(Radar Surabaya 12/12/2010)
SEBULAN aku tak bersolek. Sengaja tidak kubedaki wajahku yang oval dan meruncing di bagian janggut. Tidak juga kugincu bibir yang memiliki belahan dangkal di tengahnya. Menyemprotkan parfum di tubuh juga tidak.

Betapa payahnya rupaku. Ah, biar! Biar saja aku tampak tidak cantik dan kedodoran. Bahkan sekali dua kali aku tidak mandi. Dengan tampilan kelomprot seperti ini, kuharap Bima tidak betah di rumah. Aku hanya dandan ketika hendak keluar rumah di malam hari.
"Nanti aku pulang larut. Rumahnya jangan dikunci," kataku ketus. Kutatap wajah Bima sedikit saja. Meski begitu Bima tetap ramah terhadapku. Seperti biasa ia berpesan agar aku hati-hati. Pesan yang selalu kuenyahkan sambil lalu.
"Rani… Kamu lupa bawa jaket." Bima mengangsurkan jaket jins hitam kepadaku yang tengah memanaskan mesin mobil di garasi.
"Terima kasih," balasku setengah hati.
Kuhentakkan kaki di pedal gas. Sedan silver melaju, membawaku lepas dari gerbang rumah. Dari kaca spion sempat kulihat Bima berdiri menurutkan aku pergi dengan pandangan matanya.
Pikiranku tak lepas dari Bima. Betapa muaknya aku dengan lelaki dungu itu!
Bima, Bima... Mengapa kau tak bosan-bosan mencintaiku? Padahal sejak dulu aku tak pernah membalas perhatianmu. Tak pernah pula aku menganggapmu suami sungguhan. Aku benar-benar jengah padamu yang tak berubah. Bukankah lebih nikmat kau cari perempuan lain? Tentu mudah bagimu mencari perempuan jenis apa saja dengan kekayaanmu.
Pikiranku ngelantur ke mana-mana. Hingga aku kembali merutuki perkawinanku dengan Bima. Bah! Sejak zaman purba sampai moderen begini, derita perjodohan tetap saja ada. Sejak mula aku tidak menerima berjodoh dengan Bima lantaran aku sudah punya pacar. Namun orangtuaku tetap saja memaksaku kawin dengan Bima, lelaki yang kini mewarisi sebuah perusahaan besar di kota ini.
“Bima itu lelaki baik. Orangnya tidak neka-neka,” kata ayah, dulu saat awal-awal membujukku.
Tak bisa kusangkal. Memang Bima lelaki baik. Bahkan, ia kelewat baik untuk perempuan macam aku yang doyan dugem, minum, serta dunia-dunia gemerlap itu—ayahku tak pernah tahu hal ini.
Ah! Kubuang Bima jauh-jauh dari ingatan. Kupusatkan mata pada arus kota yang masih ramai. Kunikmati aneka papan reklame dan neon box yang menyala sepanjang sisi jalan. Marka-marka jalan memantulkan sinar keperakan oleh timpaan lampu-lampu jalan.
Tibalah aku di sebuah kelab malam, di sisi jantung kota. Seorang lelaki berambut panjang yang diikat di belakang tengkuk segera menyambutku ketika aku masuk kelab. O ya, namanya Rana. Pacarku sejak kuliah yang sampai kini masih mengencaniku. Tak peduli aku sudah punya suami. Pun aku tak peduli! Yang kupedulikan adalah aku dan Rana masih sama-sama suka.
***
Meski harus menahan mual jika berhadapan Bima, aku tetap menyempatkan sarapan pagi bersama. Sementara Bima menyiapkan empat lembar roti lengkap dengan keju, juga secangkir teh, aku menyeduh minuman sereal.
"Aku mau bicara serius denganmu. Apakah kau bersedia telat pergi ke kantor?"
Bima menatap wajahku dalam-dalam. Mungkin ia merasa aneh. Memang tak biasa aku mengajaknya bicara serius. Hidup serumah selama setahun tak lebih sekadar basa-basi.
"Katakan saja!"
"Apa kamu tidak cemburu atau marah jika aku tidur dengan lelaki lain?"
Bima tersenyum ringan, gerakan bibir setengah tertahan, ”Tidak apa-apa. Jika itu kamu lakukan dengan sepenuh hati."
Jawaban Bima dengan nada datar itu justru membuatku kaget, tapi sedapat-dapatnya kusembunyikan. Sementara Bima tidak sedikitpun menampakkan wajah kikuk.
"Tadi malam aku tidur dengan lelaki lain. Itu sudah kulakukan berkali-kali semenjak kita nikah."
Bima tetap lahap dengan rotinya. Selera makannya seperti tidak terganggu.
"Apa kau sepenuh hati melakukannya?"
"Tentu! Lelaki itu pacarku sejak kuliah."
Aku makin bingung menerjemahkan senyum Bima yang begitu simpul. Padahal kuharap ia cemburu. Kukira ia wajib marah. Bahkan memakiku.
"Jadi, jelas tak ada masalah, bukan? Sebab itu kau lakukan sepenuh hati. Kurasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi."
Bima bangkit dan menjangkau tas di sisi kursi yang didudukinya.
"Tunggu! Aku belum selesai bicara!"
Bima membalikkan badan.
"Harusnya kamu tidak terima aku melakukan itu! Harusnya kamu membalas perbuatan itu. Serong kek! Jajan kek! Atau apalah…"
Mataku nanap menatap Bima yang masih dengan raut biasa. Saat itulah senyum Bima kurasa sangat mengejek.
"Apa? Jajan? Selingkuh?" Bima tertawa.
"Kamu bodoh, Ran! Itu takkan terjadi karena aku tidak bisa sepenuh hati melakukannya. Itu mengapa selama kita serumah aku tidak menjamahmu dengan paksa seperti pemerkosa. Meski aku punya hak untuk itu!”
Bima menghela nafas. Kuberi ia kesempatan bicara lebih panjang.
“Mengapa? Kau tahu? Karena aku tahu kau tidak pernah menginginkannya. Aku tahu kau belum bisa memberikannya sepenuh hati padaku."
Bima menyorong daun pintu pelan-pelan. Aku mengejarnya.
"Lalu kenapa kamu tidak menceraikanku?"
Bima membalikkan punggung untuk kedua kalinya.
"Karena aku mencintaimu!"
Ucapan itu serasa amat telak mengalahkanku.
***
Makin hari aku makin jarang bicara dengan Bima. Tak lagi kutemani ia makan atau sarapan pagi. Waktuku lebih banyak kuhabiskan di luar rumah. Tampak Bima kian kurang perhatiannya terhadapku. Tak pernah lagi ia meneleponku untuk memastikan aku pulang jam berapa. Jarang juga ia berpesan padaku sebelum pergi agar hati-hati. Tapi itu lebih baik, pikirku. Adalah keinginanku jika Bima sudah tidak memedulikanku—hingga kelak ia melepasku.
Rasanya aku sungguh-sungguh tidak bisa bertahan di rumah. Namun Bima tidak menghiraukan kekesalanku ini. Malah aku sendiri yang perlahan-lahan frustasi. Hingga aku selalu berupaya menghindari Bima. Aku selalu keluar malam dan pulang di pagi hari ketika Bima berangkat kerja. Malam harinya, ketika Bima baru beberapa jam di rumah, aku pergi lagi. Bima tidak pernah protes. Tidak pula marah.
Aku sudah enggan mengendalikan diriku. Kuhabiskan banyak waktu dengan Rana. Kucercap segala bentuk kemerdekaan untuk melakukan apa saja yang membuat kesenanganku tercukupi. Aku tak lagi menganggap bahwa aku adalah perempuan yang memiliki tanggungjawab mengurus rumah. Aku lepas. Selepas-lepasnya. Tapi, entahlah, kemerdekaan ini terasa kering.
Tanpa kusadari hari-hari belakangan Rana menjauh dariku. Ia berdalih banyak pekerjaan hingga belum bisa menemaniku. Begitu seterusnya, sampai Rana benar-benar tidak lagi menemuiku. Lantas kuketahui dari seorang teman bahwa Rana sudah sejak lama mengkhianatiku. Saat ini ia sedang liburan ke luar kota dengan seorang gadis. Kudengar dari temanku itu pula, beberapa bulan lagi Rana bakal menikahi gadis itu.
Aku marah. Aku kelimpungan. Selain rasa sakit, adalah perasaan menjadi orang dungu. Selama ini aku menganggap Bima bodoh, tapi kini aku merasa lebih bodoh. Tolol, begitu rasanya dibohongi. Sebab aku begitu mempercayai Rana hingga tak pernah bisa menerima Bima. Aku akan sangat malu di hadapan Bima. Sementara aku tak rela menjadi orang runduk di hadapannya.
***
Tubuhku terasa aneh. Lain biasanya. Firasatku seolah mengenali keganjilan ini. Rasa-rasanya aku hamil. Tapi aku menepis-nepis sangkaan itu. Sebab selama ini aku cukup cermat menggunakan kontrasepsi.
Dua garis test pack membuatku tidak bisa menyangkal. Tubuhku gemetaran, serta teringat Rana. Pikiranku tak bisa mengelak bahwa janin di dalam rahimku adalah anak Rana. Namun ketika terinsyafi bahwa Rana telah berkhianat, aku seolah hanya patung bernafas. Duniaku telah hancur. Pada akhirnya aku mengutuk-rutuki janin yang bersemayam di rahimku. Juga mengutuki diriku sendiri.
Aku tercenung di kamar hingga malam hari. Perasaan menyesal membuatku sedikit insyaf bahwa perbuatanku selama ini berbuah buruk bagi diri sendiri. Juga beban keburukan bagi anakku kelak jika ia lahir tanpa ayahnya. Sekian waktu perasaanku menghiba-hiba pada janinku. Rasanya kemalangan telah menguntit di belakang, dan menjemput dari depan sekaligus.
Muncul dorongan-dorongan jahat di dalam pikiranku. Tekanan yang maju-mundur, namun betapa kuat. Hingga sepenuh kesadaran pikiranku terkendalikan untuk memutuskan sesuatu. Salah satu di antara kami musti ada yang gugur, pikirku.
Beberapa saat sepulang kerja, Bima menyambangiku. Perasaanku gemeratap ketika ia mendekatiku. Tiba-tiba tangannya mengacungkan benda kecil itu. Astaga!
“Kalau tidak disimpan, mending kamu buang saja!” kata Bima seraya melempar benda kecil nan ringan ke arahku—kusadari test pack itu tertinggal di kamar mandi sejak siang tadi. Nyaliku yang menciut dan malu tak kepalang.
“Jaga kandunganmu baik-baik. Kiranya kau harus rutin memeriksakannya.”
Aku merasa tidak nyaman diperhatikan Bima sedemikian. Ucapan simpatiknya justru kubalas dengan sentimentalia sengit di dalam hati.
“Tidak! Aku akan menggugurkannya.”
Mata Bima membelalak. Merah, menyala seolah hendak membakarku. Kali ini ia tampak marah.
“Mengapa hendak kau bunuh anakmu?”
“Ia kelak nelangsa tak kepalang sebab tak punya ayah.”
“Aku bisa menjadi ayahnya! Bukankah kau siap menjadi ibunya?”
Aku tergagap. Tapi keseluruhan pikiranku terpusat pada pengakuan Bima yang siap menjadi ayah dari janinku. Bakal anak yang bukan darahdagingnya. Bukankah lazimnya ia marah, kalaf, dan durja? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana ia memiliki kelapangan dan cintakasih hingga siap mengorbankan diri. Pengorbanan? Sesuatu kata yang nyaris tak pernah terpikirkan di dalam hidupku.
Aku merasa kerdil di hadapan Bima. Aku musti bilang maaf, barangkali…
Mei 2010