(Jurnal Nasional, 1 Desember 2010)
BELUM sembuh luka bencana negeri ini, sudah disusul luka sosial yang memprihatinkan. Berbagai bentrok dan tawuran menggejala di masyarakat. Belum lama konflik kekerasaan pecah antara warga Wamena dengan Kampung Yoka, Jayapura, mengakibatkan 35 rumah di Kampung Yoka dibakar. Disusul aksi saling serang warga Kampung Liwung Mekar dengan warga Kwamki Lama, Timika, Papua (17/11). Belakangan pecah pula bentrok antara warga Kelurahan Baladewa dan Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta (22/11).Konflik demi konflik yang timbul di masyarakat makin menegaskan citra Indonesia bukan lagi bangsa yang ramah. Sebaliknya, Indonesia menjadi "bangsa psikopat" dengan masyarakat yang makin menginternalisasi sikap-sikap psikopatik. Bangsa ini seolah tidak pernah lepas dari amuk massa. Tawuran atau bentrok terjadi di berbagai penjuru daerah. Tentu masih ingat tawuran antara warga Wotan dengan Bombong di Sukolilo Pati Jawa Tengah (September 2010), kekerasan di Tarakan Kaltim (September 2010), dan bentrok antarpreman di Ampera Jakarta (September 2010). Juga pelbagai kerusuhan ketika sebagian elemen masyarakat demonstrasi serta tawuran antarpelajar.
Kekerasan demi kekerasan yang bersusulan membuat luka psikososial (jiwa sosial) masyarakat Indonesia makin menganga. Gejolak sosial itu selalu melukai wong cilik yang jauh dari lingkaran kekuasaan maupun dosa politik.
Harta, bahkan nyawa, lenyap begitu saja ketika konflik-konflik sosial berujung menjadi ritus kekerasan. Kalkulasi kerugian atau korban bukanlah sekadar angka-angka yang terbujur kaku di atas kertas. Namun, terluka jiwa sosial itu menjadi ingatan yang begitu pilu dan ngilu. Menjadi teror sosial yang senantiasa membuntuti kehidupan. Teror sosial itu seperti amuba yang setiap detik membelah dan menggandakan diri menjadi bentuk-bentuk perasaan destruktif seperti ketakutan, trauma, ketidakpercayaan, kebencian, bahkan dendam.
Kita hidup di masyarakat yang makin doyan percekcokan, pertengkaran dan permusuhan. Bukan tidak mungkin masyarakat akan menerima bentrok atau tawuran sebagai dosa warisan yang akan selalu memuai ketika ingatan kolektif terpancing ketegangan.
Violensianisme
Bentrok atau tawuran antarkelompok masyarakat merupakan bentuk violensianisme. Yaitu laku yang mengutamakan kekerasan, keganasan, kebengisan dan penganiayaan massal terhadap masyarakat hingga memungkinkan destruksi individu maupun destruksi sosial. John Galtung (Aloys Budi Purnomo, 2007) mencirikan, violensianisme mengedepankan ketakutan sebagai manifestasi kekerasan dengan sugesti yang hendak ditanamkan oleh pelaku kejahatan. Kekerasan dihadirkan dengan cara serangan-serangan agresif yang dibalut pola pikir ekslusifisme. Masing-masing kelompok merasa paling benar dan menutup diri dari (kemungkinan) kebenaran kelompok lain.
Kekerasan kultural itu lantas menjadi persemaian subur. Ia membiakkan benih-benih budaya kekerasan yang mencerminkan lemahnya kemampuan masyarakat mengelola konflik dan menciptakan ruang komunikasi sehat terbebas dari rasa kecurigaan, ketidakpercayaan, kebencian, dan dendam.
Violensianisme melanggar kesepakatan sosial. Kontrak sosial hidup damai diacak-macak hingga timbul represi fisik dan tekanan psikososial akut dan sulit terobati. Hilangnya kedamaian, ketentraman dan kepercayaan, merupakan keruntuhan modal sosial yang telah lama dibangun founding fathers.
Pendidikan Damai
Situasi bermasyarakat-berbangsa yang mencekam ini membutuhkan sebuah resolusi sosial guna mengobati luka yang menjangkiti masyarakat. Perlu transformasi sosial sistematis membangun peace building berjangka panjang.
Peace education (pendidikan damai) memungkinkan dijadikan jembatan penyembuhan bagi masyarakat psikopat. Harus disadari, pendidikan damai menjadi kebutuhan bangsa yang mendesak saat ini. Sebelum budaya kekerasan menelan kerugian sosial, kultural, material dan nyawa lebih banyak.
Pendidikan damai bertujuan menolak kekerasan. Sekaligus menjadikan kekerasan sebagai perilaku yang tidak bisa diterima, baik level individu, sosial, maupun kebijakan negara (Betty A Reardon, 1988). Karena itu, pendidikan damai memuat dimensi tujuan, sarana, strategi dan materi terkait perdamaian.
Secara formal, sistem pendidikan harus memuatkan materi pendidikan damai melalui satuan kurikulum yang mandiri. Pelajar didorong memahami perilaku-perilaku kekerasan baik fisik maupun psikis. Mengidentifikasi motif-motif kekerasan, mampu mengelola potensi-potensi kekerasan, dan upaya pemecahan konflik.
Ahwan Fanani (Amanat, 2010) menguraikan strategi atau teknis pendidikan damai di sekolah. Pertama, pengembangan kepercayaan diri peserta didik, kedua menumbuhkan kemampuan mendengarkan pihak lain. Ketiga, mengembangkan kemampuan berkomunikasi hingga memungkinkan tercipta hubungan saling pengertian, keempat, membangun komunitas berbagi pengalaman dan solidaritas. Kelima, mengembangkan sarana memecahkan konflik tanpa kekerasan.
Pelajar selayaknya diberi ruang menciptakan dialog intens mengenai problem identitas, ketimpangan distribusi keadilan, dan kekerasan struktural. Aplikasi pendidikan damai di sekolah tidak sebatas sistem pembelajaran. Sekaligus menjadi wahana pencarian identitas dan pembentukan karakter pelajar yang inklusif, ramah dan damai. Di masyarakat luas, pendidikan damai bisa dengan membangun kesadaran kolektif menolak dan tidak membenarkan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun. Harus dibuka ruang-ruang dialog dan mediasi bagi kelompok-kelompok terlibat konflik laten. Lalu, disertai ikhtiar penguatan solidaritas sosial yang didasari pola pikir inklusif dan pluralis demi tercipta kedamaian bersama.
Musyafak Timur Banua,
Pengkaji Masalah Sosial di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas) Semarang