(Suara Merdeka, 20 Nov 2010)
TEATER tak sekadar dunia panggung atau lakon, tetapi dunia laku berkesadaran. Mustahil menggeluti dunia teater jika seseorang tak melek keadaan.
Hampir setiap perguruan tinggi memiliki ko-munitas teater atau kelompok kesenian sejenis yang mewadahi proses penempaan bakat dan minat. Tak hanya milik fakultas sastra, fakultas ilmu budaya, atau institut kesenian, teater milik khalayak kampus secara luas dan heterogen.
Teater kampus eksis melalui pementasan teater, monolog, pembacaan atau musikalisasi puisi, dan lain-lain. Pementasan itu selain dinikmati sebagai seni, juga memperluas cara pandang mahasiswa dalam memahami pelbagai fenomena.Membincang teater kampus tak sekadar berpusing-pusing soal kesenian. Segaris gelar mahasiswa sebagai agen perubahan, teater bisa dimaknai sebagai gerakan. Gerakan itu semula bernama kesadaran berkreasi, kemudian meniscayakan gerakan perubahan.
Namun seberapa jauh karya teater kampus melakukan penetrasi dalam kehidupan mahasiswa dan masyarakat hingga berpartisipasi dalam proses transformasi sosial? Di sinilah kesadaran selalu berdialog dengan kehendak perubahan ke arah lebih baik dari diri sendiri, komunitas, lalu masyarakat luas.
Namun kesenian teater kampus tak lantas mesti dikukuhkan sebagai seni untuk perjuangan. Jika itu terjadi, fungsi kesenian direduksi menjadi sempit dan terbatas. Di luar itu, seni lebih mungkin jadi media untuk mencapai katarsis (penyucian atau pembaruan spiritual), selain sebagai refleksi dan penghiburan.Ikhtiar Perubahan
Pola pikir kemahasiswaan membuat teater kampus acap mengangkat realitas sosial dan dunia mahasiswa. Pemanggungan realitas sosial rentan “gagal” tanpa suntikan nuansa kritis. Karena itu teater kampus menuntut kekayaan intelektualitas untuk tak sekadar menerima fenomena sosial apa adanya. Teater kampus harus mengatasi kemiskinan persepsi dan perspektif yang menjadi logos dalam memahami kenyataan. Kekayaan cara pandang lebih memungkinkan fenomena sosial ditransformasikan menjadi “teks hidup” (naskah atau pemanggungan) yang sarat nilai.
Teater bukan hanya reka ulang fakta sosial, melainkan gagasan atau tafsir baru tentang realitas. Realitas tak sekadar direkonstruksi hingga menjadi duplikat fakta, tetapi didekonstruksi untuk menemu kemungkinan lain yang niscaya menjadi elemen kritis guna membangun realitas masa depan.
Karena itu, teater adalah imajinasi tentang perubahan. Goenawan Mohamad, menyitir kredo filsafat Karl Marx, dalam “Catatan Pinggir” (Tempo, 25-31 Oktober 2010), meyakini teater bukan sekadar tafsir tentang kenyataan. Namun juga ikhtiar untuk mengubah kenyataan. Jadi panggung teater mesti difungsikan sebagai ruang transformatif ketimbang replikatif (penggandaan) atas realitas. Dengan kata lain, panggung teater adalah medium yang terus-menerus mendialogkan idealitas dan realitas.
Jalan Sunyi
Teater kampus pernah menjadi persemaian budaya yang subur. Menjadi kantong budaya dan sastra yang menghindarkan kampus dari kekeringan spiritual. Sebab, selama ini kampus lebih mengedepankan rasional-intelektual secara normatif.Bagaimana keadaan teater kampus terkini? Memang masih eksis, tetapi di tengah pergeseran orientasi mahasiswa yang lebih mementingkan pembelajaran formal (bangku dan dosen), teater kampus pun terpinggirkan. Perlahan-lahan teater kampus kehilangan “masyarakat”. Teater hanya jadi kerutinan bagi para pegiat untuk berdialog dengan diri sendiri.
Penonton telah menyingkir dan teater hanya jadi tempat pertemuan khusus “mahasiswa seniman”. Jadilah teater kampus berdiri di tengah kegamangan dunia mahasiswa yang makin ambivalen dan ironis.
Tak mengherankan jika teater kampus saat ini menjadi jalan sunyi. Menjadi garis tepi di sisi keriuh-rendahan kehidupan kampus. Menjadi kesadaran pinggir yang seolah-olah jauh dari arena komunikasi.
Namun teater kampus masih sangat bisa menjadi wahana komunikasi masyarakat kampus dalam memahami dan merumuskan realitas. Pergulatan kesadaran menjadi penentu bagaimana insan teater berkehendak. Kepekaan rasa yang terasah di teater kampus adalah kunci untuk menumbuhkan empati terhadap segala realitas.Teater kampus mesti menyajikan karya yang tak hanya menggugah, tetapi juga menebar teror mental. Seperti Putu Wijaya, yang tak henti menyulut dunia teater dengan karya yang menimbulkan teror kejiwaan yang tandas. Usai menonton pementasan atau sekadar membaca naskah Putu, seseorang akan terhantui daya pikat kritisnya.
Menjalani teater kampus seolah-olah merutinkan kelelahan yang tak kepalang. Untuk sebuah produksi pentas, misalnya, perlu latihan dua-tiga bulan, dari pemilihan pemain, pembacaan naskah, latihan movement dan blocking, penyatuan pertunjukan, dan lain-lain. Maka ngayawara jika teater kampus hanya memanggungkan realitas “apa adanya” alias menghidupkan ulang fakta sebagai monumen dalam sekilasan pandang, lalu kembali mati. Semoga tidak!
Musyafak Timur Banua, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, peminat kajian budaya pada Openmind Community