama memikul derita bencana. “Berkorban” itu bisa dalam bentuk ibadah kurban secara formal, juga bisa pengorbanan dalam bentuk lain yang setara dengan kepedulian dan ketulusan. Berlalulah bencana, manusialah kita!
Musyafak, Pengkaji Masalah Sosial dan Agama di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
(Jurnal Nasional, 15 Nov 2010)
yang penting ga bau kambing yaaaaa
ReplyDelete